1. Pemilik Mobil Hitam

2225 Kata
“Kok kirim uang banyak banget, Sil? Kamu tetap ada pegangan, kan?” Suara Ibu di seberang sana terdengar sangat terkejut. Itu wajar, karena tidak ada angin tidak ada hujan, aku tiba-tiba mengirim uang lima kali lipat lebih banyak dari biasanya. Aku transfer baru saja, tepatnya beberapa saat setelah Ibu mengangkat panggilan. “Ada, Bu. Kebetulan aku habis dapat bonus banyak.” Ini tidak bohong, meski tidak seratus persen jujur. Pasalnya, ada jenis bonus yang tidak bisa kuceritakan pada Ibu dari mana asalnya. “Tapi banyak banget—“ “Dikit, itu, Bu. Soalnya rencana kedepan kan kita mau renov rumah.” Tiba-tiba, terdengar isakan pelan di seberang sana. “B-bu? Ibu nangis? Kok aku kaya dengar isakan?” “E-enggak. Ibu cuma enggak enak sama kamu, Sil. Semua-muanya kamu yang tanggung. Biaya sekolah adikmu, keperluan harian Bapak sama Ibu, sampai rencana renovasi rumah. Kamu beneran cukup, kan, di sana?” “Alhamdulillah cukup. Aku kirim Ibu enggak maksain, kok. Kalau lagi mepet, aku juga ngirimnya dikit. Kaya waktu itu, aku cuma bisa kirim tiga ratus.” Aku terkekeh. Sejak dapat kerja, aku langsung belajar manage finansial dari salah satu teman yang jurusan akuntansi. Itu sangat membantuku dalam mengatur keuangan. Kapan aku harus kirim banyak, dan kapan aku harus menahan diri. Sejauh ini berhasil. Aku bisa mengirim orang rumah, pun di sini aku tidak pernah kekurangan lagi. Aku mengirim Bapak dan Ibu bukan karena mereka tidak bekerja. Mereka jelas masih bekerja, hanya saja memang masih kurang. Uang yang mereka dapatkan baru cukup untuk makan sehari-hari, keperluan lain belum ter-cover. Selain itu, aku juga kirim uang untuk mereka tabung sebagian. Tujuannya itu tadi, renovasi rumah sebisanya. “Berapa pun itu, Ibu sama Bapak makasih banget, Sil.” “Sama-sama, Bu. Ngomong-ngomong, sekarang uangnya udah terkumpul berapa? Aku enggak ngitung soalnya.” “Kalau sama yang ini, udah lima puluh lima juta mungkin, ya? Atau lebih? Ya intinya kurang lebih segitu.” Aku tersenyum bahagia mendengarnya. Tak kusangka, uang yang kukirim dan berhasil Ibu tabung sudah sebanyak itu. “Bu, kayaknya uang itu udah cukup buat beli bahan pondasi dan batu-bata sama semen. Beliin dulu, nanti kalau kurang, bilang. Kita kerjain semuanya pelan-pelan.” “Oh, ya. Ya udah, nanti Ibu rundingin lagi sama Bapak. Bapakmu lebih tahu soal ini daripada Ibu.” “Oke, Bu— oh iya. Aku lupa mau bilang sesuatu.” “Bilang apa, Sil?” “Minggu depan aku mau ke Korea.” “Lho? Ngapain?” “Biasa, anterin Bu Bos. Kerja, kok, Bu. Semuanya ditanggung kantor. Aku tinggal bawa badan sama keperluan pribadi. Paling sama uang jajan kalau pengen.” “Oh, ya, ya. Hati-hati. Ibu cuma bisa bantu doa, Sil.” Aku tersenyum. “Justru itu yang terpenting, Bu. Nanti tolong bilangin Bapak juga. Aku minta izin mau ke luar negeri.” “Iya, Sil. Pasti. Semoga lancar semuanya.” “Aamiin.” Panggilan dari Ibu akhirnya selesai. Aku yang tadinya tiduran di ranjang, kini bangun dan beranjak ke balkon kamar. Aku memejamkan mata sesaat, menikmati sejuknya angin malam ini. Ngomong-ngomong, selama ini aku selalu berpegang teguh pada satu prinsip, yakni ‘melibatkan’ orang tua dalam segala langkahku. Baik itu menimba ilmu, sampai bekerja. Bahkan hal-hal kecil sekalipun, aku berusaha untuk selalu melibatkan mereka. Melibatkan dalam arti, aku selalu minta izin dan minta doa. Rasanya lebih tenang saja jika orang tuaku tahu apa yang sedang dan akan kulakukan. Namun, memang, tetap harus ada batasan. Tidak perlu kejelaskan lebih lanjut, karena batasan di sini berbeda-beda untuk masing-masing orang. Di saat aku masih asik menikmati angin, tiba-tiba ponsel di genggamanku bergetar. Aku segera membuka pesan yang masuk. Kak Alan Tiketnya udah kamu urus, Sil? Aku segera membalas, ‘Udah, Kak.’ Bukannya membalas lagi, Kak Alan malah meneleponku. Bicara Kak Alan, dia adalah kakak tingkat sekaligus mantan calon bos yang tak sampai. Kubilang tak sampai karena usahanya dalam merekrutku tidak akan pernah berhasil selagi sahabatku —Vina— masih ingin aku bekerja dengannya. Ya, Vina adalah atasanku sekarang. Jangan pernah tanyakan bagaimana rasanya bekerja dengan teman sendiri. Itu agak sulit dijelaskan. Plus dan minus saling beriringan. “Hallo, Kak? Apa lagi?” tanyaku begitu panggilan terhubung. “Uangnya sudah saya transfer tadi.” “Iya, tahu. Makasih. Tapi saya berasa jadi penghianat, masa?” Kak Alan tertawa. “Untuk misi ini, saya memposisikan kamu sebagai adik tingkat sekaligus teman dekat Vina. Enggak ada sangkut pautnya dengan perusahaan. Jadi, kamu enggak perlu merasa mengkhianati. Saya tahu batasan dan saya pun tahu tidak semua hal akan kamu iyakan.” “Ya memang.” “Ya udah. Untuk hotel bagaimana? Sudah pesan?” “Beres. Cuma ini saya bingung, Kak. Saya belum pernah ke Korea. Maksudnya, saya bingung kalau enggak ada teman. Ya kali saya ditinggal terus.” “Tenang. Saya sudah siapkan teman untukmu.” “Hah? Siapa?” “Lihat nanti—“ “Bilang sekarang, atau saya batalkan perjanjian ini.” “Kamu berani mengancam saya, Sil?” “Kak Alan mau atau enggak?” “Sekretaris saya,” jawab Kak Alan akhirnya. “Saya minta dia buat nemenin kamu, baik itu dari pesawat maupun nanti di hotelnya. Tenang, menemani di sini sekadar agar kamu enggak kebingungan.” “Cowok atau cewek?” “Bukannya kamu sudah tahu?” “Belum, saya belum tahu siapa orangnya. Saya tahunya sekretaris Kak Alan itu masih satu almamater. Sebatas itu aja.” “Memang, dia masih satu almamater.” “Terus? Cowok, atau cewek?” “Cowok.” “C-cowok?” Mataku mendelik sesaat. “Kalau gitu enggak usah aja, Kak. Saya bisa sendiri. Atau sekali-kali saya minta Vina buat nemenin saya. Jangan culik dia terus.” “Tenang saja, Sil. Dia juga enggak keberatan. Orangnya santai.” “Memangnya disuap berapa sampai dia mau?” “Sil ... kita akan menjadi pendosa besar kalau istilah yang kamu pakai itu suap. Ini namanya ganti rugi karena kamu dan dia rela menurunkan fasilitas yang ditawarkan kantor. Tolong dicatat.” Aku tertawa pelan. “Oh iya, ding!” “Ya sudah. Setelah ini kamu kirim nama hotel beserta nomor kamarnya. Akan saya sesuaikan.” “Oke. Tapi kalau ketahuan, saya enggak mau tanggung jawab.” “Tapi kamu juga jangan mencurigakan. Aktingmu harus bagus! Jangan sampai Vina mikir aneh-aneh.” “Iya, siap!” Setelah panggilan dari Kak Alan usai, aku masuk kamar dan kembali merebah di ranjang. Untuk beberapa saat lamanya, aku termenung sembari menatap langit-langit kamar. Tiba-tiba saja, aku teringat sebuah cerita yang sangat populer di masa lalu. Cinderella dan Pangeran. Kurasa, cerita itu sama sekali tidak ada dalam dunia nyata. Yang benar adalah si kaya dengan si kaya, begitu pun sebaliknya. Dulu, aku tidak pernah bosan menonton film Cinderella. Mulai dari kartunnya, sampai yang di-remake dengan manusia asli. Semuanya kutonton berulang-ulang karena saking sukanya. Aku yang terlahir dari keluarga biasa-biasa saja, bahkan cenderung kurang, selalu bermimpi suatu saat ada pria kaya yang menjemputku dan menikahiku. Angan-angan yang semacam itu selalu kusimpan rapat-rapat dalam benakku. Sampai-sampai masuk ke dalam mimpi. Namun, belakangan ini aku sadar. Bahkan sangat sadar. Cinderella dan Pangeran itu bullshit. Oke, mungkin tekesan kasar, tetapi di sini aku hanya ingin menekankan betapa mustahil dan tidak nyatanya cerita itu. Tidak perlu mengambil contoh orang lain yang tak kukenal. Langsung saja ke orang yang baru saja meneleponku. Dia, Alan Dzaka Raksabumi, putra dari salah satu konglomerat Jakarta, sedang meminta bantuanku untuk mendapatkan Davina Puspita Mahaeswara, putri salah satu konglomerat Jakarta pula. Masih mau percaya kalau Cinderella dan Pangeran itu ada? Kalau aku, sih, big no! Kalaupun ada orang dengan latar belakang jauh berbeda bersatu, aku rasa hanya segelintir saja yang langgeng. Itu pun, harus ada gebrakan yang mereka buat. Kalau tidak, fatalnya mereka bisa berpisah di tengah jalan. Bagaimanapun, kesetaraan itu perlu. Di sini aku bukan bermaksud menggeneralisir. Aku hanya berusaha realistis agar tidak terjerembab dalam harapan semu—lagi. Seperti yang kita semua tahu, semakin besar harapan, maka semakin besar pula peluang kecewa. Bukan begitu? *** “Kak Sisil, makasih banyak, ya!” Dengan bibir yang terus mengembang lebar, Rani memelukku. Rani adalah kakak tertua dari anak-anak Panti Asuhan Bina Putra, yakni Panti Asuhan yang sudah sering kudatangi sejak masih kuliah. Dulu, aku pernah bekerja di panti ini. Bukan pekerja tetap, melainkan hanya bantu-bantu pengurus. Seperti mencuci baju anak-anak, kadang menyetrika, kadang juga mengajari les mereka. Bayarannya memang tak seberapa, tetapi cukup untuk menopang hidupku saat uang beasiswa menipis dan banyak tugas yang membutuhkan biaya. Terkadang, aku juga tidur di panti ini kalau kemalaman. Pemiliknya bahkan sampai mengenalku. Jujur saja, melihat anak-anak panti membuatku merasa lebih bersyukur. Selama ini aku hanya kurang finansial, bukan kurang kasih sayang. Orang tuaku masih lengkap, kedua adikku pun sehat-sehat. Sedangkan mereka? Keluarga saja tak punya. Bahkan banyak yang tak tahu mereka lahir dari rahim siapa. Ada yang benar-benar sudah ditinggalkan sejak badan masih berlumuran darah. Ada pula yang dibuang dan ditemukan di dekat pembuangan akhir. Banyak sekali kisah-kisah menyedihkan yang kudengar tentang mereka. Setelah mengetahui semua itu, akan sangat tidak tahu malu kalau aku masih banyak mengeluh. Bukan berarti tak boleh sama sekali, tetapi harus diminimalisir. Masih banyak anak yang tak seberuntung aku. “Sama-sama, Ran. Kamu jaga adik-adikmu dengan baik, ya. Kabari aku kalau butuh apa-apa.” “Siap, Kak!” Rani tiba-tiba tersenyum aneh. “Kak Sil ...” “Hm? Apa?” “Dari dulu sampai sekarang kalau ke sini kenapa selalu sandirian? Paling kalau ajak temen cuma Kak Vina. Kenapa enggak pernah ajak yang lain? Cowok, misalnya?” Mataku menyipit. “Ada maksud terselubung dari pertanyaanmu?” “Iya.” Rani tertawa. Anak ini jujur sekali. “Maksudku, kapan Kak Sisil bawa cowok? Kita-kita pengen kenalan juga sama kakak ipar.” “Eiii! Aku belum mau nikah, Ran. Aku mau fokus kerja dulu. Mau cari duit sebanyak-banyaknya.” “Udah jadi renovasi rumah, Kak?” “Baru mau otw. Doanya, ya. Rumah sederhana aja, kok.” Rani mengangguk. “Aku bantu doain. Ya soal rumah, ya soal jodoh.” “Makasiiih!” Tiba-tiba saja, terdengar suara riuh dari arah aula panti. Aku dan Rani refleks menoleh. “Ada apa itu, Ran?” “Entah, enggak tahu— eh, aku baru ingat!” Mata Rani membelalak sesaat. “Ada apa?” “Bu Atun tadi sempat bilang kalau siang ini mau ada tamu, Kak.” “Tamu? Siapa?” “Enggak tahu. Cuma bilang mau ada tamu aja.” “Oh, gitu. Tapi aku langsung pamit aja, ya. Aku enggak mau nemuin tamunya. Aku juga udah pamit sama Bu Atun tadi.” “Pulang nanti aja, Kak. Ikut ke aula, ya!” Rani menampakkan ekspresi memelasnya. “Maaf banget, Ran. Aku harus segera pulang.” “Yaaah, Kak—“ “Salamin buat Bu Atun dan adik-adik. Aku pulang dulu.” Rani cemberut, tetapi kemudian dia mengangguk. “Oke, deh. Hati-hati, ya, Kak! Cepet ke sini lagi. Enggak usah repot-repot bawa sesuatu. Cukup datang aja kami udah seneng.” Aku tersenyum. “Oke!” Sementara Rani menyusul ke aula, aku bergegas keluar. Aku melihat ada mobil hitam parkir tepat di sebelah motorku. “H 1107 FA. Eh, platnya H? Plat H bukan Jakarta, kan, ya?” Aku langsung merogoh ponsel dan mencari tahu. “H itu Semarang? Demak? Kendal? Oh, intinya orang Jawa Tengah.” Aku menatap ke arah pintu aula yang terbuka lebar. Sepertinya mobil ini milik si tamu. “Belakangnya harus banget F A?” Aku tersenyum. Bahkan sudah delapan tahun lamanya, tiap kali aku melihat dua huruf itu berdampingan, rasanya berdebar. “Di mana kamu Mas F. A?” aku menggumam pelan. “Pokoknya, di mana pun kamu berada sekarang, semoga kamu selalu sehat. Aku selalu berdoa untukmu.” Delapan tahun adalah waktu yang cukup lama. Bahkan untuk melupakan seseorang pun tidak akan terlalu merasa berdosa. Namun, entah kenapa kenangan tentang sore itu masih sangat membekas di ingatanku. Nasi padang dan uang satu juta. Aku tidak akan pernah melupakan dua hal itu. Aku bahkan masih menyimpan suratnya sampai detik ini. “Oke, saatnya pulang.” Aku bergegas menuju motorku dan segera memakai helm. Sebelum itu, aku juga mengenakan sarung tangan dan masker. Ini mengantisipasi agar kulitku tidak belang. Sebelum benar-benar pergi dari area panti, aku menatap sekali lagi mobil di sampingku. Mataku langsung menyipit begitu melihat stiker kecil di sudut jendela. “Fendi Atma D. Bumi-Tech. Wow! Anak buahnya Kak Alan, ini.” Ya, Kak Alan adalah pimpinan Bumi-Tech, salah satu perusahaan IT raksasa di Jakarta. Aku sering ditawari kerja di perusahaannya, tetapi selalu kutolak karena aku sudah bekerja di MW—perusahaan pesaing. MW memang tak sebesar Bumi-Tech, tetapi aku sudah sangat bangga bekerja di sana. Aku tidak ada niat pindah dari MW karena selain aku sudah nyaman, pimpinannya juga sahabatku sendiri, si Vina. “Foto dulu! Kapan-kapan kalau inget aku lapor Kak Alan!” aku memutuskan untuk memotret stiker itu. Di saat aku baru saja mengecek hasil jepretanku, aku sudah melihat seorang laki-laki berbadan tinggi keluar aula. Meski wajahnya tak terlihat jelas karena tersamarkan jarak, yang pasti postur tubuhnya tampak bagus. Kulitnya juga putih. Dia berdiri menjulang di antara anak-anak panti yang mengelilinginya. Aku buru-buru memasukkan ponsel dan menyalakan motor. Aku tidak boleh ketahuan sudah memotret mobil orang sembarangan. Di tengah-tengah perjalanan pulang, entah kenapa tiba-tiba nama pemilik mobil itu terasa familiar di ingatanku. “Fendi Atma D. Kok kaya enggak asing? Aku pernah dengar nama ini di mana?” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN