"Ayo naik!" Gara menyuruh gadis itu untuk segera menaiki motor ninja nya.
Setelah beberapa menit lalu mereka berdebat karena Alya tidak mau ikut. Pasalnya dia lagi bekerja dan jam pulangnya pun sore. Tapi Alya juga tidak mau jika lelaki itu menunggunya di sana sampai jam pulang. Bukan apa-apa, tapi Alya merasa risih dengan keberadaan Gara jika berada di dekatnya. Padahal lelaki itu tidak cerewet seperti dirinya.
Ah pokoknya Alya tidak mau jika Gara berlama-lama ada di tempat kerja nya.
Lelaki itu memberikan helm yang langsung diterima oleh Alya. Setelah meminta izin kepada pak Maman, beliau hanya tersenyum mengangguk.
"Kita mau kemana?" Alya bertanya dengan duduk hampir menyentuh jok belakang. Membuat dirinya harus waspada, jika sedikit saja mundur, gadis itu akan jatuh ke belakang.
Ingat, dia tidak ingin dadanya bersentuhan dengan lelaki itu.
"Keliling kota Bandung." Gara berucap datar, tidak melihat ekspresi gadis di belakangnya.
"Lo kira Bandung itu luasnya satu kilometer? Bandung itu luas, Onta."
Lagi-lagi Gara berekspresi cuek, dengan menjalankan kendaraan bermotor nya pelan. Padahal Gara juga sebenarnya pernah tinggal di Bandung, tapi dia hanya ingin berlama-lama dengan Alya. Maksud ingin menyelidiki lebih lanjut tentang siapa Alya.
"Gue lupa kota Bandung. Gue ingin lo jadi pemandu wisata gue."
"Berani bayar berapa?"
Seperti sengaja, Gara mengegas motor sedikit lebih cepat membuat Alya reflek memegang jaket Gara yang awalnya tangan gadis itu memegang benda di belakang motor.
"Lo gak takut? p****t lo udah di ujung tanduk. Majuan dikit."
"Nyari kesempatan?"
Kening Gara berkerut.
Gara mengatakannya hanya dengan perasaan biasa saja. Ya, takut gadis itu jatuh dan dia yang harus bertanggung jawab. Tapi lain dengan Alya, gadis itu malah beranggapan bahwa Gara sedang mencari kesempatan untuk membuat tubuhnya menempel dengan tubuh Gara.
"Maju tapi selamat? Mundur tapi celaka?" Diberi pilihan, Alya masih diam nampaknya sedang berfikir. "Lo kayaknya anti banget nyentuh gue. Buruan pilih, gue mau ngebut."
Tanpa berfikir lebih lama lagi akhirnya gadis itu mendekat. "Ceritakan tentang kota ini."
"Lo kira gue budayawan? Gue gak tau apa-apa. Walaupun gue orang sini, tapi gue gak tau keseluruhan kota ini."
Alya geram dengan lelaki di depannya ini. Bodoh atau apa, dirinya harus menceritakan sejarah kota Bandung.
Masih berputar-putar sudah setengah jam. Alya hanya menceritakan yang dia tahu saja tentang beberapa bangunan yang mereka lewati. Banyak yang gadis itu dalah sebut, membuat Gara yang memang sudah tahu, menarik sudut bibir keatas.
Gadis bodoh, tinggal di sini tapi tidak tahu apa-apa.
"Sekarang, ceritakan tentang lo." Gara kembali berucap setelah Alya bercerita.
"Buat apa cerita gue? Hidup gue gak ada sejarahnya dan gak penting."
"Gue ingin kenal lebih dekat sama temen baru gue."
"Gak ada maksud lain?"
"Gak."
Tapi Alya tetap curiga dan harus hati-hati. Dia belum sepenuhnya mempercayai maksud Gara dan memang dirinya belum terlalu mengenal lelaki itu.
"Ok, tapi jangan disini. Gak enak ngomong di motor."
"Lalu?"
"Gue laper."
Tanpa menjawab, Gara langsung membawa nya ke pinggir yang banyak pedagang kaki lima. Gara memilih mendekati si pedagang nasi goreng. Dirinya juga memang lapar, setelah memutuskan untuk langsung ke Bandung, Gara langsung menyewa apartemen di dekat tempat Alya bekerja. Membeli motor untuk ia pakai menemui gadis itu. Mobil dia punya, tapi lebih enak jika memakai motor. Mengurangi kemacetan.
"Kok disini?" Alya sudah turun dan membuka helm.
"Katanya laper."
"Tapi ini nasi goreng."
"Terus?" Gara bertanya sedikit kesal. Wanita ini sedang menguji kesabaran Gara dan hampir meruntuhkan pertahanan sikap dirinya yang cuek dan dingin.
"Gue gak suka. Gue lebih suka mie goreng."
"Yang penting kan sama-sama digoreng."
Lisa berbalik menatap Gara dengan sama kesalnya. "Iya, tapi ini beda, Onta. Nasi dan mie adalah dua bahan makanan yang berbeda."
"Lo kaya orang ngidam."
"Gue gak hamil."
Perdebatan mereka dipinggir jalan menjadi tontotan para pedagang dan pembeli disana. Gara yang sadar lantas mengusap kasar wajahnya. Seakan sekarang sudah tahu sifat asli gadis di depannya ini yang begitu ... menyebalkan.
"Ok, lo mau makan apa?"
"Mie goreng, Onta. Lo gak denger?"
"Berhenti manggil gue Onta."
Mereka kembali menaiki motor dan mencari tempat dimana mie goreng berada. Gara menemukannya, lalu mencari tempat untuk parkir.
Alya turun dengan wajah lesu dan tidak semangat. Lelaki itu memperhatikannya.
"Kenapa lagi?"
"Padahal gue ingin makan mie goreng langganan gue."
"Kenapa gak bilang?"
"Gue udah bilang tadi, mie goreng."
"Maksudnya kenapa lo gak bilang tempatnya dimana lo ingin makan."
"Ya, lo gak nanya." menatap Gara dengan wajah imut dibuat-buat, merasa bersalah.
"Astaga!"
Sedang Gara menggusar rambutnya kebelakang. Sudah kepanasan, kelaparan ditambah gadis didepannya ini selalu membuat otaknya mendidih.
"Sekarang makan disini dulu, lain kali kita makan ditempat yang lo mau dan lo suka. Gue udah laper."
Alya hanya diam menurut, mengikuti Gara masuk ke salah satu pedagang mie goreng. Alya duduk di paling pojok sambil merasakan udara sepoy-sepoy dekat pohon. Gara memesan dua porsi mie goreng lengkap dengan telur dan sosis. Membawa kehadapan Alya dengan rasa jengkel yang mulai memudar. Ia tahu harus menahan emosi nya saat bersama gadis itu. Ia ingin mengetahui segalanya tentang Alya.
"Sekarang, ceritakan tentang lo."
"Gak sabar amat, mau kemana Pak. Makan dulu napa." tanpa menunggu jawaban, Alya langsung menyantap makanan dengan lahap.
Karena rasa lapar, semua makanan yang ada didepannya pun akan terasa enak. Walaupun lebih enak mie goreng langganannya. Spesial ada bakso urat dan udang.
Lelaki itu juga makan dengan lahap. Sesekali memperhatikan Alya yang cara makannya sungguh berdeda dengan dirinya. Tidak mengutamakan gaya makan cantik ala-ala wanita lain.
Es kepala muda sebagai minumnya membuat kerongkongan Alya kembali segar.
"Segarnya." hitungan detik, tatapannya beralih menatap Gara. "Tapi, lo yang bayarin?" lelaki itu mengangguk membuat Alya bernafas lega.
"Ekhem." Gara memberi isyarat kepada gadis itu untuk segera memulai apa yang ia minta.
"Baiklah, dengerin. Biar lo gak bertanya dua kali." Alya sedikit merubah posisi duduk.
"Gue Alya, anak yang keluar dari rahim ibu. Ayah gue pekerja keras dan gue punya adik namanya Vina. Nah dia yang suka nasi goreng."
Gara masih diam mendengarkan.
"Gue bekerja sebagai penjaga barang berharga milik orang lain. Bahasa gaulnya juru parkir. Sudah setahun sih gue bekerja disana."
"Temen-temen lo?" Gara bertanya penasaran.
Alya menggeleng, "Gue gak punya temen. Tapi seingat gue, hanya punya temen saat gue kecil. Dan itu pun hanya beberapa yang gue inget. Setelah itu, gue juga gak tau kenapa gue gak punya temen atau gak ada yang mau temenan sama gue."
Alya juga memikirkan hal itu, setiap hari bahkan ia bertanya kenapa dirinya seperti hidup sendiri. Perubahan mimik wajah Alya berubah sendu, Gara juga melihat itu.
"Sekarang, temen yang lo punya siapa aja?" Alya menggeleng. "Atau nama-nama yang lo inget beberapa bulan ini atau bulan kemarin?"
Gara ingin memastikan apakah gadis itu akan mengingat kejadian sebulan yang lalu. Teman-teman Gara, Rama, Kinan, Rara.
Gadis itu berusaha mengingat namun kembali menggeleng. Gara berpikir mungkin gadis ini memang lupa dengan dirinya saat pertemuan pertama sebulan kemarin.
"Sudah cukup, sekarang gue akan cerita tentang diri gue."
Wajah Alya mendongak menatap Gara. "Gue gak minta lo cerita balik."
"Tapi gue yang mau. Lo harus dengerin." Semoga ini dapat membantu sedikitnya tentang ingatan gadis itu sebulan yang lalu.
"Gue Gara, pengusaha sukses yang mewarisi kekayaan dari ayah gue, Ganda."
"Sombong cerita nya." Alya memotong pembicaraan Gara dengan mencebik.
"Dengerin dulu." lelaki itu menarik nafas pelan sebelum melanjutkan. "Beliau sudah mati karena terkena racun."
"Ya Salam!" Alya kembali memotong pembicaraan, kali ini dengan ekspresi terkejut.
"Gue bilang dengerin dulu." Gara mulai kesal. "Itu karena sebuah insiden masa lalu. Gue juga gak punya temen banyak. Hanya Rama, Rara, dan Kinan atau Alexa. Mereka adalah sahabat gue dari kecil saat berada di panti. Sampai sekarang pun mereka tetap temen setia gue."
Alya menatap Gara diam. Berfikir bahwa masalalu lelaki ini mungkin sangat menyedihkan. Lalu, seketika gadis itu teringat sesuatu.
"Lalu, lo ketemu sama temen lo itu yang namanya sama kayak gue. Di mana?"
Gara kira setelah menceritakan itu, Alya akan mengingatnya tapi melihat ekspresi gadis itu malah seperti memang dia tidak mengenal dirinya.
"Gue ketemu sama Alya." itu lo. "Saat gue sedang mabuk berat waktu itu dengan wajah babak belur. Lo deketin gue dan nawarin gue saputangan ungu."
Gadis itu seperti tengah memikirkan sesuatu. "Gue juga punya saputangan ungu, tapi gue lupa dimana nyimpennya."
"Saputangan lo ada di gue."
"Mana mungkin, udah lama kali tuh saputangan ilang."
"Gue akan bawa saputangan itu ke elo." saputangan ungu dengan tulisan nama Alya di pinggir nya masih gue simpen aman disana.
"Mana?" Alya bertanya seolah menantang bahwa itu bukanlah saputangan miliknya.
"Di Jakarta."
Gaa kembali menatap gadis itu lama, memang benar Alya tidak mengingatnya sama sekali. Hanya ekspresi terkejut dan mengangguk yang gadis itu berikan. Gara masih berharap bahwa gadis di depannya ini adalah gadis yang mengenalnya sebulan yang lalu.
"Gara."
"Hem."
Gadis itu bertanya takut-takut. "Lo bener gak ada maksud lain temenan sama gue? Gak akan nyulik dan bawa gue ke Jakarta untuk dijadikan pekerja s**s kan?"
Gara melotot mendengarnya. "Gue gak sejahat itu. Emangnya salah gue temenan sama lo?"
"Gak juga sih, tapi cowok kaya dan ganteng kayak lo mau berteman dengan gue. Yah, maksud gue liat gue yang gak punya apa-apa dan juga .... " Alya menggantung ucapannya membuat Gara sebenarnya tidak terlalu penasaran.
"Apa."
"Juga ... gue gak cantik. Bukan gak cantik sih, gue cantik tapi sedikitlah diantara para gadis-gadis itu." Alya melarikan matanya melirik para mahasiswi yang sedang bercanda ria. Gara mengikuti pandangan Alya kemana lalu menarik nafas pelan.
"Jangan kebanyakan nonton sinetron, jadi banyak halu nya."
"Eh, Gara tunggu!" lelaki itu sudah berdiri untuk pergi membaya makanan yang tadi ia pesan.
"Apa?"
"Tapi, menurut lo. Apa gue cantik?" Alya bertanya dengan menampilkan deretan gigi tersenyum.
Gara hanya memutar bola mata malas menanggapi. Kenapa semua gadis sama, selalu ingin dipuji. Dan kenapa gadis itu sangat kepedean sekali.