Part 2 - Hilang

1287 Kata
Berita tentang Sasmita yang menjanda padahal baru dua hari menikah tentu sudah menjadi buah bibir pegawai di sepenjuru kantor tempat Sasmita bekerja. “Turut berduka ya, Mita.” Ujar salah seorang teman wanita, di susul beberapa teman lain yang mengucap bela sungkawa. “Iya, terima kasih.” Sasmita berusaha agar tidak menangis. Setiap ucapan bela sungkawa yang terlontar dari bibir teman – temannya, seperti mengingatkan Sasmita akan Agung, namun Sasmita berusaha tegar, demi menghargai teman – temannya. Usai teman – temannya yang mengucap bela sungkawa kembali ke meja kerja mereka masing – masing. Sasmita berencana pergi ke kamar mandi, untuk membasuh muka dan mencuci tangan. Sampai di lorong panjang yang menghubungkan toilet pria dan wanita, seorang pria; teman kerja dari devisi pemasaran menyapanya, “Mita.” “Oh iya.” Pria itu bernama Niko, dia tersenyum pada Sasmita dan menyalaminya, “Gue turut berduka atas kematian suami lo.” “Ah iya. Terima kasih.” “Lo kalau merasa sepi, bisa calling gue. Gue siap sedia, kalau lo butuh teman.” “Maksudnya?” Tanya Sasmitha tidak paham. “Ya lo kan janda. Pasti setelah meninggalnya suami lo, lo butuh penyaluran kebutuhan biologis. Gue siap kok jadi pengganti suami lo.” Seperti ada tangan tak kasat mata tengah menampar pipi Sasmita dengan cukup kuat. Sasmita menggigit bibir bagian bawahnya, kedua tangannya terkepal di sisi tubuh, dan ia merasa marah oleh pelecehan yang diucapkan Niko. “Kamu tidak cukup menarik untuk jadi teman tidur saya, Nik. Maaf.” Setelah mengatakan itu, Sasmita melangkah cepat menuju kamar mandi, dan ia pun bersembunyi di balik bilik toilet, lalu menumpahkan air matanya yang tidak bisa lagi ia tahan. Saat sibuk menangis, Sasmita mendengar beberapa langkah kaki masuk ke toilet, di susul seseorang mulai membuka percakapan. “Lo tau nggak, cowok – cowok divisi pemasaran dan divisi keuangan lagi taruhan?” “Taruhan apa?” Tanya suara lain menyahut. “Taruhan uang. Siapa yang bisa ngajak Sasmita tidur bareng, akan mendapatkan uang lima puluh juta.” Jantung Sasmita seakan berhenti berdetak mendengarnya. Taruhan? “Gila. Kasihan banget Mita, dia mungkin sekarang masih berduka, eh cowok – cowok b******k malah menjadikan dia taruhan.” “Namanya juga janda. Apalagi dia janda kembang kan? Baru dua hari loh dia nikah, terus di tinggal. Yang jadi pertanyaan cowok – cowok divisi pemasaran dan divisi keuangan, Mita itu masih perawan apa enggak!” “Ya enggak lah! Kan masih ada jeda dua hari sebelum suaminya mening—“ Tak tahan mendengar pembicaraan itu. Sasmita keluar dari bilik toilet itu dan membuat tiga wanita yang ada di kamar mandi membelalakkan mata melihat sosok Sasmita. “Mita—kami..” Sasmita tak mengeluarkan suara apapun. Dia hanya berlalu dari sana, menuju devisi marketing tempatnya bekerja, sesampainya ia di meja kerjanya, tak ia pedulikan setiap kata tanya yang di lempar teman – temannya. Sasmita mengambil ponsel juga tas miliknya yang ada di sana, dan melangkah keluar dengan menahan air mata yang terus menerus ingin melesat keluar. Sungguh. Sasmita mulai menyesali keputusannya kembali ke Jakarta. ** Pras melangkah memasuki perusahaan miliknya ketika melihat Sasmita melangkah keluar dengan raut wajah yang seperti menahan tangisan. Dalam benak Pras bertanya - tanya, sejak kapan Sasmita kembali bekerja? Bukankah wanita itu harusnya masih berduka? “Sasmita..” Panggil Pras, sembari menahan lengan Sasmita yang lewat di depannya. Sasmita yang baru menyadari jika ia melewati Pras, seketika menunduk. “Ah iya, Pak?” “Kamu sejak kapan kembali bekerja?” “Hari ini.” Pras merasa ada yang aneh dengan gelagat Sasmita. “Saya permisi dulu, Pak.” “Loh kamu mau ke mana? Ini masih jam kerja Sasmita.” “Maaf, Pak. Saya mau resign dan kembali ke kampung saja.” “Kembali ke kampung? Kamu pikir perusahaan ini mainan? Meskipun kamu adalah keponakan kakak ipar saya. Kamu tidak bisa berbuat sesuka hatimu, Sasmita.” “Kembali ke meja kamu. Sekarang.” ** “Kembali ke kampung katanya? Ckck.” Guman Pras pelan, syarat akan cemooh di setiap katanya. “Ke kampung? Siapa yang mau ke kampung? Kamu Pras?” Pras berbalik dan melihat kakak iparnya yang cantik meski usianya sudah menginjak kepala lima itu memasuki ruang kerjanya. “Nggak lah. Siapa lagi kalau bukan keponakan kesayangan Mbak?” “Sasmita?” “Siapa lagi?” Siska tersenyum, lalu mengambil duduk di sofa. Pras yang sedang duduk di kursi kerjanya, memilih beranjak dan duduk berhadapan dengan kakak iparnya. “Mbak minta tolong awasi Mita,” “Astaga! Dia bukan anak bayi loh Mbak!” “Tolong lah, Pras.” “Kerjaanku banyak Mbak. Tidak harus mengurusi bayi besar seperti Sasmita.” “Mbak hanya khawatir sama dia, Pras.” Pras menghela napasnya, “Mbak boleh khawatir. Tapi jangan berlebihan. Aku rasa Sasmita sudah dewasa, jadi dia pasti bisa melewati semuanya.” “Dia masih muda, Pras. Mbak takut ketika dia tidak bisa menahan, dia akan—“ “Lalu mau Mbak apa?” Tanya Pras dengan memijat pelipisnya yang tiba – tiba terasa sakit. “Jadikan dia sekretaris. Dengan begitu—kamu tidak kesusahan mengawasinya.” “SEKRETARIS?” “Mbak, aku sudah mempunyai Laura dan Ednan, kalau di tambah Sasmita, akan sangat berlebihan.” “Mungkin asisten pribadi?” “Nggak. Aku rasa selama ini aku cukup mandiri jadi tidak membutuhkan asisten pribadi.” “Oh kamu tidak mau menuruti keinginan Mbak? Kamu mau Mbak mengadu ke Mas Cipto?” Pras menggertakkan gigi kesal. Jika sudah begini, mana berani Pras membantah selain berkata—iya? “Kenapa memelototi Mbak terus? Tunggu apa lagi? Cepat jadikan Mita sekretaris atau asisten kamu, atau Mbak mengadu ke Mas Cipto.” Pras benar – benar kalah telak, ia mengangkat gagang telepon yang ada di samping sofa dan menghubungi seseorang di seberang sana, “Ra, saya mau kamu memanggil Sasmita dari devisi marketing sekarang.” ** “Ra, kenapa Sasmita belum ke ruangan saya?” Tanya Pras dua puluh menit kemudian setelah menunggu cukup lama dan Sasmita belum juga menampakkan batang hidungnya. “Sasmita tidak ada di mejanya, Pak. Kata temannya, dia pergi begitu saja setelah dari toilet.” “Loh, tadi saya minta dia kembali kerja saat bertemu saya di loby. Kamu yakin dia tidak kembali?” “Tunggu sebentar, Pak. Saya tanyakan lagi.” Sembari menunggu, otak Pras pun memutar kejadian hampir satu jam lalu dan dia masih mengingat jika tadi ia melihat Sasmita masuk ke dalam lift, walau lift yang ia dan Sasmita gunakan berbeda. Mungkinkah wanita itu mengelabuinya? “Tolong jelaskan maksud dari kamu yakin dia tidak kembali, Pras?” “Sebentar, Mbak.” Sahut Pras cepat. Lalu suara sekretarisnya di seberang sana terdengar, “Sasmita memang belum kembali sampai saat ini, Pak.” “Oh oke. Kamu bisa melanjutkan pekerjaanmu,” Sambungan itu tertutup dan Pras langsung di serbu seribu pertanyaan dari Siska, “Mita di culik, Pras?” “Ckck. Dia sudah sebesar itu. Mana mungkin di culik orang?” “Tapi dia tidak ada kan di gedung ini?” “Dia bisa saja pulang ke apartemennya Mbak.” Sahut Pras cepat. Siska yang sudah dilanda kepanikan, mulai menghubungi ponsel Sasmita dan tidak aktif! “Pras cepat cari Mita sampai ketemu!” Perintah Siska pada adik iparnya. “Mbak dia sudah besar. Dia bisa jaga diri dia sendiri!” “Jangan gitu lah, Pras! Mana tau memang ada orang jahat menculik Mita? Mita kan cantik, Pras. Banyak pria di luar sana yang pasti terpana akan kecantikan Mita! Tak terkecuali seorang penculik!” “Pokoknya cepat cari dia Pras! Mbak nggak mau tau, kamu harus cari dia!” “Aku ada rapat habis ini, Mbak! Rapat penting dan tidak bisa di wakilkan!” “Mbak yang akan minta Mas Cipto menggantikan kamu. Sekarang kamu keluar dari sini dan cari Mita sampai ketemu!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN