57

1158 Kata
TITIK TEMU [57] Sebuah penawaran __________________________ Albi tidak pernah bisa menebak isi kepala Ibunya. Menurutnya, semua yang dipikirkan Ibunya hanyalah—bagaimana caranya Albi bisa selalu membanggakannya. Tanpa disadari, Albi merasa bahwa dirinya hanyalah sebuah penelitian yang selalu saja dikembangkan untuk mendapatkan sebuah penghargaan. Mungkin, tak ada yang memikirkan perasaannya. Namun, dia tetap manusia 'kan? Dia bisa menilai berdasarkan apa yang dirasakannya dan ... inilah yang dia rasakan selama bertahun-tahun. Ibunya membesarkannya dengan sangat baik untuk menjadi sebuah ajang pamer karena dirinya telah berhasil menerima didikan Ibunya yang katanya mencerdaskan anak. Sayangnya, Albi merasa bahwa dia tidak mendapatkan kasih sayang apapun. Alih-alih kasih sayang, dia hanya merasa bahwa hidupnya tidak sepenuhnya miliknya. Albi harus bertanya untuk hal remeh-temeh yang seharusnya bisa dia putuskan sendiri. Ibunya mengontrol apapun yang Albi lakukan semenjak umur sepuluh tahun. Albi harus ini, Albi harus itu, Albi harus bisa ini, Albi harus bisa itu, Albi harus ikut ini, Albi harus ikut itu. Semua hal selalu diatur. Bahkan sampai pertemanan pun diatur. Ruang geraknya terus dibatasi agar tidak keluar batas yang dianggap ibunya berbahaya. Lalu, tumbuhlah seorang Albi yang sekarang. Albi yang dingin, pendiam, tidak banyak bicara, suka emosian, tidak bahagia, dan memendam segalanya di dalam hatinya tanpa berani mengeluarkannya. Toh, Albi merasa bahwa tidak bisa mengatakan apapun yang ria rasakan kepada siapapun. Albi tidak percaya kepada siapapun, Ibunya sekalipun. Maka dari itu, Albi banyak menyimpan rahasianya sendiri, sedihnya pun sendiri. Lagipula, tidak ada yang benar-benar memahaminya selain dirinya sendiri. Namun sekarang, Albi sedikit merasa bersyukur karena adanya Shena yang berada disampingnya. Cewek yang bahkan tidak pernah Albi rencanakan untuk dijadikan seorang pacar malah menjadi orang yang paling mengerti dibandingkan yang lainnya. Shena yang begitu dipuja banyak orang, sekaligus yang sedang dihujat habis-habisan karena sebuah video simpang siur—adalah pacarnya, orang yang memeluknya semalam. Shena menoleh ke arah Albi yang sedang memandanginya sejak tadi. Cowok itu bahkan tidak berkedip sama sekali. Tentu saja Albi bukan terpesona, namun lebih kepada rasa bersyukur karena adanya Shena di dalam hidupnya. Walaupun bisa dikatakan hubungan mereka berdua tidak lazim, terdengar klise, dan terasa tidak mungkin. Namun ketika dua orang mempunyai masalah yang sama, mereka akan lebih saling memahami dan jika beruntung, bisa saling menyembuhkan. "Ngapain Lo ngelihatin gue gitu banget? Gue tahu gue cantik, tapi enggak usah sampai melongo gitu." Tandas Shena yang menatap Albi balik. "Katanya, kita harus mensyukuri apapun yang kita punya hari ini. Jadi ... gue mencoba mensyukuri punya cewek nyebelin kaya Lo." Jawab Albi persis seperti yang sempat Shena katakan padanya tadi. Shena yang merasa tidak asing dengan kalimat itu pun langsung mencubit lengan Albi dengan cukup keras. "Auw~" teriak Albi sambil mengelus lengannya yang perih. "Kenapa sih kalau cewek kesel suka banget deh nyubitin cowoknya? Nah, lagi, kalau lagi ketawa nabokin terus enggak kira-kira. Dikira cowok samsak tinju apa?" Sindir Albi kepada Shena yang baru saja mencubitnya. Shena hanya menaikkan kedua bahunya acuh, "seru aja! Dah, cepet habisin makanan Lo. Bentar lagi bel masuk nih. Cowok makannya lelet banget!" "Ngomel aja terus! Pusing gue dengar omelan Lo!" Tandas Albi yang hanya mengaduk-aduk nasi gorengnya. Shena mengambil alih sendok Albi dan menyendokkan nasi goreng itu. Albi menatap sendok yang berada di depan mulutnya, lalu melahapnya dengan cepat. Beberapa siswa yang ada di kantin pun sempat menatap ke arah mereka. Mungkin mereka cukup penasaran dengan apa yang Shena dan Albi lakukan. Namun mereka memilih diam. Walaupun pada kenyataannya, ada yang merasa iri karena Shena bisa mendapatkan seorang Albi yang dikenal tidak pernah dekat dengan cewek manapun—dalam artian mempunyai hubungan lebih dari teman. "Bi," panggil Shena setelah Albi selesai membayar makanannya. "Hm," jawab Albi seadanya sambil menggendong tasnya. Shena melirik Albi yang sama sekali tidak terganggu dengan tatapan para manusia yang menatap mereka. Albi seperti sudah masa bodo dengan pandangan orang lain terhadapnya. Yang dia pikirkan adalah bagaimana segera sampai ke kelas tanpa harus menyapa orang lain. "Ayo ke kelas!" Ajak Albi kepada Shena yang masih duduk di kursi. Shena beranjak dari duduknya dan mensejajarkan langkahnya dengan Albi. Cowok itu merapikan sebentar rambut Shena dan berjalan kembali untuk menuju ke kelas mereka. Tak ada yang memulai pembicaraan selama perjalanan ke kelas. Shena yang tadinya ingin bertanya pun mengurungkan niatnya. "Lo mau tanya kenapa hari ini gue berangkat? " Tanya Albi ketika mereka hampir sampai di kelas. Shena mengangguk sekilas, "hm ... gue cuma penasaran aja. Kalau Lo enggak mau jawab, enggak masalah!" "Cuma penasaran atau memang itu bentuk kepedulian Lo sama gue?" Tanya Albi yang menatap Shena. Shena menghela napas panjang dan meninggalkan Albi untuk menuju ke kelasnya lebih dulu. Albi tersenyum tipis melihat tingkah Shena yang terlihat lucu. Walaupun kadangkala galak, Shena bisa menghiburnya hanya dengan melihat tingkah ngambeknya. "Shena," panggil Sofya yang melihat Shena masuk ke kelas. "Dari mana aja Lo? Kita nungguin Lo dari tadi tahu," ucap Liliana dengan wajah pura-pura kesal. Shena mendekat ke arah kedua temannya itu, "sorry, tadi gue ke kantin dulu. Habisnya Albi belum belum sarapan, gue nemenin dia." Sofya dan Liliana menganggukkan kepalanya. Apalagi setelah melihat Albi yang masuk ke kelas, mereka paham bahwa Shena dan Albi sejak tadi bersama. "Btw, kenapa nyariin gue?" Tanya Shena dengan wajah penasaran. Liliana memberikan selebaran yang dibawanya tadi, "gue mau ngajak Lo buat ikutan ekskul drama. Ketua tim ekskul drama minta gue buat ajakin Lo gabung. Bulan depan ada acara penggalangan dana besar-besaran untuk membantu pembangunan sekolah anak-anak tidak mampu. Sekolah kita kebagian acara drama musikal gitu. Jadi, anak-anak ekskul drama minta tolong sama Lo untuk ikutan. Please, kalau Lo memang enggak mau ikutan ekskul-nya enggak pa-pa, nanti gue kasih tahu ketua tim gue. Tapi Lo bisa ikut main drama sekali untuk acara ini aja, 'kan?" "Kenapa harus gue?" Tanya Shena sambil mengambil selebaran itu dari tangan Liliana. "Karena Lo yang paling populer di sekolah kita. Muka Lo cocok untuk jadi pemeran utama dan bakalan banyak orang yang bakalan ikut nyumbang kalau visualnya ada Lo. Gitu deh gampangnya!" Jawab Rilo yang tiba-tiba datang. "Kalau gue jadi orang-orang di luar sana dan lihat muka Lo ditempel di banner karena jadi pemeran utama, gue pasti langsung datang." Ucap Nandan menyahut. Albi menarik kertas yang dibawa Shena dan membacanya, "enggak ada salahnya juga." "Lo berpikir gitu?" Tanya Shena kepada Albi yang berada di belakang dirinya sambil mendongak untuk menatap wajah Albi. Albi mengangguk sekilas dan memberikan kembali kertas itu kepada Shena. "Nah, Albi aja bilang begitu." Ucap Sofya dengan semangat. Liliana tersenyum tipis, "biasanya, orang-orang bakalan langsung suka karena lihat yang good looking. Jadi, apapun peran Lo, bakalan kelihatan bagus." "Hah?" Ucap Shena yang tidak paham dengan maksud Liliana. "Lo boleh pikirin dulu..." Jawab Liliana sambil tersenyum. Shena menganggukkan kepalanya pelan, "oke! Gue akan kasih jawaban besok, ya." "Oke, Shen!" Jawab Liliana. "Good morning..." Ucap seorang perempuan yang baru saja masuk ke dalam kelas. Semua anak langsung berhamburan ke kursi masing-masing untuk duduk karena guru di jam pertama mereka sudah datang. Diam-diam Shena menatap ke arah Liliana yang berbeda dari biasanya. Apa yang terjadi? •••••
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN