12

1107 Kata
TITIK TEMU [12] Pesan-pesan teror. _________________________ Setiap orang mempunyai rahasia, Shena juga. Setiap orang memiliki kelemahan, Shena juga. Tetapi jika rahasia dan kelemahan itu menjadi sebuah bumerang dalam hidupnya, maka Shena akan menyingkirkan rahasia dan kelemahannya. Untuk rahasia, mungkin ada secuil orang yang tahu secara detail. Rahasianya yang sengaja dia tutup rapat-rapat agar tidak terbongkar. Sayangnya, secuil orang yang entah siapa itu, begitu lancang bermain-main dengannya. Mengirimkan banyak pesan yang sama setiap hari dengan nomor yang berbeda. Apa orang itu waras? Apa orang itu tidak punya pekerjaan lain? Mungkin secuil orang itu tahu apa rahasianya. Setidaknya, mereka tak tahu tentang kelemahannya. Sebuah hal yang memalukan yang ingin dia buang jauh-jauh dari pikirannya. Shena tahu itu mustahil, tetapi apa salahnya dicoba? Mencoba untuk menyembunyikan hal itu dengan lebih rapi lagi. Tentunya lebih rapi daripada rahasianya sendiri. Shena terlalu ceplas-ceplos terhadap beberapa hal. Namun, dia akan bungkam jika sudah menyangkut kelemahan apa yang kira-kira dimiliki oleh seorang Shena. Baginya, tidak perlu orang lain tahu. Langkahnya melambat ketika tepat berada di depan sebuah pintu kayu dengan papan nama tertulis Dokter Haris. Shena menghela napasnya panjang. Cewek itu sudah lama tak datang ke rumah sakit semenjak beberapa tahun lalu ketika dirinya terkena demam berdarah. Jika dulu Papinya harus memaksa untuk datang ke dokter, sekarang Shena pergi sendiri. Tidak ada yang menyuruhnya datang. Dia hanya ingin memastikan sesuatu. Ingin berbincang lebih tepatnya. Klek. Seperti biasa, Shena tidak pernah menggunakan sopan santunnya kepada siapapun. Bahkan ketika dirinya masuk ke dalam ruangan tersebut tanpa ijin dari pemilik ruangan. Di dalam pun sedang ada pasien, seorang anak perempuan berkuncir dua yang sedang dipangku Ibunya. Shena mengambil duduk di tempat tidur untuk pemeriksaan. Mengabaikan tatapan tidak suka dari Ibu itu. Laki-laki yang diketahui adalah Dokter Haris itu hanya menggeleng pelan. Dia sudah tahu jika Shena akan datang ke ruangannya. Tetapi dia tidak tahu jika Shena akan masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu layaknya tamu pada umumnya. Setelah menyelesaikan rangkaian konsultasi dengan pasiennya, Dokter Haris mendekat ke arah Shena yang sibuk memainkan ponselnya. "Dengar," ucap Dokter Haris sambil melipat tangannya di d**a. "Kamu bisa mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk seenaknya. Ini rumah sakit Shena, bukan rumah Om." Sambungnya dengan nada rendah. "Ck," Shena berdecak sebal tetapi tidak melepaskan pandangan matanya dari ponselnya. Dokter Haris melepaskan jas putihnya dan menggantungnya di gantungan yang berada di dekat mejanya. Dia tahu maksud kedatangan Shena ke ruangannya. Hanya saja, dia ingin mendengarnya langsung dari Shena. Cewek itu selalu bertingkah sesuka hati. Mengabaikan semua aturan kesopanan atau tata tertib yang ada. Shena adalah cewek yang cukup menyebalkan bagi mereka yang tidak mengenalnya. Ya, bagaimana mau mengenal? First impression-nya saja sudah buruk 'kan, ya? "Mau Om pesankan minum atau makan?" Tanya Dokter Haris yang memilih duduk di kursinya kembali. Shena mengangguk pelan. Kali ini Shena memasukkan ponselnya ke dalam tas dan memilih untuk menatap Dokter Haris. "Ice coffee float," request Shena saat Dokter Haris hendak menelepon seseorang dari telepon rumah sakit. Dokter Haris tersenyum, "jangan kebanyakan mengonsumsi kafein, enggak bagus. Om pesankan kamu s**u putih saja." "Tap—" "Kamu tidak bisa menghalangi, Om. s**u tidak terlalu buruk untuk hari ini, Shen." Ucap Dokter Haris yang langsung memesankan s**u panas entah kepada siapa, Shena tidak paham. Shena hanya membuang muka, tidak suka. Selama ini kemauannya selalu dipenuhi oleh siapapun. Tetapi kali ini, tidak. Dokter Haris yang paling tahu kondisinya. Laki-laki itu juga yang mungkin akan membantunya mengatasi semua masalah di dalam hidupnya yang rumit ini. Dokter Haris kembali menatap ke arah Shena, "apa kamu sudah bisa menentukan pilihan sekarang?" "Jawabannya tetap sama," jawab Shena seadanya. "Om tidak bisa berbuat banyak. Ini diluar kendali Om. Bukan termasuk dalam bidang Om juga. Om enggak mau salah memberikan diagnosa. Apalagi ini diluar pekerjaan Om." Jelas Dokter Haris memberikan pengertian. Shena menghela napas panjang lalu menatap Dokter Haris, "sama-sama Dokter, Om. Aku enggak peduli kok soal itu. Aku cuma butuh obat tidur aja. Kaya biasanya!" Dokter Haris tidak menjawab. Dia berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menyakinkan Shena kembali. Dia sudah berusaha untuk bicara dengan Shena kemarin. Tetapi cewek itu tetap saja keukeuh dengan pendiriannya. Padahal maksud Dokter Haris baik. Segala penyakit, bisa sembuh jika ditangani oleh ahlinya. Shena sakit? Bisa dibilang iya, bisa dibilang juga tidak. Belum ada diagnosis yang menguatkan hal itu. "Memang sama! Tapi Om tidak ahli di bidangnya. Om juga enggak mau kamu terus-menerus mengonsumsi obat tidur." Ucap Dokter Haris dengan wajah khawatir. "Biarkan Om memberitahu Papi kamu." Sambung Dokter Haris yang mendapatkan gelengan dari Shena. "Jangan pernah kasih tahu Papi! Kalau Om enggak mau kasih resep obat tidur lagi, ya udah! Enggak usah pakai acara ceramah segala." Ucap Shena sebal. Cewek itu mengambil tasnya dan beranjak dari duduknya, "kayanya enggak ada yang penting lagi. Aku mau pulang!" "Shena," panggil Dokter Haris yang memegang pergelangan tangan Shena. "Apa nomor-nomor yang meneror kamu, masih?" Tanya Dokter Haris sebelum Shena benar-benar pergi. Shena terdiam sebentar, tangan kanannya merogoh tasnya dan mengambil ponselnya. Cewek itu menyodorkan ponselnya kepada Dokter Haris. Dokter Haris lalu membuka ponsel Shena, melihat kotak pesan yang cukup banyak pesannya. Laki-laki itu menatap Shena sesekali. Tidak tega, mungkin itulah yang dilihat Dokter Haris dari Shena. Dokter Haris memberikan ponsel Shena kembali, "bagaimana kalau mengobrol di rooftop rumah sakit? Suasananya bagus." "Om tahu, pesan seperti ini datang setiap menit seperti hujan deras. Kadang aku takut membuka kotak pesanku. Takut jika ternyata ada pesan-pesan seperti ini. Takut jika ancaman itu benar-benar terjadi. Makanya, aku enggak pernah bisa tidur Om. Aku enggak bisa menghilangkan kewaspadaanku sendiri." Curhat Shena yang kali ini memilih untuk duduk di kursi yang biasanya digunakan oleh pasien. "Kamu bisa ganti nomor. Kamu bisa memblokir nomor itu." Ucap Dokter Haris memberikan solusi. Shena tertawa, "aku berulang kali melakukannya, Om. Bahkan sampai bosan dan akhirnya capek sendiri. Kenapa aku harus begini? Aku bisa menahannya, seperti biasanya." "Shen, kamu masih terlalu muda untuk—" Dokter Haris memilih untuk tidak melanjutkan ucapannya. "—menjadi gila." Sambung Shena dengan wajah sendu. "Aku bahkan sudah merasa cukup gila sebelum adanya pesan-pesan itu, Om. Lebih tepatnya lagi, ketika Papi dan Mami mulai tidak bersama lagi. Aku sudah mulai gila waktu itu." Ucap Shena dengan menghapus air matanya. Dokter Haris mengelus kepala Shena dengan lembut, "kamu boleh enggak baik-baik aja. Om tahu, ini berat untuk kamu. Tapi kamu tidak bisa menghakimi Papimu. Orang dewasa memang sulit dimengerti, Shen. Tapi mereka melakukan semua itu untuk kebaikan kamu." "Kebaikan seperti apa yang Om maksud? Memisahkan anak dengan Ibunya dan menggantikan Ibunya dengan Ibu barunya?" Tandas Shena dengan berapi-api. Shena beranjak dari duduknya, "aku enggak mau mempersulit diriku, Om. Jangan beritahu Papi soal aku. Aku enggak mau memperumit diriku sendiri." •••••
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN