TITIK TEMU
[37] Kepercayaan orang tua
___________________________
Kadangkala, orang tua terlalu ketat memberikan batasan dan peraturan kepada anaknya. Sehingga pada suatu saat, anak akan mencari celah untuk menerobos batasan itu. Terkadang, orang tua tidak ingin memberikan kebebasan kepada anaknya. Mereka lupa bahwa anak juga manusia—yang mempunyai akal dan perasaannya sendiri. Anak bukanlah sebuah benda tanpa otak dan perasaan yang bisa disetir dan didandani sesuai dengan keinginan orang tua. Walupun anak terlahir dari orang tua, namun anak bukanlah sesuatu benda yang bisa dinominalkan sebagai ajang balas budi.
Banyak anak yang tidak berani untuk mengambil keputusan dalam hidup. Mereka ketakutan mengambil satu langkah dalam hidupnya setiap saat karena terpaku dengan dikte orang tua yang menjadikan anak seperti tidak mempunyai pilihan. Mungkin, orang tua akan menandai anak itu sebagai anak penurut dan menandai anak yang sering menyuarakan pendapatnya sebagai anak yang nakal, pembangkang, tidak pantas untuk disayangi, dan merasa gagal mendidik. Padahal, setiap manusia bebas untuk berpendapat, termasuk anak juga.
Albi selalu berusaha menjadi anak yang penurut. Bukan karena karakter seorang Albi. Namun lebih kepada rasa takut untuk mengatakan apa yang sebenarnya dia inginkan dan rasakan pada saat itu. Albi adalah gambaran dari anak penuh dengan tekanan. Yang berusaha menjadi perfeksionis dengan mental yang berantakan. Dituntut untuk selalu sempurna di depan semua orang, menjadi pengganti sang kakak yang tidak lagi bisa diharapkan. Albi seperti piala bertahan yang tidak boleh direnggut siapapun.
Namun hari ini, Albi yang biasanya amat rajin di kelas dan mendengar semua penjelasan guru, rela keluar dari sekolah. Meninggalkan semua rutinitas membosankan yang selalu diagung-agungkan Ibunya kepada para tetangga yang memuji Albi sebagai siswa teladan. Sesekali, Albi ingin menikmati hidupnya sebagai siswa biasa—yang bolos sekolah tanpa alasan. Terkadang, Albi ingin mencicipi rasanya telat datang ke sekolah, berlari-lari dari parkiran menuju kelas, dihukum di lapangan, atau melakukan hal lain yang biasa dilakukan oleh murid yang katanya nakal.
"Mimpi terbesar dalam hidup gue adalah bisa menikmati masa remaja yang sesungguhnya. Karena Mbak Indi enggak bisa mengembalikan masa remaja gue, biar gue sendiri yang mengembalikannya!" Gumam Albi sambil menatap ke arah halte yang mulai tampak dari dalam bus.
Albi menepuk pipi Shena pelan, membangunkan cewek itu dari tidurnya yang sangat lelap. Hampir mirip putri salju yang baru saja menggigit apel beracunnya.
"Udah sampai, Shen." Ucap Albi kemudian dengan mengguncang tubuh Shena. "Kalau Lo enggak mau bangun, gue bakalan langsung pergi gitu aja." Sambung Albi mengancam.
Shena mencebikkan bibirnya kesal dan membuka matanya sebelum Albi benar-benar meninggalkannya di sini. Padahal, Albi sempat mengatakan hal menenangkan ketika mereka akan naik bus. Lalu, kemana kata-kata itu?
"Turun!" Tandas Albi yang kali ini memasang wajah serius. Cowok itu pun beranjak dari duduknya, lalu menarik tangan Shena yang entah sejak kapan digenggamnya tanpa canggung.
Ah ... sejak kapan Albi pintar sekali menggenggam tangan cewek? Atau mungkin ini adalah hal yang paling langka yang pernah Albi lakukan di dalam hidupnya. Albi juga bukanlah manusia yang romantis atau sering bersikap lembut. Maka dari itu, tak ada yang mendekatinya atau dirinya yang mendekati orang lain. Karena Albi terlalu kaku, dingin, dan tidak seru.
Mereka turun dari bus dan berjalan bergandengan tangan menuju ke danau yang mereka maksud. Tanpa basa-basi, Shena langsung berlari dengan kencang dan duduk disalah satu gazebo berdebu itu; seperti anak kecil yang diajak ke tempat wisata. Sedangkan Albi tampak berjalan dengan santai dan menyusuri bibir danau dengan tatapan sedih. Jika pikirannya kacau dan ketika sedang bertengkar dengan Ibunya, Albi sering datang kesini sendirian.
"Seharusnya, kita mampir dulu ke minimarket tadi." Gerutu Shena yang mengeluarkan botol minumannya yang hanya sisa sedikit.
Albi mendekat ke arah Shena yang tampak sedang kesal, "Lo kenapa sih selalu menyelesaikan masalah dengan nge-bacot? Pusing gue, Shen!"
"Iya, gue diam! Puas Lo!" Tandas Shena dengan wajah kesal.
Mereka duduk saling bersebelahan, sama-sama mengeluarkan buku masing-masing untuk mengerjakan tugas yang menjadi hukuman mereka tadi. Albi fokus menggambar dan Shena yang masih mager, menatap sekelilingnya. Tempat ini sangat nyaman walaupun keadaannya menyeramkan. Andaikan waktu itu dirinya bisa menikmati waktu lebih lama bersama dengan keluarganya, pasti sangat menyenangkan sekali.
"Bi," panggil Shena menatap Albi yang sedang fokus dengan pekerjaannya.
"Hm," hanya deheman yang keluar dari mulut Albi, itu pun tanpa melihat ke arah Shena.
Shena tersenyum tipis, "gue boleh tanya sama Lo, enggak?"
"Apa?" Jawab Albi yang kali ini menatap ke arah Shena.
"Waktu itu ... kita ketemu di sini. Kalau gue enggak salah lihat, Lo seperti menebar bunga di danau itu, 'kan?" Tanya Shena hati-hati tetapi penasaran.
Albi meletakkan bukunya dan menatap Shena, "hm ... gue bisa ceritakan kisah gue sama Lo. Tapi, apa Lo bisa dipercaya untuk menjaga rahasia ini?"
Shena mengerutkan keningnya penasaran, "gue memang sangat penasaran. Tapi kalau berhubungan dengan rahasia, gue enggak mau tahu. Gue enggak tahu kapan mulut gue tertutup rapat! Jadi ... mendingan enggak tahu apa-apa sama sekali."
"Gue cuma bercanda, Shen." Ucap Albi dengan sedikit tertawa. "Ini semua bahkan bukan rahasia sama sekali. Semua orang pun tahu..." Sambung Albi dengan menatap Shena yang memasang wajah bingung.
Sebenarnya sangat sulit untuk Albi mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Biasanya orang-orang tahu tanpa mendengarkan penjelasannya. Karena Albi memang tidak mau menjelaskan apapun kepada siapapun. Namun, dengan Shena? Albi sepertinya ingin bercerita. Karena mereka merasa senasib!
"Beberapa tahun yang lalu, keluarga gue punya masalah ekonomi yang cukup parah. Ayah di PHK dari pekerjaannya. Kami benar-benar kekurangan uang waktu itu, apalagi gue sama Kakak gue sama-sama masih sekolah. Kami berdua butuh biaya besar karena selalu sekolah di sekolah yang menurut gue enggak seharusnya kita masuki; terlalu mahal. Tapi Ibuk selalu keukeuh menyekolahkan anak-anaknya di sekolah yang mahal dan bergengsi karena akses beasiswa dan juga kemungkinan masuk universitas bagus terbuka lebar. Karena masalah ekonomi yang berkelanjutan dan Ayah yang enggak dapat kerja, mungkin karena umurnya juga. Banyak tekanan dari mana-mana, termasuk dari Ibuk." Ucap Albi yang didengarkan Shena dengan serius.
"Mereka berdua sering bertengkar hebat, membahas masalah uang dan uang. Jadi ... kalau ada pasangan yang mengatakan tentang cinta tanpa uang—semuanya hanya omong kosong. Mereka belum menapaki rumah tangga yang begitu kejam! Karena tanpa uang, kehidupan seperti tidak akan pernah berjalan." Sambung Albi menjelaskan.
Albi mengingat semua kenangan yang berputar di kepalanya tentang masa itu, masa di mana kehancurannya dimulai. Ketika awal mula Ibunya menjadikannya sebuah kompetisi untuk selalu dimenangkan.
"Dan ... tiba-tiba ada telepon dari kantor polisi. Waktu itu, gue baru pulang dari main bola dan Ibuk mendapatkan kabar kalau Ayah bunuh diri di danau itu. Jasadnya ditemukan dengan keadaan yang tidak terlalu baik. Gue ingat dengan jelas, gue menangis kencang dan minta untuk ikut Ibuk ke danau. Tetapi, Ibuk enggak mengijinkan sama sekali. Gue dikunci di dalam kamar sampai pemakaman selesai. Setelah Ayah meninggal, semuanya berubah. Apalagi setelah Kakak gue dinyatakan hamil diluar nikah—semuanya semakin rumit. Mungkin, permainan bola waktu itu adalah permainan terakhir yang bisa gue nikmati dan bisa gue sebut sebagai kebahagiaan." Tutup Albi untuk ceritanya.
Albi menatap danau di depannya, andaikan dia bisa menolong rasa depresi Ayahnya. Mungkin, semua tidak akan terjadi. Lukanya akan semakin dalam dan rasa marahnya semakin besar. Albi bukan tidak bisa marah, namun Albi tidak akan bisa meluapkan marahnya kepada Ibunya sendiri. Karena Albi sadar, Ibunya hanya mempunyai dirinya sekarang.
"Lalu ... cafe itu?" Tanya Shena penasaran.
Albi tersenyum kecut, "Ayah yang memberikan untuk gue. Sebenarnya tempat itu adalah aset satu-satunya yang Ayah punya dan selalu Ibuk minta untuk dijual. Ayah selalu menghalangi Ibuk karena Ayah percaya bahwa tempat ini akan membuat gue semakin menjadi pribadi yang mandiri dan bisa berbisnis seperti yang gue mau. Semoga Ayah enggak salah!"
•••••