51

1136 Kata
TITIK TEMU [51] Sebuah pelukan ketenangan! ________________________________ Shena menghentakkan kakinya saat keluar dari ruangan Dokter Haris—meminta bantuan dari teman Papinya untuk merahasiakan kedatangannya selama ini. Karena Melia tahu soal obat tidur itu, Shena merasa sangat was-was kalau-kalau Bundanya itu akan memberitahu Papinya. Shena tidak mau dibawa ke rumah sakit jiwa atau apalah itu namanya. Dia benar-benar takut dengan semua kenyataan yang akan dia dapatkan jika sampai Papinya tahu. Padahal selama ini Shena sudah berhati-hati. Namun sayangnya harus berakhir hari ini. Apalagi Dokter Haris tidak akan menutup-nutupinya lagi. Dulu, Shena datang kepada Dokter Haris untuk meminta bantuan dari masalah yang dia hadapi. Berulang kali Shena disarankan untuk datang menemui psikiater, namun Shena selalu menolak dengan alasan tidak mau dikatakan atau dilabeli sebagai orang gila. Apalagi dia cukup dikenal banyak orang. Jika sampai ada orang yang tahu tentang semuanya, Shena tidak mau di-bully dan dijadikan bahan tertawaan karena datang ke psikiater. Toh, selama ini dia baik-baik saja. Hanya saja sering sulit tidur, terkena serangan panik, dan ketakutan tanpa sebab. Shena menghembuskan napasnya kasar sambil mengingat semua yang dikatakan Dokter Haris kepadanya. "Kalau kamu mau Om diam dan tidak memberitahu Papimu, coba datang ke psikiater. Kamu butuh orang yang ahli dan mampu menangani masalahmu. Tidak semua orang yang datang ke psikiater itu gila, Shen. Banyak kok yang merasa bebannya berkurang karena datang kepada ahlinya. Ini demi kebaikan kamu! Kalau kamu benar-benar ingin sembuh dari kesulitan tidurmu, cobalah untuk datang sekali saja! Om janji tidak akan memberitahu Papimu kalau kamu benar-benar ingin konsultasi dan tidak lagi mengonsumsi obat tidur lagi." Padahal ini masalahnya! Dia yang tidak bisa tidur, dia juga yang sering terkena serangan panik. Tapi kenapa banyak sekali tuntutan dari orang lain untuk melakukan ini-itu. Bahkan Shena tidak yakin dengan datang ke psikiater, masalahnya akan selesai. Menurutnya, tidak ada yang bisa menyelesaikan masalahnya. Mau seberapa banyak uang yang dia punya, tidak akan ada yang bisa menyelesaikan masalah di dalam hidupnya. Setelah keluar dari lift, Shena pun berjalan keluar dari rumah sakit. Namun Shena melihat seseorang dengan seragam SMA yang sama dengan seragam sekolahnya sedang duduk sendirian disalah satu kursi rumah sakit. Shena mengerutkan keningnya bingung; sedang apa cowok itu di sini? Berbagai pertanyaan pun muncul di kepala Shena. Cewek itu menatap ponselnya yang sepi tanpa ada pesan atau telepon dari siapapun. Shena membeli kopi di coffee shop yang ada di rumah sakit. Setelah itu berjalan mendekat ke arah di mana cowok itu sedang duduk sendirian. Terdengar isakan pelan yang keluar dari mulutnya, membuat Shena merasa ragu untuk muncul atau tidak. Shena memilih untuk diam tanpa suara di belakang cowok itu. Bukan bermaksud apa-apa, namun Shena memberikan jeda jikalau cowok itu ingin meluapkan perasannya dengan sendirian. "Apa yang harus gue lakuin? Kenapa gue bodoh banget sih? Kenapa gue enggak ngangkat telepon? Harusnya gue langsung angkat walaupun itu artinya dimarahin! Kenapa sih gue selalu gagal dalam segala hal. Gue enggak mau kehilangan lagi! Gue enggak mau!" Ucap cowok itu yang merutuki dirinya sendiri. Shena mengelus pundak cowok itu pelan, membuat si empunya pundak langsung menoleh dengan wajah kagetnya. "Shena," ucap cowok itu dengan buru-buru menghapus air matanya dengan kasar. "Lo ... ngapain di sini sekarang?" Sambungnya dengan terbata-bata. Shena menyodorkan satu cup kopi kepada cowok itu, Albi. Cowok yang saat ini berwajah merah dengan air mata yang masih menggenang di kelopak matanya. Shena merasa aneh ketika melihat Albi menangis. Apalagi cowok itu selalu memperlihatkan wajah angkuhnya di depan semua orang. Mungkin menangis di tempat yang gelap seperti ini adalah tempat yang pas, menurut Albi. Cowok itu meminum kopi yang dibawakan Shena dengan buru-buru, karena merasa haus. "Lain kali, kalau mau nangis dan aman—mendingan di kamar mandi. Jangan di tempat yang gelap kaya gini deh! Kalau di tempat umum dan gelap kaya gini, kemungkinan orang lihat itu banyak." Sambung Shena yang membuat Albi memalingkan wajahnya karena malu. "Lo ngapain di sini? Sama siapa? Semalam ini di rumah sakit," tanya Albi sambil menatap ke kanan dan ke kiri, mencari orang yang bersama dengan Shena. Namun nihil, tidak ada siapapun yang bersama dengan Shena. Shena tersenyum tipis, "gue datang mau ketemu sama Om. Terus, datang kesininya juga diam-diam. Mumpung orang rumah udah pada tidur." "Bisa?" Tanya Albi heran karena rumah sebesar dan seketat itu, bisa Shena lewati dengan mudah. Shena mengangguk dengan mantap, "setiap hari gue selalu memikirkan strategi mudah untuk kabur dari rumah dengan baik. Berulangkali gue ketahuan, dan dari kesalahan itu lah gue belajar bagaimana supaya enggak ketahuan lagi." Albi hanya mengangguk pelan dan tersenyum tipis. Cowok itu kembali diam dan menyeruput kopinya pelan, padahal hanya sisa sedikit. Albi tidak tahu apa yang Shena pikirkan tentang dirinya. Apalagi Shena tahu bahwa dirinya menangis. Padahal dia sudah yakin bahwa tidak akan menemukan orang yang dikenalnya di sini. Tetapi nasib berkata lain, Shena berada disampingnya sekarang. "Bi," panggil Shena sambil memegang lengan Albi. "Gue memang pernah bikin Lo marah dan kesal. Tapi 'kan sekarang gue pacar Lo. Gue juga mau berguna untuk Lo. Gue bisa kok kasih satu pelukan buat Lo. Karena gue tahu rasa sakitnya saat butuh pelukan disaat enggak ada satupun orang yang mau memeluk gue." Sambung Shena menatap Albi sungguh-sungguh. Albi menundukkan kepalanya, "ini akan menjadi hal yang memalukan untuk gue, Shen. Gue enggak mau dikasihani, gue enggak mau dianggap lemah, gue enggak mau~" Shena mengelus tangan Albi yang seperti kehilangan kata-katanya karena menahan tangis. "Gue ... capek, Shen! Gue salah juga! Gue egois!" Tandas Albi dengan air mata yang jatuh ke tanah. "Kalau Lo capek, Lo bisa bersandar sama gue. Kita pacaran untuk saling bersandar, Bi. Gue dan Lo punya kelemahan yang kadang enggak bisa kita kasih tahu ke orang lain. Jadi ... kalau Lo capek, Lo harus ingat kalau Lo punya gue. Gue siap menampung seluruh lelah Lo, marah Lo, capek Lo, sedih Lo, segalanya! Kalau Lo enggak bisa menghadapi sendiri, kita hadapi bareng-bareng." Ucap Shena panjang lebar. Albi menatap Shena dengan penuh air mata. Cowok itu mendekat, mencoba untuk menyandarkan kepalanya di pundak Shena. Pundak Albi begitu bergetar karena menangis, kedua tangannya rasanya dingin. Shena tersenyum tipis, mengelus rambut Albi dengan lembut. Merasakan bajunya basah karena air mata Albi yang menetes. "Lo enggak harus jadi kuat di depan gue. Gue tahu banget rasanya jadi kuat. Padahal hatinya sakit!" Ucap Shena sambil mengelus rambut Albi berulangkali. "Kita akan baik-baik aja, Bi. Karena kita bersama! Kita akan mengerti rasanya sakit karena kita tumbuh dari rasa sakit juga." Sambung Shena pelan. Terkadang, patah berkali-kali akan memberikan ketegaran kepada orang lain. Shena pernah merasakan rasa hancur yang tidak bisa dijelaskan bagaimana hancurnya. Namun hari ini, Shena menggunakan bahunya untuk menampung sedih Albi. Karena Shena tahu sekali rasanya tidak punya bahu untuk menumpahkan sedihnya. Namun ... pelukan ini tidak hanya memberikan ketenangan untuk Albi. Tetapi untuk Shena juga. Shena juga merasakan damai ketika mereka saling berpelukan, ketika Albi melingkarkan tangannya di pinggangnya. •••••
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN