Diary melangkah gontai keluar dari gerbang sekolah. Tatapannya terlihat kosong di tengah ia yang berniat untuk menunggu jemputan Rahman sopir pribadinya di halte dekat sekolah seperti biasa.
Wajah Diary terlihat sangat semrawut. Seragamnya pun tampak kotor dengan bercakan noda kuning gara-gara disiram jus oleh Prita sewaktu istirahat berlangsung. Memang sudah kering, tapi noda kotornya masih membekas seperti rasa pedih yang mendera perasaannya ketika setiap kali sedang ditindas. Diary lantas memutuskan untuk duduk di bangku halte dengan pandangan menunduk diam. Entah punya dosa apa dia, sampai-sampai hidupnya semiris ini dan sering mendapat perundungan yang tak pernah bisa ia balas semenyakitkan apapun perbuatan mereka.
Lalu tiba-tiba, seseorang datang dan menyapa pelan di tengah Diary yang sedang fokus termenung seorang diri, “Di-Diary....”
Si pemilik nama lantas menoleh, matanya langsung mendapati senyuman yang terpancar dari wajah Restu yang kini sudah duduk di sebelahnya.
“Restu, " gumam Diary tersenyum samar, "Kamu belum pulang?” tanya Diary berusaha memperlihatkan wajah baik-baik sajanya. Padahal Restu sendiri sudah begitu hapal kalau gadis itu baru saja ditindas lagi oleh Prita juga Keyna ketika ia melihatnya secara sembunyi-sembunyi di sekitar kantin.
"Res," tegur Diary mengulang saat ia melihat cowok itu hanya terdiam tak menjawab.
Restu terkesiap, lalu ia pun balas menatap Diary dengan senyuman kikuknya, “Be-belum," geleng Restu singkat, "Ka-kamu juga kenapa be-belum pulang?” tanya cowok itu bertanya balik.
Kini giliran Diary yang menggeleng, “Aku lagi nunggu Pak Rahman, sopir yang biasa jemput....“ terang Diary menginfokan.
“Oh gitu, " ucap Restu manggut-manggut, " Oh iya, Diary ... ngomong-ngomong, a-aku mau minta maaf sama kamu,” lanjut Restu terlihat gusar.
“Minta maaf? Soal apa?” tengok Diary mengernyit.
Restu tampak ragu, tapi ia seakan tetap memantapkan diri guna kembali berbicara. Restu pun menegakkan kepala dan menatap gadis di sampingnya lekat-lekat.
“A-aku mau minta maaf sama kamu, so-soalnya ... tadi aku, emm ... a-aku gak bisa tolongin kamu pas kamu lagi dibentak-bentak Prita lagi....” ungkapnya merasa bersalah.
Diary mendesah pelan lantas tersenyum maklum,“Kenapa harus minta maaf? Yang salah itu kan Prita, bukan kamu. Kenapa kamu harus nunjukin wajah merasa bersalah juga? Santai aja, aku udah terbiasa kok tertindas seperti itu,” tukas Diary tertawa kecut.
“Ta-tapi aku sebagai laki-laki gak berani dan gak bisa lindungin kamu dari Prita, a-aku jadi--”
“Gak apa-apa, dengan kamu care sama aku kayak gini aja ... aku udah ngerasa cukup dihargai, kok...." ujar Diary menepuk bahu Restu pelan, "Lagian, kamu gak perlu ngelakuin hal apapun kok buat aku. Cukup dengan kamu mau jadi teman akrab aku aja aku udah senang. Itu artinya, gak semua orang bersifat jahat juga di dunia ini. Buktinya, aku masih bisa berteman sama orang baik seperti kamu....”tutur Diary tersenyum bijak.
Restu mengulas senyum, meski sebenarnya dia masih sangat merasa bersalah, tapi setidaknya dia merasa lega juga karena sudah mendengar kata-kata bijak yang Diary lontarkan. Melihat teman lelakinya tersenyum Diary pun ikut tersenyum dan kembali menepuk-nepuk bahu Restu akrab. Dalam hatinya, Diary merasa bangga karena ternyata di dunia yang kejam ini masih ada teman sebaik dan sepeduli Restu.
Tak lama kemudian, Rahman pun datang dengan mobilnya. Diary pun menyadari hal itu karena tepat di depan halte, mobil itu berhenti disusul dengan sopirnya yang keluar guna membuka pintu belakang untuk nonanya.
“Jemputanku udah dateng, kamu mau nebeng, Res?” tunjuk Diary sembari menawari.
Dengan sigap, Restu dengan menggeleng, “Eng-enggak usah, makasih. A-aku masih harus ke tempat lain soalnya, ka-kamu duluan aja...." tolak Restu halus.
Diary mengangguk mengerti, “Ya udah kalo gitu, aku pulang duluan ya, bye....” pamit Diary beranjak lantas segera menghampiri mobil yang pintu belakangnya sudah dibuka oleh sopirnya.
Restu tersenyum sambil melambaikan tangan, pandangannya terus mengikuti mobil yang kini sudah melaju membawa Diary pulang.
¤¤¤
“OH MY GOD, Non ... kenapa dengan seragam Non Diary?” seru Jenny memekik saat mendapati nonanya yang baru melangkah masuk ke dalam rumah.
“Seperti biasa, Mbok ... Diary abis dijahilin lagi,” jawab Diary singkat, berjalan menuju tangga.
“Ya Tuhan ... kenapa Non diam saja? Do something, Non ... Do something! Dont only silent....” gencar Jenny gemas.
Namun tak membuat Diary termotivasi, gadis itu justru hanya mendengus kecut seakan tak tertarik,“Gak perlu lah, Mbok ... nanti juga dapat karma." ujar Diary mengutuk, "Ya udah, Diary langsung masuk kamar ya, Mbok....” pamit Diary kemudian.
Diary langsung menaiki tangga menuju kamarnya, Jenny hanya bisa geleng-geleng kala melihat Diary yang setiap harinya selalu dijahili teman sekolahnya.
“Kasihan sekali Non Diary, i hope ... Non Diary segera diberi kebahagiaan dalam waktu yang cepat,” gumam Jenny penuh harap.
¤¤¤
Merasa bosan dan jenuh berada di rumah sepulang sekolah, Diary pun memilih untuk jalan-jalan ke taman komplek.
Setidaknya, di sana Diary bisa menghirup udara luar dengan leluasa. Gadis itu juga bisa merenungkan segala sesuatu yang terjadi kepadanya selama ini. Diary duduk sendirian di bangku taman, menghadap kolam bulat yang di tengahnya dibangun sebuah tiang lampu yang menjulang tinggi.
Diary menengok ke sebelah kiri, tak sengaja ia melihat beberapa anak remaja yang sedang bermain gembira bersama teman-temannya. Tanpa sadar Diary pun memperhatikan mereka, dalam hatinya ia berangan-angan seandainya saja dirinya bisa sebahagia mereka. Namun tampaknya itu semua begitu mustahil.
Bayangkan saja, selama bertahun-tahun Diary belum pernah merasakan seperti apa itu bahagianya bersenda gurau bersama teman-teman sebaya. Alih-alih begitu, Diary hanya mendapat penindasan saja di sekolahnya. Sedangkan di lingkungan rumah, Diary sama sekali tidak mempunyai teman untuk sekadar diajak bermain.
Poor, Diary!!
Tanpa sepengetahuan Diary, tiba-tiba Gerrald muncul di belakangnya. Menutup kedua mata Diary dengan telapak tangan.
Kontan, Diary pun terkejut, “Ih, siapa siih....” ronta Diary merasa risi.
Gerrald yang tak mau kalau sampai temannya itu marah pun buru-buru melepaskan kedua tangannya bersamaan dengan menunjukkan batang hidungnya melewati bahu Diary. "Hayo loh!" seru Gerrald memeletkan lidah.
Saat tahu bahwa itu Gerrald, Diary pun bernapas lega,“Gerrald, gak lucu tau!“ delik gadis itu sebal.
Gerrald tertawa. Lalu berpindah posisi guna duduk di sebelah Diary.
“Lo kenapa, sih? Bete banget kayanya....” tatap Gerrald mengernyit.
Diary mengembuskan napas panjang,“ Gak apa-apa," gelengnya samar, lantas Diary segera mengalihkan pembicaraan, "Ngapain ada di sini? Ngikutin aku, ya?” tuduh Diary berpura-pura ketus.
“Lah, kok pertanyaan lo aneh banget sih ... gue kan emang sering ke sini. Lo lupa kali pertama kita ketemu? Kan di sini juga...." ujar Gerrald mengingatkan.
Spontan, Diary memutar bola mata. Membuat Gerrald lantas tercengir lebar dan berkata, "Iya deh gue ngaku." ucapnya seraya bersedekap, "Tadi gue ke rumah lo, tapi kata pembantu yang ada di rumah lo, katanya lo lagi main ke taman komplek. Ya daripada gue sia-sia nyempetin diri buat main ke rumah lo tapi lo nya gak ada di rumah, kan mending gue samperin aja langsung ke sini...." terang Gerrald panjang lebar.
Diary tercengang. Menatap Gerrald tak percaya. Jadi, cowok ini berniat untuk main ke rumah? Tapi, kenapa dia tidak memberitahunya lebih dulu? Bukankah Gerrald bisa saja mengabarinya melalui pesan w******p. Setidaknya, jika lelaki itu bilang mungkin Diary tidak akan pergi ke luar rumah.
Melihat gadis di sampingnya hanya diam membisu dengan pandangan lurus ke arahnya, Gerrald lantas menjentikkan jari tepat di depan wajah Diary. Sontak, gadis itu pun terperanjat.
Lagi-lagi, Diary mendecak sebal, "Apaan sih," deliknya.
"Jangan melamun terus. Nanti kesambet penunggu pohon beringin itu loh," lontar Gerrald menunjuk ke arah pohon berdaun lebat yang menjulang tinggi di seberangnya.
"Hush," refleks Diary memukul lengan Gerrald, "Kalo ngomong suka sembarangan gitu, pamali tau!" omelnya ketus.
“Lo kenapa sih ketus banget sama gue? Lagi dapet masalah, ya?” tanya Gerrald setelah sebelumnya nyengir lebar.
Mendengar itu, Diary pun mendengus kecut,“Setiap hari juga aku selalu dapat masalah, malah ... kayaknya masalah udah jadi bagian dari hidup aku,” tuturnya menunduk sedih.
“Jadi, lo mau tetap diam aja gitu, sekalipun yang namanya masalah itu setia berada di hidup lo??”
“Mau gimana lagi, emang itu faktanya kok. Aku bisa berbuat apa sih, Ger. Mau bernapas dengan bebas aja rasanya susah banget, apalagi kalau aku sok berani bertindak,” Diary mengangkat bahu, lalu beranjak melangkah beberapa langkah dari bangku taman.
Gerrald kembali bersedekap. Dalam posisi duduknya, dia menatap punggung sang gadis yang kini terlihat begitu memikul beban.
“Kalo lo mau, lo bisa kok berubah. Asalkan, lo harus percaya diri dengan kemampuan lo,” lontar Gerrald memberi solusi.
Namun sepertinya, Diary tidak terlalu suka dengan solusi yang diberikan Gerrald kali ini. Ia lantas kembali membalikkan badan menghadap ke arah Gerrald yang tak ingin beranjak.
“Aku udah terlalu nyaman di zonaku, Ger. Rasanya, aku gak pengen berubah jadi apapun. Aku-- “
"Itu masalah lo!" seru Gerrald berdiri spontan.
“Maksud kamu?” tanya Diary tak mengerti.
"Karena lo yang udah keenakan sama zona nyaman lo lah yang membuat mereka sangat puas ketika menindas lo. Kebanyakan orang lemah akan selalu menjadi pihak yang menderita dibanding yang memiliki power. Seperti lo ini lah contohnya." tunjuk Gerrald ke arah Diary.
"Mereka berani karena mereka tahu bahwa lo gak akan mungkin bisa melawan. Mereka pun akan terus seperti itu selama lo gak mencoba untuk bertindak tegas ke mereka...." lanjut Gerrald mencoba membuka pikiran Diary.
Untuk beberapa saat, Diary hanya tercenung tanpa kata. Apa benar yang dikatakan Gerrald? Lantas, haruskah Diary mengubah semuanya agar ia bisa keluar dari zona penderitaan??