GENI 3 - SAMPAI

1063 Kata
Perjalanan yang terasa panjang ini akhirnya sampai juga dititik tujuan kami. Perlu dua jam untuk sampai di rumah Mbah Kadiran. Desa ini masih terasa asri, pepohonannya masih rimbun dan juga banyak pohon ringin besar yang sepertinya masih dijaga dengan baik oleh warga sekitar. Udara di sini sangat sejuk sekali, sinar matahari tak terasa menyengat seperti di kota. Rimbunnya dahan dan dedauan di sini membuat cahaya matahari sulit untuk masuk, hanya lewat celah-celah kecil di antara dahan-dahan tersebut. Aku memperhatikan sekitar rumah Mbah Kadiran yang dipenuhi tanaman-tanaman obat dan juga tanaman hias.   Pertama kali ku tapakan kaki ku di sini ada hawa dingin yang tiba menyelimuti tubuhku sampai kepalaku terasa pening menahan hawa dingin tersebut yang entah darimana asalnya. Aku seperti melintasi beda dunia jika seperti ini rasanya. Rumah Mbah Kadiran masih model rumah joglo jaman dulu, terasa asri sekali. Wanita paruh baya menggunakan baju berwarna cokelat menyambut kami dengan senyuman, bahkan beliau melihat kami sejak motor terparkir di halaman luar. Aku tebak beliau adalah istri Mbah Kadiran, tapi entah apakah tebakanku benar atau tidak.   “Ini Pak Slamet sama Mas Banyu ya? Ayo masuk dulu.” Pak Slamet tersenyum sambil salaman dengan wanita itu, aku mengikuti apa yang Pak Slamet lakukan. Beliau yang tau tata caranya, dari awal aku memang sudah diberi pesan untuk meniru saja apa yang dilakukan Pak Slamet di sini. Wanita itu menyuruh kami duduk di ruang tamu, lalu melenggang pergi sepertinya sedang memanggilkan Mbah Kadiran untuk menemui kami.   Ruang tamu minimalis ini memiliki pajangan berupa wayang dan juga patung-patung yang tidak ku ketahui namanya, nuansa jawa kental sekali di sini. Pandanganku terkunci pada salah satu keris yang dipajang di lemari kaca tersebut, terlihat keris itu sangat dijaga dan dirawat dengan baik oleh Mbah Kadiran. Tak hanya keris terdapat satu gong besar yang dipajang di pojok ruangan, terlihat gong tersebut juga terawat dengan baik di rumah ini. Aku menatap semua hiasan yang berada di ruangan ini, benar-benar kental sekali aura Jawa. Salah satu lukisan yang membuatku semakin penasaran adalah lukisan perempuan menari sambil menatap araku, aku memperhatikan wajah penari tersebut dan tak ku sangka penari tersebut hidup. Matanya mengedip ke arahku, napasku tercekat. Ini adalah dua kali momen aku melihat sebuah gambar bisa hidup.   Benar kata orang, jangan memasang foto makhluk hidup sebagai hiasan. Karena foto atau lukisan seperti ini malah rawan sekali menjadi media bersembunyi para jin. Sudah dua kali aku menemui kejadian seperti ini, sebuah foto dapat bergerak karena sudah diisi oleh makhluk halus. Aku mengusap peluh dingin yang membasahi dahiku. Tak mungkin aku bertanya pada Pak Slamat dengan kejadian yang baru saja menimpaku, beliau sepertinya tidak melihat sesuatu di sini. Jadi lebih baik aku diam saja sambil menunggu Mbah Kadiran yang masih dipanggilkan oleh istrinya.   “Mas, kamu ndak merasa dingin to? Hawa di sini sama di rumah beda ya, lebih dingin di sini.” Pak Slamet menggosokkan kedua tangannya, sebagai upaya menghalau rasa dinginnya. Rupanya tidak hanya diriku yang merasakan hawa dingin terlalu menusuk tulang ini.   “Iya, Pak, hawanya lebih dingin di sini dari pada di rumah ya. Lingkungan sini masih asri banget,” jawabku sambil tersenyum kecil ke arah Pak Slamet yang berada di sampingku.   “Pohonnya masih banyak ya di sini, Mas Banyu, jadi terasa dingin banget padahal udah siang. Tapi biasanya deket pantai kek gini panas hawanya.” Aku menganggukan kepalaku menanggapi ucapan Pak Slamet.   Tak lama terdengar suara derap langkah yang mendekati kami, aku dan Pak Slamet membenarkan posisi duduk kami kembali. Namun semakin lama suara derap kaki tersebut perlahan menghilang, terdengar malah semakin menjauh. Aku dan Pak Slamet saling adu tatap dengan wajah kami yang penuh kebingungan. Jika ku perkirakan harusnya pemilik suara langkah tersebut sudah sampai di depan kami, tapi malah tidak ada orang yang datang mendekati kami. Aku menelan ludahku perlahan, hawanya semakin dingin mencekam. Ku rasa Pak Slamet juga dapat merasakan apa yang sedang aku alami, dia menoleh ke arahku dengan raut wajah yang tak bisa ku artikan. Sepertinya beliau ingin memberitau sesuatu padaku, tapi tak enak dengan suasana kami yang tiba-tiba berubah seolah dari tadi memang ada yang memantau kami berdua.   Aku mencoba mengatur napasku sambil menatap barang-barang yang berjejer rapi di ruangan ini. Begitu juga dengan Pak Slamet yang juga mengalihkan pandangannya ke arah barang-barang antik milik Mbah Kadiran. Deru napas kami bersahutan seperti habis dikejar hantu siang hari, Pak Slamet melihat jendela yang berada di samping kiri kami. Pemandangan hamparan pohon pisang dan kelapa, tak jauh dari sana terdapat pohong ringin besar yang rimbun sekali. Aku tak kuat melihat tempat itu seperti ada magnet yang menarikku untuk melihatnya lebih jauh lagi, dapat ku rasakan jika di sana tak hanya satu dua penghuni tapi sudah beranak pinak menjadi satu kampung. Makanya aku sedikit ragu untuk menatap jendela itu lebih lekat, takut jika ada yang tiba-tiba muncul di hadapanku ketika diriku tak siap.   “Mbah Kadiran mana ya, Mas Banyu? Kok belum datang juga. Hawanya jadi semakin dingin banget di sini,” bisik Pa Slamet. Beliau sedikit menurunkan volume bicaranya, mungkin karena merasa ada hal yang janggal di sini. Hawa di dalam rumah ini memang berbeda sekali dari rumah pada umumnya, di sini lebih lembab.   “Iya, Pak, saya juga jadi merasa dingin banget di sini.”   “Sudah lama?” Aku dan Pak Slamet kompak berseru istigfar, suara berat itu mengagetkan kami berdua. Kami menoleh ke arah pintu, laki-laki seumuran bapakku  berdiri dengan senyuman lebar sambil menatap kami.   “Kaget ya? Maaf, maaf.” Beliau mendekati kami lalu berjabat tangan.   Mbah Kadiran tak seseram yang ku bayangkan, beliau masih seperti seumuran dengan bapakku. Tapi mungkin beliau di sini menjadi tetua yang paling disegani, karena terlihat wajahnya penuh kharismatik yang jarang sekali orang biasa miliki. Aku memandang wajah Mbah Kadiran lekat, senyuman tipis itu menghiasi wajahnya.   “Apa kabar, Mbah? Ndak ke laut ya hari ini?” tanya Pak Slamet basa-basi. Aku hanya tersenyum kecil.   “Perahunya bocor, Mas. Jadi benerin dulu, ya itung-itung istirahat sebentar. Capek juga kalau dipikir setiap hari kok hidup di laut terus. Saya juga menunggu kedatangan kalian berdua yang katanya mau sowan ke gubuk kecil kami. Beginilah Mas kondisi kami. Di sini panas banget ya? Nggak seperti di daerah kalian,” jawab Mbah Kadiran yang membuat aku dan Pak Slamet saling adu tatap.   Perasaanku mulai tak enak sekarang, Pak Slamet menoleh ke arahku kembali sekilas sambil mengerutkan dahinya. Beliau pasti ingin penjelasan lebih dari apa yang tengah dibicarakan Mbah Kadiran. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN