Pagi ini adalah hari pertama Nico berjalan-jalan di pinggiran kota Namos. Dengan memakai topi, pakaian oleh raga, dan sport armband ponsel yang melekat di lengan kekarnya, membuat Nico terlihat sangat sporty. Terlebih karena dia memakai kaos tanpa lengan berwarna putih dan celana pendek berwarna navy. Ia berlari menyusuri jalanan kota Namos. Sambil menyelam minum air. Sambil berolah raga, Nico melihat sekeliling. Mencari seseorang yang mirip dengan ciri-ciri Hansen.
Sepanjang perjalanannya, Nico sama sekali tidak melihat orang yang mirip dengan Hansen. Matahari yang semakin meninggi, membuat Nico merasa lelah. Ia memutuskan untuk beristirahat di sebuah taman kota. Sebelum itu, Nico mampir membeli air mineral di sebuah toko kecil yang tidak jauh dari taman kota.
Kini Nico duduk di kursi-kursi yang berada di taman itu. Rasanya sejuk, karena banyak pepohonan rindang dan mata Nico dimanjakan dengan pemandangan yang asri. Bunga-bunga yang ditata rapi bermekaran. Tidak terasa, sudah satu jam Nico berjalan-jalan dan berlari mengitari kota Namos.
Sungguh sesuatu yang tidak terduga, dirinya bertemu kembali dengan Tuan Niel dan timnya sedang menyapu di salah satu sudut taman kota itu. Nico melihat kegigihan Tuan Niel yang masih semangat bekerja walau usianya sudah tidak muda lagi.
Nico berlari menghampiri Tuan Niel yang tengah beristirahat setelah menyapu taman dengan sangat bersih.
“Hai! Tuan, Niel!” Nico berjalan ke arahnya.
“Hai! Anak muda! Kau sedang beristirahat di sini rupanya?” Niel menyapa dengan senyuman hangat.
“Iya, Aku sedang beristirahat di sini. Oh ... bagaimana, Tuan Niel? Apa Anda sudah menanyakan tentang lowongan pekerjaan pada Bos Anda?” Nico berharap ada lowongan pekerjaan agar dirinya bisa dengan leluasa menyamar untuk berkeliling kota. Dengan begitu, tidak akan ada yang mencurigainya.
“Kebetulan, sopir truk yang membawa kami, mendadak cuti karena istrinya akan melahirkan. Jadi kalau kau mau untuk menggantikan sementara selama lima hari, langsung saja besok ikut bersamaku saat pergi ke kantor. Biar nanti aku yang menyampaikan hal ini pada Bosku! Tapi mungkin upahnya tidak seberapa, lumayan untuk membeli makanan sehari-hari.” Niel tersenyum kembali. Pria paruh baya yang bertubuh tidak terlalu tinggi dan berbadan tambun itu merasa senang melihat pemuda yang tidak gengsi untuk bekerja. Kemudian Nico berpamitan untuk pulang.
***
Nico berdiri menghadap ke laut lepas. Pandangannya mengedar sembari memikirkan strategi untuk segera menyelesaikan misi. Pikirannya terus berputar, mengingat semua yang pernah dia lalui. Mengingat bagaimana kejadian di malam kelam itu. Serentetan peristiwa yang dia lalui seakan seperti mimpi buruk. Namun, Nico tidak akan menyerah karena semua yang dia alami adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari.
“Aku harus bisa memecahkan kasus ini, aku yakin, Hansen adalah kunci dari semua peristiwa ini ... apakah Hansen adalah pelaku penembakan itu? Tapi? Untuk apa? Kepada siapa dia bekerja? Semuanya membuatku pening!” Nico memijat pangkal hidungnya.
Tidak berapa lama kemudian, ponselnya berdering, tanda panggilan dari Thomas. Nico segera melangkah dan menerima panggilan itu.
“Halo, Pak?” Nico menyapa Thomas.
“Hai, Nico ... apakah sudah ada tanda-tanda keberadaan Hansen?”
“Sementara belum, tapi ... di Kota Namos ini, memang terdapat Gangster yang menguasai kota ... sepertinya organisasi terlarang yang menjual obat-obatan terlarang ... hanya saja, Aku belum melihatnya secara langsung. Aku benar-benar merasa menjadi sosok lain, Pak!” Nico menceritakan apa yang terjadi.
“Lanjutkan penelusuranmu, Nick! Laporkan padaku jika kau mendapatkan informasi terbaru dan penting untuk menangkap buronan itu!” Thomas selalu bersikap dingin seperti biasanya. Ia sangat Handal dalam menguak sebuah misteri.
“Siap, Pak! Akan aku laksanakan dengan sebaik mungkin.”
“Ingat! Hansen adalah kunci dari keberadaan Mafia Bonzoi, yang selama ini tidak diketahui markasnya! Kau sedang bekerja dalam zona kegelapan! Segera temukan Hansen, sebelum persidanganmu dimulai!” Thomas kembali menegaskan.
“Siap, Pak!”
Thomas menutup teleponnya. Nico merasa beban yang sangat berat. Euforia masyarakat tentang pemilihan presiden berikutnya sangat besar. Namun berita penangkapan putra Edward Hans, masih menjadi topik yang ramai diperbincangkan masyarakat. Seperti yang ia dengar beberapa kali saat ia bertemu dengan beberapa orang yang memang sedang memperbincangkan hal itu.
***
Tidak mengenal lelah, malam ini Nico kembali datang ke klub yang dikunjunginya kemarin. Kali ini, Nico susah hafal medan yang akan ia datangi. Sehingga rasa percaya dirinya semakin meningkat untuk kembali memainkan perannya sebagai Nick Voyage si bad boy.
Mengenakan setelan jas yang membalut tubuh bidangnya, membuat Nico terlihat modis, elegan, dan tampan. Alasan kedatangannya ke klub itu untuk menemui Jane dan mengajaknya berkencan. Padahal misi utama dari kedatangannya adalah untuk mengumpulkan kembali informasi dari Jane mengenai Gangster yang diceritakannya kemarin.
Nico melenggang memasuki ruangan dengan musik DJ yang menggetarkan jantung. Ditambah lagi suasana yang gelap dan gemerlap dengan banyak pengunjung, membuat Nico dengan mudah menyamar dan membaur.
Ia berjalan menuju bar. Lalu menyapa sang bar tender untuk menanyakan keberadaan Jane.
“Hai, beri aku satu gelas soda, jangan terlalu banyak gula!” Nico memesan soda seperti kemarin. Bar tender itu mengacungkan jempol dan segera memberikan satu gelas soda rendah gula.
“Terima kasih, oh ... ngomong-ngomong aku tidak melihat Jane?” Nico berbincang dengan pria yang menjadi Bar tender itu.
“Mungkin dia sedang mengantar minuman ke ruang VIP,” jawab pria itu dengan santai dan ramah.
“Oh? Baiklah ... aku akan menunggu gadis itu!” Nico memperhatikan sekelilingnya sambil menikmati segelas soda.
Nico mengamati dengan saksama apa saja dan siapa saja yang berada di sana malam itu. Tentu sangat mudah bagi Nico mengingat siapa saja yang ada di sana.
Tak lama kemudian, seseorang menepuk bahunya.
“Hai, Nick!” Jane menyapa Nico dengan senyuman hangat.
“Hai, Jane! Senang berjumpa denganmu lagi.” Nico mengedipkan satu matanya pada Jane. Hal itu membuat Jane semakin salah tingkah dan mencoba mencuri perhatian Nico.
“Apa kau ingin berdansa lagi denganku?” Jane menggigit bibir bawahnya yang sensual dengan lipstik merona.
“Aku ingin berbincang denganmu di ruang yang lebih privasi mungkin, tapi aku ragu kalau di sini menyediakan ruang VIP, itu pun kalau Kau mau, Jane!” Nico berusaha mengorek info dengan merayu Jane. Nico beranggapan bahwa seseorang yang menyewa ruang VIP pasti memiliki uang yang banyak, itu berarti mereka bisa dicurigai ada hubungannya dengan Gangster yang diceritakan oleh Jane. Ia pun berpikir kalau Jane tidak akan menolaknya karena sudah terpikat pada pesona Nico.
“Oh, tentu saja ada! Mau aku pesankan?” Jane bersemangat sekali.
“Baik, Jane! Terima kasih.” Nico kembali mengedipkan salah satu matanya.
Tak lama berselang, Jane datang untuk mengantarkan Nico menuju ruang VIP yang lebih privasi. Sepanjang koridor menuju ruangan itu Nico berbincang dengan Jane.
“Apa banyak orang yang menyewa ruang VIP di klub ini?” Nico berjalan sambil melihat keadaan di sekitarnya.
“Tentu hanya orang yang berkantong tebal! Mereka biasanya berkelompok atau Bos kaya raya beserta akan buah mereka memesan perempuan penghibur.” Jane sedikit merasa tidak nyaman ketika mengatakan hal itu.
“Apa ada hubungannya dengan Gangster itu?” pertanyaan Nico membuat Jane menghentikan langkahnya. Nico merasa bingung, ia takut kalau pertanyaan menyinggung Jane.
Jane yang sedang bersemangat berjalan di depan Nico itu, langsung menghentikan langkahnya. Ia memutar kepala serta bola matanya.
“Nick! Jangan membicarakan mereka di sini! Kalau ingin membicarakan mereka, nanti saja di ruangan VIP itu.” Jane kembali berbisik pada Nico.
“Ba—baiklah.” Nico merasa gugup.
“Lihat saja dulu ruangan-ruangan itu, sebelum kita sampai di ruangan kita.” Jane meminta Nico untuk mengamati mereka yang ada di dalam ruangan VIP. Beberapa dari ruangan itu pintunya terbuka. Nico melihat beberapa dari mereka melakukan aktivitas malam yang liar. Ada pula yang sedang bersenang-senang dengan berkaraoke ditemani wanita penghibur. Nico hanya menggelengkan kepalanya. Sungguh di sana bukan lingkungan Nico. Namun Nico harus masuk dalam kehidupan malam yang akan membawanya menemukan informasi yang diinginkan.
Jane berhenti di depan sebuah ruangan di ujung koridor. Jane sangat bersemangat mengantar Nico ke sana. Setelah Jane membukakan pintu, Nico melihat ruangan yang lumayan luas dengan berbagai fasilitas di dalamnya. Terdapat pula kursi Sofa yang luas dan desain ruangan itu sangat elegan. Di tambah lagi jendela raksasa yang memperlihatkan gemerlap kota Namos dari ketinggian. Karena letak ruangan VIP itu berada di lantai lima klub itu. Lantai satu, dua, dan tiga di gunakan untuk ruangan utama diskotik dan bar. Sedangkan lantai empat sebagai tempat karaoke. Lantai lima adalah ruangan VIP.
Mereka memasuki ruangan tersebut. Nico mengambil minuman ringan di dalam kulkas. Sedangkan Jane berdiri mematung. Nico menyuruhnya untuk duduk menemaninya berbincang.
“Anggap saja aku temanmu, Jane! Aku ingin berbincang denganmu!” Nico duduk bersandar dan melipat salah satu kakinya. Ia meminta Jane duduk di sebelahnya.
“Jane, sudah berapa lama kau bekerja di sini?” Nico menatapnya.
“Dua tahun, Nick! Hanya tempat ini yang mau menerimaku bekerja. Walau sering dianggap jalang! Tapi aku masih bisa jaga diri.” Jane mengungkapkan.
“Apakah di klub ini sering terjadi transaksi obat-obatan terlarang? Aku sedang mencari seseorang yang berhutang padaku, kabarnya dia lari ke kota ini. Dia berhutang untuk membeli obat-obatan terlarang. Perbuatannya sangat buruk! Itu sebabnya aku sangat ingin menangkapnya!” jelas Nico yang seolah nyata. Padahal Nico sedikit membual agar Jane tidak curiga padanya.
“Mereka yang sering bertransaksi besar ada di ruangan VIP tadi, Nick! Tapi aku tidak tahu apakah seseorang yang kamu cari, adalah salah satu dari mereka?” Jane ingin membantu tetapi tidak mengetahui orangnya.
“Lalu di mana markas mereka?” Nico penasaran.
“Aku tidak mengetahuinya, Nick! Tapi ... aku pernah melihat salah satu dari mereka mengikuti balap liar di salah satu wilayah kecil di pinggiran kota. Mungkin Kau akan menemukan informasi lebih di sana. Karena memang para petinggi Gangster itu yang sering ke sini. Sedangkan antek mereka tersebar luas dan salah satu orang kepercayaan mereka sering mengikuti balap liar di jalanan distrik tujuh di ujung kota sebelah barat.” Jane kembali berbisik pada Nico.
“Terima kasih, Jane! Kau sudah sangat membantuku!” Nico mengulas senyum padanya. Wajah mereka sangat berdekatan. Hingga mereka bisa merasakan napas yang memburu satu sama lain. Jane berharap Nick akan mengajaknya kencan. Namun Nico bingung harus bagaimana. Ia hanya memainkan peran sebagai bad boy dan terpaku melihat seorang gadis cantik berada di hadapannya. Nico kembali membelai rambut Jane dan menyelipkannya di belakang telinga. Ia sungguh tidak bermaksud untuk berbuat lebih. Tiba-tiba ponsel Nico berdering tanda panggilan dari Thomas. Hal itu membuat Jane menyingkir dengan sendirinya.
“Maaf, Jane! Aku harus menerima panggilan ponselku ini.” Nico memiliki alasan untuk membuat keadaan kembali normal.
‘Memang Thomas adalah dewa keberuntunganku yang selalu datang di waktu yang tepat,' ujar Nico dalam hatinya. Ia bergegas menerima telepon dari Thomas.
Thomas menanyakan informasi terbaru tentang Hansen. Namun Nico belum mendapatkan titik terang. Ia sembari mengamati ruangan di sekitarnya.
“Aku belum menemukannya, Pak!” Nico mengatakannya dengan sejujurnya.
“Bekerja keraslah segera temukan mereka!” Thomas memberikan semangat yang luar biasa.
“Baik, Pak! Terima kasih!”. Mereka mengakhiri sambungan telepon itu.
Nico menatap nanar jendela yang menampakkan gemerlap malam di kota Namos. Ia berniat untuk melihat balap liar yang dibicarakan oleh Jane. Berharap menemukan informasi terbaru di sana. Kemudian Nico melangkah menuju gadis yang sejak awal tulus berteman dan membantu Nico.
“Jane, aku harus pergi sekarang! Berapa uang yang harus aku bayarkan?” Roman wajah Nico langsung berubah serius.
“Oh ... mari aku antar ke kasir!” Jane melihat sosok Nick yang berbeda setelah Nick menerima telepon dari seseorang yang tidak Jane ketahui.
“Baiklah, Jane! Terima kasih.” Mereka jalan bersama.
Tanpa disengaja, seseorang keluar dari ruangan VIP lain. Dia adalah pria dewasa yang berusia sekitar 31 tahun. Badannya bidang, memiliki banyak tato, mengenakan kaos tanpa lengan dengan jaket kulit yang ia cangklong di punggungnya. Pria itu menghentikan langkahnya bersamaan dengan langkah Jane yang melintas di depannya. Dengan kasar, pria itu menarik lengan Jane hingga gadis itu terkejut.
Melihat hal yang tidak benar, Nico langsung mencengkeram lengan pria bertato itu dan melepas secara paksa atas cengkeramannya pada lengan Jane.
“Lepaskan!” Nico menatap tajam bagai kilatan mata elang kepada pria itu karena sudah kasar memperlakukan Jane.
“Aku tidak ada urusan denganmu! Aku hanya ada urusan dengan Jalang ini!” Pria berbadan kekar itu melotot dan mengatakan dengan nada yang tinggi.
“Caramu memperlakukan wanita seperti itu adalah sesuatu yang salah! Kau menyakitinya berarti kau berhadapan denganku!” Nico memasang tampang senggak dengan menyunggingkan sudut bibirnya hingga sedikit menyeringai.
“Nick! Sudahlah! Ayo kita pergi!” bisik Jane pasa Nico.
“Apa? Kau mau pergi? Bayar dulu hutang Kakakmu padaku! Baru kau pergi!” Pria itu mengotot untuk menagih hutang kakak dari Jane.
“Tagih saja pada yang bersangkutan! Jangan pada Jane yang tidak tahu menahu urusan kalian!” Nico masih membela Jane dan berdiri di depan Jane.
“Hei! Kalau kau mau melindungi Jalang itu! Bayarkan saja sejumlah hutang Kakaknya!” Pria itu seakan menantang.
‘Mampus aku! Uang saja tidak punya? Tidak mungkin aku membayar hutang Kakaknya Jane menggunakan kartu kredit yang Thomas berikan padaku. Astaga!’ ujar Nico dalam hatinya. Walau aktingnya tetap ia perankan dengan sematang mungkin.
“Bagaimana kalau kita bertanding saja! Balap jalanan, di distrik tujuh? Kalau kau yang menang, aku akan membayar hutang itu dan memberikan uang lebih! Kalau aku yang menang, hutang itu dianggap lunas, dan Kau harus membayar sejumlah uang padaku! Bagaimana?” Nico benar-benar nekat.
“Ha ha ha ... Kau menantangku? Aku pikir ... Kau sudah tidak waras dan salah mengambil keputusan, Anak muda! Ha ha ha ....” Pria itu masih menertawakan Nico.
“Nick! Aku rasa Kau salah mengambil keputusan kali ini. Dia yang aku ceritakan, antek salah satu Gangster yang melakukan balap liar! Namanya Marco!” bisik Jane pada Nico.
Dengan susah payah Nico berusaha meneguk salivanya. Ia tidak pernah mengira kalau pria itu adalah antek salah satu Gangster yang doyan balap mobil jalanan.
‘Astaga ... konyol sekali tindakanku! Bagaimana kalau aku kalah. Astaga bisa-bisa Thomas menambah hukuman untukku?’ Nico merasa sangat galau. Hingga menggerutu dalam hatinya. Apakah Nico akan memenangkan pertandingan? Atau malah makin bertambah perkara kasus yang dijatuhkan pada Nico.