PAWIWAHAN AGUNG

3521 Kata
Di bangsal tempat pawiwahan agung berlangsung, seorang laki-laki muda dengan pakaian adatnya yang gagah, terlihat duduk gelisah. Raden Suryo Hadiprawiro —yang duduk tepat di sebelah— melirik dengan ekor matanya kepada laki-laki muda tersebut. Kedatangan kelompok penari keraton yang mulai menyuguhkan tarian elok, tak membuat kegelisahan laki-laki muda itu mereda. Tangan laki-laki muda itu sesekali menggeser layar ponsel yang tak pernah lepas dari genggamannya. “Faisal, coba kamu lihat. Di perkumpulan  pawiwahan agung ini, semua kerabat kita sedang duduk khusyuk. Tapi kalau bapak perhatikan, sejak tadi cuman kamu yang terus-menerus gelisah. Apa kamu sadar sudah berapa kali Sultan memperhatikanmu?” Raden Suryo tak bisa menahan keinginannya untuk bicara. Laki-laki muda yang dipanggil dengan nama Faisal itu mengangguk, kemudian berusaha untuk duduk dengan baik, membuang kegelisahan akibat kabar yang ia terima dari telepon genggamnya. “Lihat adikmu yang menari dengan sangat baik itu.  Tak rugi bulikmu mengajarinya setiap hari.” Raden Suryo kembali berbicara kepada Faisal. Beliau menatap salah satu penari muda yang ayu dan sedang menari gemulai seiring iringan bunyi gamelan. Kesantunan yang tergambar lewat gerak-gerik para penari, jelas memukau semua tamu yang hadir dalam pawiwahan agung kali ini, tak terkecuali Raden Suryo. Faisal mengikuti arah pandang mata bapaknya dan mendapati seorang gadis muda yang memang dikenalnya. Namun, kali ini karena kostum yang dipakai gadis itu adalah kostum penari, maka Faisal sejenak mengakui pendapat bapaknya: gadis itu cantik hari ini. Tidak, penari muda itu tidak hanya cantik, tetapi apa yang kini terlihat adalah jelmaan seorang gadis dengan keanggunan ningrat yang terpancar luar biasa. Pakaian ala penari keraton yang tersuguh megah dan anggun itu, begitu pas dikenakan Sekar—penari muda yang disebut Raden Suryo sebagai adik Faisal. Di samping gerakannya yang gemulai, Sekar jelas terlihat yang paling muda di antara penari bedhaya yang lain. Membuatnya menonjol diantara penari lain yang sebagian besar usianya lebih dewasa. Fasial hanya mengangguk. Namun, getaran pada ponsel pintarnya, membuat ia terpaksa membuka dan membaca pesan yang baru saja masuk. “Sal, kamu bisa ninggalin acaramu itu dan jemput aku di bandara sekarang, ‘kan?” Itu isi sms yang diterima Faisal. Faisal semakin gelisah. Dia bingung. Bagaimanapun, sejujurnya dia ingin menjemput kedatangan  Dita yang sengaja berkunjung ke kota budaya ini untuk menemuinya, selain berlibur tentu saja.  Akan tetapi, meninggalkan pawiwahan agung ini jelas bukan etika yang diajarkan dalam anggah-ungguh  lingkungan  kesultanan. Sejenak Faisal melirik bapaknya yang sedang berbincang-bincang dengan kerabat yang lain. Pakaian beskap khas keluarga keraton yang kini dikenakan Faisal rasanya membuat gerah. Bukan karena bahannya, karena yang jelas bahannya adalah bahan pilihan nomor satu yang pernah dipintal di negeri ini tetapi yang membuat ia gerah dan gelisah adalah Dita yang menuntut untuk dijemput. Sementara kondisi Faisal jelas tidak memungkinkan untuk menjemputnya ke bandara. Akhirnya Faisal menemukan satu solusi. Dia segera mengirim sms pada Wawan, teman SMA-nya yang sampai saat ini masih berkomunikasi baik dengannya setiap kali ia pulang ke kampung halaman. Ia meminta Wawan untuk membantunya menjemput Dita. Untunglah Wawan sedang tidak ada acara. Meski untuk selanjutnya, jelas Faisal akan mendapat omelan panjang-lebar dari perempuan yang sudah dipacarinya sejak beberapa tahun terakhir ini. Sedikit lega, Faisal akhirnya mematikan telepon pintarnya untuk mencegah masuknya panggilan Dita. Selanjutnya dia menjadi lebih khidmat dalam mengikuti acara pawiwahan agung. Kesultanan hari ini demikian gempita. Bagaimana tidak, ini pawiwahan agung yang digelar oleh Sultan yang sedang mantu putri kedaton. Ingar bingar suasana kesultanan juga dipadati warga yang antusias mengikuti gelar budaya. Beberapa awak media dari berbagai kota yang meliput, terlihat  memakai pakaian adat yang diwajibkan, juga dengan lencana yang dikalungkan. Mereka berada dalam satu tempat khusus. Sementara Faisal dengan saksama  memperhatikan apa yang dikatakan bapaknya mengenai sang adik yang kini sedang menari dengan gemulai dalam kesantunan ningrat yang kental. Keluarga Raden Suryo memang tidak terhubung langsung secara trah dengan keluarga keraton, tetapi kakek-nenek Raden Suryo adalah keturunan tumenggung-tumenggung yang dulu berjasa dan memiliki wilayah pada masa kesultanan dan penjajahan. Hingga sampai saat ini, karena jasa para leluhur merekalah, keluarga Raden Suryo tetap menjadi tamu undangan dalam setiap acara perhelatan yang diselenggarakan oleh keraton. “Jika lelahmu hilang, bapak  ingin membicarakan sesuatu denganmu, Sal.” Raden Suryo membuka percakapan dari jok depan sedan yang dikemudikan oleh Pak Atmo—sopir pribadi Raden Suryo—ketika senja ini mereka pulang dari pawiwahan agung Sultan menuju rumah. Faisal yang duduk di jok penumpang bersama Bu Suryo mengangguk dan  berkata pelan, “Baik, Pak.” Hanya itu yang bisa dilakukan, setidaknya untuk memperpendek percakapan dengan Raden Suryo. Ia benar-benar merasa lelah. Perhelatan agung sekaligus gelar budaya tadi, lumayan membuat ia merasa penat. Laki-laki itu hanya ingin tidur segera setelah tiba di rumah.   * * *   “Kok, sudah rapi? Mau ke mana kamu sepagi ini, Sal?” Bu Suryo menegur Faisal yang pagi ini terlihat rapi jali dan sedang minum kopi yang tadi diseduh Pariyem, pembantu yang sudah mengabdi bertahun-tahun pada keluarga Raden Suryo.  “Mau menemui teman, Bu.” Faisal menjawab sambil memainkan gadget-nya. Pak Suryo yang sedang membaca koran di tempat yang sama, segera melipat korannya dan menyeruput kopi kemareman. “Teman? Teman kuliahmu apa teman SMA?” timpalnya. “Teman dari Jakarta, Pak. Kebetulan juga sedang berlibur di sini, jadi sekalian saya jadi guide-nya untuk beberapa hari ke depan.” Faisal menjawab sembari menandaskan kopinya dan mengantongi gadget yang tadi ia mainkan. “Memangnya kamu libur berapa hari?” “Saya mengajukan libur sampai Senin. Senin sore saya baru akan balik ke Jakarta.” Pak Suryo manggut-manggut. “Saya berangkat dulu, Pak, Bu,” kata Faisal pamit sembari menjabat dan mencium tangan bapak dan ibu Suryo.  “Hati-hati di jalan, Sal,” pesan Bu Suryo. “Nanti malam bapak ingin bicara, jadi kamu jangan pulang terlalu malam.” Kalimat Pak Suryo membuat langkah Faisal terhenti. “Apa penting, Pak?” tanyanya penasaran. Tak biasanya bapak mengajak bicara serius. Dia ingat kemarin juga bapaknya mengatakan hal yang serupa. “Dibilang penting, ya, bisa. Dibilang tak penting, ya, juga bisa. Yang jelas, kita harus membicarakannya.” Faisal mengangguk patuh kemudian berjalan meninggalkan ruang tengah, tempat bapak dan ibunya menghabiskan kopi pagi ini. Sementara Faisal keluar, ditemuinya Mbok Pariyem yang sedang menyiram bunga. “Mau ke mana, Ndoro?” Mbok Pariyem masih saja takzim dengan panggilan ndoro-nya kepada Faisal. Faisal tersenyum, mendekati Mbok Pariyem dan menjabat tangan perempuan tua yang sudah bertahun-tahun menjadi rewang bapak-ibunya itu. Mbok Pariyem yang tangannya basah oleh kain keran itu segera mengelap tangannya dengan kain jarit yang dikenakannya sebelum menyambut uluran tangan Faisal dengan kesantunan layaknya seorang rewang pada majikannya. Meski berulang kali Faisal mengatakan agar Mbok Pariyem tidak sedemikian takzim padanya, tetapi nyatanya anggah-ungguh yang biasa dijalani Mbok Pariyem tak membuatnya berubah dalam memperlakukan Faisal. “Saya mau keluar sebentar, Mbok. Kangen sama suasana kota ini. Mbok apa kabar?” “Alhamdulillah saya sehat, Ndoro. Ndoro sendiri katanya mau punya istri. Kapan?” Mbok Pariyem bertanya iseng. Faisal tertawa. “Si Mbok ini ngegosipin saya, ya? Siapa yang bilang saya mau menikah?” “Ndoro Putri sendiri yang ngendikan sama saya, Ndoro,” Mbok Pariyem menjawab polos. Tawa Faisal terhenti seketika. Namun, dipikirnya mungkin ibunya hanya bergurau. “Saya memang akan menikah, Mbok. Tapi tidak sekarang. Nanti. Kalau sudah ada perempuan cantik yang mau menerima kegantengan saya,” selorohnya. Mbok Pariyem terkekeh pelan. Faisal lantas berlalu meninggalkan pembantu itu, menuju mobil bapaknya yang sudah disiapkan oleh Pak Atmo. Laki-laki berwajah bersih dengan potongan cepak-rapi itu bersiul ringan saat menyusuri jalanan kota kelahirannya. Sesekali bibirnya menyunggingkan senyum ketika bayangan masa muda berkelebat. Bahkan beberapa tempat yang dilewatinya, masih meninggalkan kenangan kecil yang lucu. Tujuan Faisal kini hanya satu: hotel dimana Dita sudah menunggunya sejak kemarin sore. Faisal harus menyiapkan mental karena perempuan cantik yang berprofesi sebagai model itu sedang marah padanya. Di sebuah hotel berkelas—tentu saja, Dita tak akan mau tinggal dan menginap di hotel biasa—Faisal membelokkan mobilnya. Setelah memarkir mobil, dia masuk dan duduk di lobi. Dita tadi mengirimi sms dan memintanya menunggu. Setelah menunggu beberapa saat,  Dita tak juga muncu.  Faisal akhirnya menghubungi gadis itu kemudian memintanya turun karena dia sudah cukup lama menunggu. Benar saja, tak lama setelahnya, dari pintu lift muncul Dita yang cantik, tinggi semampai, dengan wajah yang tertekuk masam. Faisal sudah menduga, pasti gadis itu sedang marah. Tidak, bukan lagi seorang gadis, pikirnya, karena mereka menjalin hubungan secara dewasa dan terbuka. Dalam hal seks sekalipun.  “Hei.” Faisal bangkit dan menyambut Dita dengan senyum termanis yang pernah ia miliki. “Kirain gak datang, kayak kemarin!” Dita menyahut ketus. Matanya melengos, menatap ke arah lain. “Sayang... aku, kan, sudah bilang kalau kemarin ada acara pawiwahan agung Sultan, dan kami semua wajib hadir di sana. Aku minta maaf, oke?” Faisal mengungkapkan permintaan maafnya dengan nada lirih agar tak terdengar pengunjung lain. Dita mendengus sambil bersedekap. “Kirain kamu udah terpesona dengan para penari dan pramusaji di acara itu!” jawabnya, semakin ketus. Faisal tersenyum geli dengan sikap Dita yang ketus dan cemberut itu. Faisal tahu, perempuan di depannya ini sedang dilanda cemburu. Laki-laki itu segera mengamit jemari Dita dan mengajaknya keluar dari lobi hotel. Keduanya berjalan menuju parkiran dalam diam. Mereka sadar tak pantas berkonfrontasi di tempat umum seperti ini. “Memang, aku akui, banyak yang cantik di acara pawiwahan agung Sultan kemarin. Tapi kamu yang paling cantik di hatiku,” kata Faisal. “Gombal!” Dita mencibir, meski dalam hatinya selalu berbunga-bunga setiap kali Faisal mengucapkan rayuan. Faisal tergelak begitu mobil yang mereka kendarai meninggalkan halaman hotel menuju ke arah selatan. “Kamu mau kita ke mana?” tanyanya kemudian. “Faisal, ini, kan, kotamu, bukan kotaku! Jadi kamu yang lebih tahu ke mana  kita akan pergi,  ‘kan?” Masih terselip nada jengkel dalam kalimat yang diucapkan Dita. “Oke, Ndoro Putri,” Faisal menjawab dengan senyum tertahan. Bagaimanapun Faisal tahu, kemarahan Dita belum reda. “Apaan sih?”  Perempuan cantik itu melengos dan memandang ke arah luar dengan senyum tertahan. Faisal kembali tergelak karenanya.   * * *   Menjelang jam delapan malam, Faisal pulang ke rumah—setelah mengantar Dita kembali ke hotelnya. Badan laki-laki itu terasa sangat letih karena acara liburan tadi diisi dengan hal-hal yang mereka rindukan selama beberapa hari berpisah. Ya. Setelah berkeliling kota sebentar, mereka akhirnya check in ke sebuah hotel terdekat untuk menuntaskan hasrat mereka. Seringkali Faisal kewalahan menghadapi perempuan cantik itu. Di balik wajahnya yang lembut dan tubuh gemulai-menawan, Dita menyimpan hasrat dan selera seksual yang tidak biasa, bahkan liar. Satu sesi percintaan selalu tak cukup jika mereka sudah mulai bercinta. Meski begitu, Faisal masih dapat mengimbangi hasrat liar yang dipendam Dita.  “Sal?” Suara Raden Suryo mengagetkan Faisal yang berjalan menuju kamarnya sembari melamun. “Bapak?” Faisal terpekik, kemudian mendekati Raden Suryo dan mencium tangan beliau. “Duduklah. Ada yang harus bapak bicarakan sama kamu.” Kali ini Faisal berdebar mendengar kalimat serius bapaknya. Dengan diam, Faisal menurut dan duduk di sofa depan Raden Suryo. Melihat Faisal sudah duduk di depannya, Raden Suryo mematikan tembakau yang dibakarnya melalui canting pipa. “Ada sesuatu yang penting, Pak?”  Faisal tak bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya. “Ehem....” Raden Suryo berdeham untuk melegakan tenggorokannya. “Bapak ingin membahas soal masa depan kamu.” Faisal masih diam menunggu, karena jujur saja Faisal tak tahu ke mana arah pembicaraan bapaknya. Jika masa depan yang dimaksud oleh bapaknya adalah pekerjaan, seharusnya tak seserius ini. Faisal memiliki pekerjaan yang layak dan hidup mapan sebagai seorang bujangan di Jakarta. Meskipun bukan sebagai seorang pemegang saham, tetapi posisinya sudah sangat bagus di kantor. Jadi masa depan seperti apa yang ingin dibicarakan Raden Suryo malam ini? Faisal masih mengira-ngira. “Kamu sudah bisa menebak maksud bapak, Sal?” Raden Suryo bertanya dengan suaranya yang penuh wibawa. Faisal menggeleng. “Usiamu sudah hampir tiga puluh tahun. Teman-teman sebayamu bahkan sudah memiliki anak dan mereka mulai menata kehidupan rumah tangganya. Jadi tak ada salahnya jika bapak mengingatkanmu untuk tidak lupa dengan kodratmu sebagai manusia, yakni memiliki pasangan.” Glek!  Faisal menelan saliva yang rasanya menyumbat di tenggorokan. “Maksud, Bapak? Saya harus menikah segera?” “Ya!” Raden Suryo mengangguk mantap. “Kamu anak bapak satu-satunya, Nak. Dan untuk itu, kamu harus meneruskan garis keturunan kita dengan tidak melupakan standar bibit, bebet, dan bobot demi menjaga martabat dan kehormatan keluarga,” lanjut Raden Suryo tegas dan jelas, membuat Faisal memikirkan Dita yang sepertinya akan sulit melewati standar yang ditetapkan bapaknya. “Saya akan memikirkannya nanti, Pak.” Faisal mencoba mengalihkan pembicaraan yang mulai membuatnya sedikit salah tingkah dengan perasaan tak nyaman. “Bapak tidak bisa menundanya, Sal. Lebih cepat, lebih baik. Usiamu sudah lebih dari matang. Bapak ini sudah tua. Bapak mau melihat kamu menikah agar bisa menimang cucu nantinya.” Faisal terkejut. “Pak, kalau boleh saya usul. Pernikahan, kan, bukan hanya masalah sepele. Diperlukan penyesuaian dan perkenalan tentu saja.” Raden Suryo tersenyum. “Karena bapak yakin kalian sudah mengenal, makanya bapak berani mengatakan ini padamu, Faisal.” “Maksudnya, Pak?” “Maksudnya, ya... bapakmu sudah memilih calon untukmu, Sal. Dan ini juga bukan asal pilih.” Tiba-tiba Bu Suryo datang dari arah dapur sambil membawa teko berisi kopi panas, kemudian meletakkannya di atas meja, tepat di depan kedua laki-laki itu. Faisal terhenyak. Bapak sudah memiliki calon? Apakah ini artinya  bapak  hendak menjodohkan dirinya dengan perempuan pilihan beliau?  Faisal mengeluh lirih. Dia sudah memiliki Dita, seorang foto  model  cantik, berpendidikan,  dan memiliki  karir yang manis. “Bagaimana kalau saya sudah memiliki calon, Pak?” Raden Suryo mengerutkan keningnya. “Ini bukan hanya masalah ada calon atau tidak. Tapi ini mengenai harkat dan martabat keluarga. Kita harus memilih sesuai dengan bibit, bebet, dan bobot.” Pak suryo menekan kalimat terakhirnya. Faisal semakin terpojok. “Tapi, Pak. Saya sudah memiliki  teman dekat. Dia bahkan ada di kota ini sekarang.” Faisal mencoba mencari celah untuk hubungannya dengan Dita. “Nah, baiklah. Besok bawa teman dekatmu itu untuk menemui bapak sama ibu. Kalau cocok, kamu boleh meneruskan hubungan dan menikah dengannya. Tapi jika tidak sesuai dengan standar jodoh yang diugemi leluhur kita, sepertinya kamu yang harus menuruti bapak, Faisal.” Raden Suryo menjawab tegas dan tandas, membuat wajah Faisal keruh seketika. “Baik. Besok saya akan membawa dia untuk  menemui bapak sama ibu. Kalau begitu, saya permisi, mau ke kamar.” Faisal bangkit dan segera pergi ke kamarnya. Sementara Raden Suryo dan istrinya meneruskan acara mengobrol sambil menghabiskan kopi malam ini. “Bagaimana jika Faisal menolak, Pak?” terlihat raut khawatir di wajah Bu Suryo. “Bapak punya banyak cara untuk membuat dia menuruti apa yang kita rancang untuknya, Bu. Semua demi kebaikannya. Demi nama baik keluarga kita, dan penerus keturunan kita. Bapak tak mau keturunan kita nantinya akan semakin buruk unggah-ungguhnya.” Bu Suryo diam. “Dan membujuk Faisal adalah tugasmu, Bu.” Bu Suryo hanya mengangguk patuh. “Iya, Pak.” “Aku yakin, Sekar adalah gadis terbaik yang pantas mendampingi Faisal,” Raden Suryo berkata menerawang. Bu Suryo lagi-lagi hanya mengangguk setuju dengan pendapat suaminya. Raden Suryo tersenyum. “Jika pernikahan mereka bisa terlaksana dengan baik, berarti amanah almarhum bapak, sudah bisa aku tepati, Bu.” “Apakah Dik Rahmi setuju, Pak?” Bu Suryo bertanya dengan nada sedikit khawatir. Raden Suryo tersenyum. “Ketika almarhum bapak memberikan wasiat agar menikahkan Faisal dengan Sekar, Dik Rahmi juga ada di sana, Bu. Dia setuju.” “Syukurlah kalau memang Dik Rahmi setuju.” Raden Suryo hanya manggut-manggut. * * *   Sementara di kamar, Faisal merebahkan tubuhnya yang penat, dan semakin penat oleh kalimat-kalimat yang diucapkan bapaknya tadi? Pernikahan? Dan bapak sudah memiliki calon istri? Bukankah ini zaman modern? Di kepala Faisal berkecamuk bermacam pikiran, membuat kantuk tak juga menyapa matanya. Akhirnya laki-laki itu menyerah dan meraih telepon genggam miliknya untuk menghubungi Dita. “Hei, Sal. Ada sesuatu?” Dita menjawab dengan riang dari seberang. Faisal menghela napas dengan berat. “Besok kau bisa ke rumahku?” tanyanya dengan murung. Dita tak langsung menjawab. “Kenapa, Sal? Ada hal penting apa?” tanyanya kemudian. “Bapak dan ibu ingin aku segera menikah. Aku harap kamu mau kuajak menemui beliau berdua.” Terdengar tawa ringan dari seberang. “What? Kamu lagi gak bercanda, ‘kan? Menikah? Sal... kita udah sepakat buat jalanin masa pacaran dulu, sebelum benar-benar cocok untuk menikah, ‘kan? Lagian, kehidupan kita udah kayak orang menikah! Apa itu masih belum cukup buat kamu?” “Dita, ini bukan masalah cukup atau gak cukup. Ini menyangkut keinginan bapak sama ibu. Beliau berdua ingin aku menikah karena usiaku sudah cukup.” Terdengar tawa hambar dari seberang. Dita bingung harus bersikap bagaimana dengan kata-kata Faisal. Saat ini, dia sedang berada di puncak karir sebagai seorang model papan atas. Sebuah profesi yang dia inginkan sejak lama. “Tapi aku harus meniti karirku dulu, Sal. Apa kamu tahu, aku udah mimpiin pekerjaan ini dari kecil? Sekarang, di saat aku lagi megang impianku, aku dipaksa harus menikah? Bagaimana kalau aku hamil, lalu memiliki anak, lalu... lalu... tamat sudah karirku, Sal!” Dita mencoba berkompromi dengan mengatakan alasan serta realitas yang bisa saja terjadi jika mereka menikah secepat yang diinginkan Faisal maupun keluarga laki-laki itu. “Jadi kamu gak mau nikah sama aku?” Faisal memotong dengan nada sedikit tersinggung. “Sal! Jangan salah paham. Aku mau menikah dengan kamu. Tapi gak sekarang! Kamu tahu, ‘kan....” Klik. Faisal memutus sambungan teleponnya sepihak. Dia merasa Dita sengaja mengelak dari pertemuan yang diinginkan bapak dan ibunya. Dengan kesal, dihempaskannya telepon genggam di atas kasur. Drrt.... Drrt.... Ponsel Faisal kembali bergetar, tanda panggilan masuk. Akan tetapi, ia tak menghiraukan telepon yang jelas berasal dari Dita. Hingga ketika getaran ponsel itu tak juga berhenti, Faisal mulai kesal dan mematikan teleponnya. Sementara Faisal tak menyadari bahwa apa yang dilakukannya tadi diperhatikan sepasang mata tua yang menatapnya penuh kasih. Bu Suryo. Perempuan anggun yang masih tetap pada ugeman berpakaian kebaya itu, mendekati  Faisal yang kesal dan menatap nyalang langit-langit kamar. “Ada apa, Sal?” Bu Suryo bertanya lembut, sambil duduk di sisi ranjang. “Gak ada apa-apa, Bu.” Faisal menjawab sembari duduk bersila di atas kasurnya. “Jangan bilang ndak ada apa-apa. Ibu tahu apa yang kamu lakukan sejak tadi. Kenapa? Apa pacarmu itu menolak datang ke rumah kita?” Bu Suryo menatap Faisal penuh kasih. “Bagaimana ibu bisa menyimpulkan begitu?” Bu Suryo tersenyum. “Kamu ini anak ibu satu-satunya, Sal. Tentu saja, ibu akan tahu bagaimana perasaanmu hanya dari raut wajahmu.” Faisal tersenyum kering. “Namanya Dita, Bu. Dia masih ingin mengejar karir sebagai model.” Faisal akui, ia memang selalu tak bisa menyembunyikan apa pun dari ibunya. “Berarti dia menolak datang untuk bertemu dengan bapak dan ibu di sini?” Bu Suryo kembali mengulang pertanyaannya, masih dengan suara lembutnya. Faisal memandang sang ibu dengan hati sedih.  “Apa ibu mau membantu Faisal?” “Maksudmu?” “Ibu bisa membantu Faisal dengan mengatakan pada bapak kalau Faisal masih belum siap berumah tangga. Apalagi Dita juga masih mengejar karirnya.” Bu Suryo menggeleng. “Faisal... Faisal.... Kamu gak akan pernah siap, jika ditanya kapan siap untuk menikah. Tapi apa kamu pernah berpikir bahwa kamu sedang dikejar usia? Bahwa bapak dan ibumu ini tak selamanya sehat. Bahwa hanya kamu anak kami satu-satunya yang akan meneruskan garis keturunan keluarga Hadiprawiro, Nak.” Faisal terdiam. Ini beban terberat yang harus ia pikul : menjadi satu-satunya keturunan keluarganya.  “Mengapa tiba-tiba bapak memutuskan untuk mencarikan Faisal seorang istri, Bu?” Faisal bertanya lirih karena dia selalu tak bisa berkata kasar di depan ibunya. Bu Suryo tersenyum. “Kewajiban orang tua adalah menikahkan anaknya dengan orang yang tepat, Sal. Apalagi bapakmu sudah mengemban amanah almarhum eyang kakungmu.”  “Amanah eyang kakung?” Bu Suryo mengangguk kecil.  “Ya. Ini sebuah amanah, Sal. Jadi tolonglah bapak dan ibu agar bisa melaksanakan amanah eyang kakungmu, sebelum kami semakin tua dan akhirnya meninggal.” Bu Suryo berkata lirih, mencoba menyentuh sisi sensitif hati Faisal. “Bu? Kenapa ibu berkata seperti itu? Bapak dan ibu masih muda dan sangat sehat.” Faisal merajuk dan menggenggam tangan ibunya. “Syarat mati tidak harus sakit dan tua, kan, Sal? Jadi tolong ibu sama bapak untuk dapat mengemban amanah ini.” Faisal menatap mata cekung ibunya. Kecantikan masa lalu masih tergambar jelas di wajah tua beliau yang mulai keriput. Wajah Bu Suryo sedikit mendung, dan Faisal selalu tak sanggup membuat ibunya bersedih. “Kalau ibu harus memohon, ibu akan memohon padamu, Sal....” “Bu? Apa yang ibu katakan? Ibu gak pantas  memohon apa pun pada Faisal! Baiklah... demi bapak sama ibu, serta amanah eyang kakung... Faisal bersedia mengikuti keinginan kalian. Menikah dengan siapa pun, asal itu terbaik menurut bapak dan ibu.” Faisal akhirnya menyerah. Bu Suryo tersenyum dan memeluk Faisal.  “Terima kasih, Sal.” Terdengar suara serak sang ibu, menandakan beliau terbawa arus haru dan senang. “Ibu yakin kalian akan berbahagia. Dia gadis terbaik yang pernah ibu kenal,” lanjut Bu Suryo ketika mengurai pelukannya. Faisal hanya mengangguk. Bayangan Dita berkelebat, membuat hatinya seperti tertimpa beban yang sangat berat. Kini ia ada di persimpangan jalan. Menuruti kehendak bapak dengan ibunya, atau tetap bersama Dita—meski gadis itu masih mengelak jika harus menikah cepat. Namun, Faisal telanjur menyanggupi permintaan ibunya. Bayangan wajah cantik Dita kembali berkelebat, dan Faisal merasa dadanya semakin berat oleh beban tak terlihat itu. * * *  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN