Aliana sudah berada di kampus. Ia duduk termenung di gazebo sembari menunggu Rida datang. Gazebo kampus adalah tempat favorit Rida dan Aliana.
Tak lama menunggu, Rida datang dengan membawa sebungkus kantong plastik yang ia tenteng di tangan kirinya.
"Assalamualaikum cantiknya aku." Rida langsung mendudukkan dirinya di samping Aliana.
"Wa'alaikumussalam, Rida." jawab Aliana lesu.
"Kenapa sih Al? Lemes amat. Yang semangat gitu kek. Ada masalah apa? Sini cerita." Baru juga datang, tapi Rida sudah mencecar dengan pertanyaan yang bertubi-tubi untuk Aliana.
"Satu-satu nanyanya, Rida!!! Baru juga dateng kamu," sewot Aliana
"Hehe ... iya deh, maaf. Nih, aku bawain cemilan banyak." Tunjuk Rida pada kantong plastik yang tergeletak di sebelahnya.
"Gak nafsu, Rid. Pusing aku," keluh Aliana. Masalah Adzam belum selesai, timbul lagi masalah Dira. Aliana semakin bimbang.
"Kenapa sih, Al? Coba sini cerita." Rida menggeser duduknya. Mengikis jarak antara dirinya dan Aliana.
Tanpa banyak bicara, Aliana langsung menyandarkan kepalanya di pundak Rida. "Rid, aku bingung," ucapnya lirih. Ia sudah tak mampu lagi membendung air matanya. Dibiarkan air mata itu menetes membasahi pipi.
"Kamu kenapa, Sayang? Coba cerita pelan-pelan." Rida cuman bisa memberikan rangkulan untuk Aliana. Memberikan sedikit kekuatan dan ketenangan pada gadis itu.
"Mbak Dira, Rid. Mbak Dira minta aku buat nikah sama Mas Reyhan!" ujar Aliana menahan emosi.
"Apa?!" Mata Rida membelalak. "Mbak Dira udah gila, ya? Ya kali dia nyuruh suaminya buat nikah sama kamu. Gak bener ini, Al. Sesat!" Rida yang mendengar ikutan emosi.
Aliana memeluk Rida erat. "Mbak Dira kena kanker Rid." Sesak. Hatinya begitu sesak. Bahkan untuk memberitahukan kenyataan pahit ini, rasanya ia tak sanggup. Namun, ia harus cerita pada Rida. Aliana tak mampu menahan bebannya sendirian.
Rida yang mendengar masih tak percaya. "Al, kamu jangan main-main soal penyakit. Sumpah, bercandamu gak lucu, Al!" Rida berusaha mengelak. Sungguh, ia tak percaya.
"Aku gak bercanda, Rid. Aku serius. Mbak Dira sakit."
"Tapi Mbak Dira terlihat baik-baik aja. Mana mungkin, Al?" tanya Rida masih tak percaya.
"Dia menyembunyikan penyakitnya dari kita semua. Aku juga baru tahu kemaren." Aliana menyeka air matanya. Rida membalas pelukan Aliana semakin erat. Gak kebayang rasanya menjadi Aliana.
"Yang sabar, Cantik. Kamu kuat, Al." Rida tersenyum.
"Aku bingung Rid. Aku bingung. Apa aku boleh egois Rida? Aku jadi serba salah. Di satu sisi, aku berharap sama Mas Adzam, tapi di sisi lain Mbak Dira juga kakakku. Aku gak mau menentang dia Rid. Aku ingin menuruti semua keinginannya di sisa hidupnya. Aku mau buat dia bahagia. Sementara aku gak yakin Rid. Aku gak yakin kalau Mbak Dira bisa bahagia melihat aku sama Mas Reyhan menikah. Mas Reyhan itu kebahagiaan Mbak Dira, Rid. Mas Reyhan itu cinta sejatinya Mbak Dira. Wanita mana yang akan sanggup melihat cinta sejatinya menjadi milik wanita lain? Wanita mana yang tidak sakit hati melihat lelaki yang begitu dicintainya, yang begitu di pujanya bersanding dengan wanita lain, Rid? Apalagi, wanita itu adalah adik kandungnya sendiri, Rid? Tolong jawab aku, tolong jawab Rida!" ujar Aliana frustasi. Ia keluarkan segala unek-unek yang begitu sesak di dalam dadanya. "Mana yang harus ku pilih Rid? Mana? Kebahagiaanku, atau kebahagiaan kakakku sekaligus kehancurannya. Aku adeknya Rid. Aku bisa melihat kerapuhannya. Mungkin, di mulutnya dia bisa memohon padaku agar mau menikah sama Mas Reyhan, tapi pada kenyataannya dia juga hancur Rid. Dia juga berat melepas Mas Reyhan. Dia hanya pura-pura tegar Rid. Dia pura-pura. Dia tidak setegar itu." Aliana menangis sejadi-jadinya dipelukan Rida.
Rida yang melihat Aliana kacau seperti itu, ia juga ikut menangis.
"Aliana ... aku gak nyangka masalahmu seberat ini, Al." Rida menyeka air mata Aliana.
"Aku gak tahu Rid. Aku harus apa? Rasanya aku tidak ingin pulang. Aku belum sanggup ketemu mereka di rumah. Aku belum siap memberi keputusan pada Mbak Dira. Aku juga belum tahu harus menjawab apa atas lamaran Kak Adzam. Aku belum siap ketemu mereka semua Rida." Aliana semakin terlihat nelangsa.
"Ya sudah, Al. Kamu tenangin dulu pikiranmu. Apa mau nginap di rumahku?" Rida menawarkan bantuannya. Mungkin ini bisa sedikit membantu beban Aliana.
Aliana tersenyum. Senyum paksa yang ia ukir untuk menutupi kerapuhannya."Tidak usah Rid. Aku harus bersikap dewasa. Masalah itu dihadapi, bukan untuk dihindari. Kalau aku kabur, percuma juga. Masalahnya gak akan selesai."
"Ya sudah, jangan sedih lagi. Ayo, senyumnya mana?" Rida mencoba menghibur Aliana. Ia tahu, mungkin usahanya ini tidak akan berpengaruh apa-apa, tapi setidaknya, ia berusaha ada untuk Aliana.
Aliana kembali menunjukkan senyumnya. Senyum yang tetap sama. Manis, namun penuh kepalsuan.
"Al, kalau semisal Kak Adzam minta jawabannya sekarang gimana?" tanya Rida.
Aliana terdiam sejenak. "Nggak tahu, Rid. Aku belom bisa kasih jawaban. Mungkin, aku bakal menghindar biar gak ketemu sama Kak Adzam dulu. Aku belum minta petunjuk sama Allah atas keinginan Kak Dira yang menyuruhku menikah dengan Mas Reyhan. Jadi, aku belum bisa memutuskan."
"Emmm ... baiklah kalau begitu. Aku bantu biar gak sampai ketemu Kak Adzam."
"Terimakasih, Rid. Kamu emang paling pengertian," sanjung Aliana.
Rida yang disanjung seperti itu, semakin besar kepala. "Rida gitu loh." Sambil mengibaskan tangan kanannya.
"Masuk kelas yok, tunggu di dalem aja. Aku mau tidur bentar Rid. Kepalaku pusing," ajak Aliana.
"Yok, deh," jawab Rida.
Mereka berjalan mengendap-endap. Rida yang berjalan di depan Aliana untuk memastikan agar tidak sampai bertemu dengan Adzam.
"Aman, Al," bisik Rida sambil membulatkan jari jempol dan telunjuknya membentuk huruf O yang berarti oke.
Tanpa di duga-duga, ternyata Adzam sudah berada di belakang Aliana. Ia memperhatikan tingkah dua gadis di hadapannya yang terlihat mencurigakan.
"Apanya yang aman? Kenapa kalian jalan ngendap-ngendap gitu?" tanya suara bariton milik Adzam.
Seketika Aliana dan Rida terlonjak kaget. "Astaghfirullah." ucap mereka bersamaan. Aliana memegang letak jantungnya yang berdetak tak karuhan. Rida yang terkesiap, ia tidak sadar sedang berjalan mundur sampai menabrak pot yang ada di belakangnya.
"Ehe, Kak Adzam," sapa Rida seperti bocah lugu.
"Kalian ngapain?" tanya Adzam lagi.
"Emmm ... anu, itu Kak," ucap Aliana gelagapan.
"Anu apa, Al?"
"Anu, kita buru-buru mau masuk kelas." Alibi Aliana.
"Bukannya kelas kalian siang ya?" tanya Adzam penuh selidik.
Duh, mampus! Batin Rida.
"Emmm ... kok Kak Adzam tau?" Aliana mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
"Ehehe ... anu, itu." Adzam juga tidak bisa menjawab. Jangan sampai Aliana tahu jika dirinya diam-diam selalu mencari tahu jadwal gadis itu.
"Anu apa?"
"Gak papa, Al. Oh iya, aku boleh bicara sebentar?" Duh, ini yang ingin Aliana hindari sedari tadi. Pasti Adzam mau menanyakan jawaban Aliana soal lamarannya waktu lalu.
Sudah kepalang basah. Mau menghindar juga percuma. Akhirnya, Aliana mengiyakan. "Iya, silahkan."
Rida yang ditatap Aliana langsung paham. "Al, aku ke kelas dulu ya?" ucapnya pamit.
"Iya, entar aku nyusul," jawab Aliana.
Adzam mendekatkan dirinya agar percakapan mereka tidak terdengar banyak orang. "Al, udah ada belum, jawabannya?" tanya Adzam to the point.
Aliana terdiam. Ia tidak tahu harus berbicara apa. Rasanya, lidahnya begitu keluh. "Kak Adzam, kasih Aliana waktu lagi ya? Aliana belum bisa kasih jawaban sekarang, Kak. Banyak hal yang harus Aliana pertimbangkan. Mohon pengertiannya ya, Kak. Aliana mohon!!!" pinta Aliana.
Meskipun sedikit kecewa, tapi ia menuruti permintaan Aliana. Ia tidak bisa memaksa gadis itu. Itu hak Aliana, meski Adzam sudah berharap mendapat jawaban itu secepatnya. "Baiklah, Al. Aku siap nunggu jawaban kamu sampai kapan pun. Tapi tolong ya, kasih aku kepastian segera, apakah aku harus berjuang, atau harus melepas. Karena, digantung lama-lama juga rasanya menyiksa."
Aliana menundukkan wajahnya. Ia jadi merasa bersalah. "Sekali lagi, maafin Al ya Kak? Secepatnya Al akan kasih jawabannya," ujar Aliran begitu yakin, walaupun dalam lubuk hatinya, ia begitu bimbang.
"Iya, Al. Aku percaya. Ya sudah, kalau begitu aku pamit dulu. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Azam berlalu dari hadapan Aliana. Aliana pun langsung berjalan menuju kelasnya.
Sesampainya di kelas, tidak ada siapa-siapa. Hanya ada mereka berdua. Rida dan Aliana.
"Assalamualaikum," salam Aliana saat memasuki pintu.
"Waalaikumussalam." Rida sudah menyambut dengan antusias.
Rida berjalan mendekati Aliana yang sedang duduk asal di bangku milik temannya. "Al, gimana-gimana? Kamu jawab apa sama Kak Adzam?" tanya Rida penasaran.
Aliana menggidikkan bahu. "Tidak tahu, Rid. Aku belum jawab. Aku minta waktu lagi buat putusin jawabannya."
Rida paham dengan posisi Aliana. "Ya sudah, kamu pikirin lagi matang-matang. Minta petunjuk sama Allah. Aku yakin, kamu bisa lalui ini semua. Semangat Cantik!"
"Rid, nanti pulang kampus, kosong ga?" tanya Aliana.
"Kosong, kosong. Mau ditemenin ke mana?" tanya Rida yang sudah hafal dengan kebiasaan Aliana.
"Lihat senja dulu ya? Mau gak?" tanya Aliana. Mungkin senja kali ini bisa membantu meringankan beban pikirannya.
"Okey, bisa diatur. Tuh sambil ngemil. Dah ku beliin banyak tuh, tadi gak kesentuh sama sekali."
"Siap, deh."
******
Kelas sudah berakhir. Sesuai kesepakatan, mereka pergi ke gazebo untuk menikmati keindahan senja.
"Al, senjanya lagi cantik tuh," ujar Rida.
"Iya, bagus banget," jawab Aliana.
"Pengen deh jadi senja," celetuk Rida.
"Lah? Gak cocok kamu jadi senja. Senja cantiknya kebangetan, kamu cantiknya amit-amit," ledek Aliana. Ia ingin bahagia sejenak. Melupakan masalah dengan menikmati senjanya yang menyapa dikala banyak masalah datang menghampirinya.
"Ih, bukan gitu. Aku mau jadi senja, buat menghapus kesedihan kamu. Memberikan warna terbaikku untuk melukis senyummu. Bahagia selalu Al. Aku akan selalu ada buat kamu. Jangan pernah bosan menjadi sahabatku. Jangan pernah berpikir untuk mengganti posisiku dengan siapapun." Aliana tampak terenyuh. Rida memang sahabat terbaik.
"Rida, peluk sini."Aliana merentangkan tangannya, dan dibalas Rida dengan pelukan yang tak kalah erat.
"Aku juga ingin jadi langit buat kamu, Rid." Aliana mengurai pelukan itu. Dirinya kembali menatap fokus ke arah langit yang masih menjingga.
"Kok langit? Kenapa gak bulan atau bintang?"
"Karena aku ingin setia menemanimu. Aku gak akan berpaling, seperti langit yang menanti senja, aku juga akan selalu menantimu mendekapku erat. Seperti langit yang menunggu senja datang menyapanya, aku juga ingin selalu ada untukmu. Langit dan senja memang tidak bisa bertemu setiap waktu, tapi senja akan selalu ada untuk langit di waktu yang tepat. Begitu juga dengan kita. Aku dan kamu memang tidak bisa bersama setiap detiknya, namun kita selalu ada di saat kita benar-benar membutuhkan peluk dari rasa pelik yang menyesakkan. Kita nikmati persahabatan ini ya? Persahabatan antara langit dan senja. Persahabatan sejati yang tak akan putus dimakan usia, tak akan goyah meski terlupakan waktu, dan tak akan pisah walaupun terkikis keadaan. Tetap bersamaku, Rid. Temani aku, kuatkan aku dalam setiap keadaan. Kita saling merangkul, kita saling menopang, kita saling bergandeng tangan lalu berjalan beriringan." Ya, berbeda dengan Ferdhy yang menjabarkan makna perselingkuhan langit dan senja, Aliana juga punya makna tersendiri untuk langit dan senja. Makna persahabatan. Persahabatan yang sejati.
Rida begitu terharu. Ia tidak bisa berkata-kata lagi.
"Al, janji ya, persahabatan kita sampai ke Jannah?" Rida mengangkat jari kelingkingnya.
Aliana tersenyum. Ia tautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking milik Rida. "Tentu."
Mereka pun saling berpelukan.