Kelas sudah berakhir. Namun, Aliana masih setia berada di kampus. Tak mau melewatkan pemandangan indah di hadapannya, ia memilih untuk tidak langsung pulang. Mengagumi ciptaan Tuhan yang luar biasa indah adalah rutinitas Aliana saat kelas berakhir sore.
Senja kali ini begitu memukau. Semburat jingga kecantikannya, mampu mendamaikan hati yang terluka, menentramkan pikiran yang penuh beban nestapa dan menyejukkan mata yang mulai lelah.
Di gazebo taman depan kampus, Aliana duduk sendirian, menikmati senja yang mulai menjingga. Seutas senyum nampak jelas di sudut bibirnya. Senyumnya yang tulus, mampu memikat siapapun yang melihat.
Biasanya, ada Rida yang selalu menemani Aliana melihat senja. Namun kali ini, Rida tidak bisa karena harus membantu ibunya menyiapkan catering yang cukup banyak pesanannya. jadi, mau tidak mau, Rida harus pulang dan membiarkan Aliana sendirian.
"Assalamualaikum," ucap seseorang memberi salam.
Aliana menoleh ke arah sumber suara. "Wa'alaikumssalam," balasnya setelah melihat seseorang yang berdiri tegap di hadapannya.
"Boleh saya duduk di samping kamu?" tanya pria itu.
"Silahkan." Aliana mempersilahkan lalu ia menggeser duduknya agar jarak mereka tidak terlalu dekat.
Pria tampan itu berjalan mendekat. Ia lalu mendudukkan dirinya di samping Aliana. "Boleh tahu namanya?" tanya pria asing itu.
Aliana tersenyum tipis. "Salam kenal. Nama saya Aliana Putri Kamila, temen-temen biasanya manggil Aliana. Saya mahasiswi kedokteran semester 5."
"Aliana? Emmm ... nama yang indah," pujinya setelah Aliana memperkenalkan diri. Mendengar namanya saja, ia langsung menjatuhkan hatinya. Apakah ia juga akan menjatuhkan pilihannya pada gadis di hadapannya ini?
Mendapat pujian dari seseorang yang diidam-idamkan teman-temannya, tidak membuat ia luluh begitu saja. Aliana tetap menjaga sikap tanpa berniat mencari perhatian. "Terima kasih," ujar Aliana tulus dan ia tersenyum manis.
"Masih ingat saya?" Dengan menunjuk ke arah dirinya sendiri, pria itu bertanya pada Aliana. Berharap, Aliana tidak mudah melupakannya dan pertemuan pertamanya dengan Aliana semoga masih membekas dalam benak gadis itu.
Aliana tampak berpikir. Ia hanya berpura-pura saja. Mana mungkin Aliana lupa dengan dosen idaman teman-temannya ini. Ditambah dengan kejadian memalukan itu, tidak akan mungkin Aliana lupa begitu saja. "Emang, wajah saya setua itu ya buat jadi seorang pelupa?"
"Haha .... " Pria itu tertawa ringan. Percayalah, itu hanya sebuah topeng untuk menutupi rasa senangnya. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya hanya karena Aliana masih mengingat dirinya. Bahagia itu ternyata sederhana. "Jangan salah, umur tidak menjadi jaminan seseorang menjadi pelupa. Zaman sekarang, usia muda pun sudah banyak yang pelupa. Kebanyakan micin soalnya," lanjutnya lagi agar tidak ada kecanggungan di antara mereka.
"Untung gak suka gadoin micin," ujar Aliana tanpa dibuat-buat. Lihatlah begitu polosnya gadis ini.
Gadis yang polos. Gumam pria itu dalam hati. Mana mungkin ia berbicara seperti itu secara terang-terangan. Yang ada, Aliana akan marah pada dirinya. "Ya nggak gitu juga konsepnya," sangkalnya gemas. Sungguh, ia semakin dibuat jatuh hati dengan keluguan gadisnya. Eh, bukan gadisnya deng, 'kan belum halal. Masih proses. Doain ya teman-teman. Kawal sampai halal.
"Saya salah ya, Pak?" Dengan begitu lugunya, Aliana bertanya seperti itu. Al, kamu itu gemesin banget.
Kelewat polos. Batin Ferdhy. Dengan sabar, Ferdhy berkata, "Nggak, Aliana. Kamu gak salah, tapi gak benar juga."
Aliana nyengir. Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk menutupi rasa malunya. "Hehe ... ya maaf, Pak."
Ferdhy terlihat sedikit masam. Sedari tadi, Aliana selalu menyebutnya Bapak. Memang, wajahnya setua itu apa? "Jangan panggil saya Bapak! Emang, wajah saya setua itu ya?"
Aliana terdiam sejenak. Memkirkan kata apa yang harus dirinya ucapkan. Takut-takut salah ucap, justru akan menyinggung perasaan dosennya ini. "Enggak sih, Pak, tap–"
"Jangan panggil saya Bapak!" potong Ferdhy cepat.
"Lha, terus saya panggil apa? 'kan Bapak dosen saya?" debat Aliana. Aneh! Dipanggil Bapak kok gak mau. 'Kan aku cuman ngehormatin dia sebagai dosen aku aja. Masak iya aku panggil Om, Mas, Kak. 'Kan gak mungkin. Batin Aliana.
"Oke, perkenalkan nama saya Ferdhyansyah Orlandion. Umur saya masih 26 tahun. Tolong diingat, kalau perlu catat! Saya bekerja di rumah sakit umum daerah sini sebagai dokter. Kebetulan, saya mengajar di sini sebagai dosen pengganti yang menggantikan Pak Andri untuk sementara waktu." Ferdhy memperkenalkan dirinya. Kali ini perkenalannya lebih detail dibanding dengan perkenalan di kelas tadi pagi.
"Semuanya gak ada yang kebetulan kali, Pak. Itu namanya takdir." Aliana tidak terima jika Ferdhy menganggap semua ini hanya kebetulan. Aliana yakin, semua yang terjadi di dunia ini adalah takdir. Tidak ada yang namanya kebetulan.
"Pak, lagi. Udah di bilang jangan panggil Bapak," protes Ferdhy.
"Iya, iyaaaa ... maaf." Aliana mengerucutkan bibirnya. Duh ini ujian berat untuk Ferdhy. Rasanya, ia ingin menyentuh bibir itu lama-lama tanpa ingin melepasnya. Astaghfirullah! Belum halal woy!
"Ingat! Selama di luar jam ngajar, kamu tidak boleh memanggil Bapak. Kamu boleh memanggil Bapak, hanya saat jam ngajar saya. Ingat baik-baik, panggilan Bapak hanya sebagai formalitas. Saat di luar, kamu bisa manggil saya apa pun terserah kamu. Mau Kakak, Abang, Mas, Aa, atau apa pun lah, senyamanmu," terang Ferdhy.
"Siap, Bap–"
"Ekhem .... " dehem Ferdhy
"Eh ... iya, lupa. Baik, Mas Ferdhy. Salam kenal." ujar Aliana.
"Mas? Wah, for the first nih dipamggil Mas." Dalam hati, Ferdhy sangat berbunga-bunga.
"Ya, berhubung saya gadis jawa asli, saya panggilnya Mas. Tapi kalo gak mau ya sudah. Dipanggil Om kayaknya cocok," kesal Aliana. Memang rempong banget nih si Om Dokter. Wkwk
"Om?" Ferdhy mengernyitkan dahi. Tidak habis pikir dengan Aliana. Ternyata, Aliana rese juga lama-lama. Tapi entah mengapa keusilan Aliana membuatnya semakin jatuh hati.
"Iya, cocok tuh dipanggil–"
"Nggak! Enak aja manggil Om," potong Ferdhy. Ia tidak terima jika wajah tampannya tercemar hanya karena panggilan Om.
"Hadeh ... dipanggil Bapak, protes. Dipanggil Om juga protes. Terus, mau dipanggil apa?" Dasar Aliana gak peka. Ya maunya dipanggil itu lah, Al. Masak gak paham juga.
"Siapa yang protes?" sangkal Ferdhy. Seru juga ternyata mengajak Aliana berdebat.
"Lha, tadi?"
"Kan saya bilang for the first dipanggil Mas. Karena saya bukan orang jawa asli. Terus di mana letak protes saya?
Aliana tersenyum kecut. "Ya maaf. Oke, kalau gitu saya panggil Mas aja." Aliana mengehembuskan napas kasar.
"Terserah kamu," Final Ferdhy. Dalam hati, ia begitu bahagia. Seperti ada kupu-kupu terbang di dalam perutnya.
"Iya, Mas Ferdhy .... " Aliana memilih untuk mengalah. "bawel!" lanjutnya lagi dengan suara yang lirih.
"Bilang apa tadi?" Ferdhy melirik Aliana dengan tatapan sulit diartikan.
"Eh, emmm ... enggak, gak bilang apa-apa." Aliana gelagapan. Rasanya ingin sekali ia menyembunyikan wajahnya yang memerah.
"Pendengaran saya masih bagus, lho!"
"Hehe .... " Aliana nyengir. Ia terlihat semakin menggemaskan. Tolong Aliana, jangan sering-sering seperti itu. Kasihan jantung Ferdhy.
"Hemmm ... kenapa belum pulang?" Tanya Ferdhy mengalihkan topik.
"Lihat senja, Pak. Eh ... maksudnya, Mas." Aliana gelagapan. Lagi-lagi dirinya lupa.
Meski sedikit kesal, tapi Ferdhy mencoba bersikap biasa. "Kamu suka senja?" tanya Ferdhy mencoba menghilangkan rasa kesalnya.
"Suka, bahkan suka banget. Tiap pulang sore, saya pasti kesini buat lihat senja. Entah kenapa, saat lihat senja, hati saya jadi damai, pikiran saya jadi tenang dan rasa lelah yang saya rasakan, seketika langsung hilang." Sambil menatap senja yang perlahan mulai bergeser, Aliana menjawab dengan antusias. Entah kenapa, setiap kali ia membahas senja, rasanya begitu semangat. Seolah, senja adalah penyemangat hidupnya.
Keheningan mulai tercipta di antara keduanya. Tak ada lagi yang saling bicara. Untuk memecah keheningan yang awkward, Aliana memberanikan diri untuk bertanya, "Emmm ... Mas Ferdhy suka senja juga?"
Ferdhy menatap senja sekilas, lalu ia menggelengkan kepala. "Enggak," jawabnya.
Aliana mengernyit bingung. Jika Ferdhy tidak suka dengan senja, lalu kenapa ia mau menemani Aliana mengagumi keindahan senja? "Kenapa? Padahal, senja bagus lho." Pertanyaan itu lolos keluar dari bibir Aliana. Dosen gantengnya ini memang unik dan susah ditebak. Aliana dibuat penasaran dengan sosoknya.
Ferdhy terdiam sejenak. "Kamu mau tahu alasannya?"
"Boleh," ujar Aliana antusias.
"Al, kamu lihat deh senja itu. Cantik ya, dia?" Ferdhy menunjuk ke arah senja yang mulai berubah warna.
Aliana mengikuti instruksi yang Ferdhy berikan. Ia menatap fokus ke arah langit yang mulai menjingga. "Iya, cantik."
Ferdhy tersenyum samar. "Iya, dia memang cantik, tapi bukan berarti yang terbaik. Senja meninggalkan langit tanpa pamit, dan dia akan datang kembali tanpa bisa diprediksi, sedangkan langit tetap menunggu senja dengan setianya. Langit tetap menyambut senja dengan kehangatannya melalui peluk dan kasih," jelas Ferdhy.
"Tapi senja akan selalu datang untuk menemui langit. Meskipun dia pergi, dia akan kembali," sangkal Aliana berargumen.
"Iya, senja akan kembali pada langit hanya saat ia merasa kesepian. Namun, bagaimana saat senja berselingkuh dengan awan? Tentu, senja akan bermesraan dan memadu kasih tanpa memikirkan langit yang khawatir sepanjang hari. Dia tidak akan muncul dan memberi senyumnya untuk langit," lanjut Ferdhy memperdebatkan argumen Aliana.
"Tapi 'kan senja akan datang dengan pesona terbaiknya yang dia tunjukkan hanya untuk sang langit." Aliana tidak mau kalah. Ia masih tetap kukuh mempertahankan argumennya untuk membela sang senja.
"Justru itu. Senja akan selalu memikat langit dengan pesonanya. Dan lagi-lagi, langit terbuai akan kecantikan senja yang membuat langit tak bisa berpaling. Dengan begitu, senja akan lebih mudah mempermainkan langit. Senja tahu kalau langit tak akan mungkin berpaling. Begitu juga dengan cinta. Cinta akan selalu menjadi sebuah permainan, jika yang mencintai hanya salah satu pihak saja. Jika sudah seperti itu, maka lepaskan! Jangan sampai kisah cinta yang tulus, berakhir seperti langit dan senja."
Aliana terdiam. Ia tidak mampu menyangkal argumen Ferdhy.
"Dan kamu tahu, kenapa banyak orang yang lebih suka senja daripada fajar?" tanya Ferdhy pada Aliana.
"Karena senja cantik?" jawab Aliana asal-asalan.
"Bukan!"
"Karena senja bisa menyejukkan pikiran?" tebaknya lagi.
"Salah!"
Aliana tampak kesal karena jawabannya tidak ada yang benar. "Terus apa dong?"
"Nyerah?"
"Bentar dulu." Sambil memikirkan jawaban terbaik. Aliana tidak ingin menyerah.
"Satu kali kesempatan. Kalau benar, aku traktir makan sepuasmu," tantang Ferdhy.
Mata Aliana berbinar. "Beneran?"
Ferdhy memutar bola matanya malas. "Kalau saya sampai berbohong, cubit saja ginjal saya."
"Caranya?" tanya Aliana polos.
"Pakai tang," ketus Ferdhy.
"Emang bisa?" Kesabaran Ferdhy kini benar-benar teruji. Ia harus sangat ekstra sabar menghadapi Aliana.
"Dah jawab. Gak usah banyak tanya." Seutas senyum samar terbit dari ujung bibir Ferdhy. Ia terlihat begitu puas melihat Aliana yang kesal dibuatnya. Sepertinya, detik ini juga, membuat Aliana kesal adalah hobi baru Ferdhy.
Meskipun masih kesal, tapi Aliana tampak serius. Ia memikirkan baik-baik jawaban dari pertanyaan yang Ferdhy berikan.
"Oke, aku mau jawab," ucap Aliana tiba-tiba.
"Apa coba jawabannya?"
Aliana menarik napas sebentar. "Karena senja adalah karya Tuhan yang luar biasa indah. Semburat kecantikannya mampu menyejukkan hati bagi siapapun yang memandang. Membuat pikiran tenang dan mengobati mata yang lelah. Bener gak?"
Ferdhy tersenyum miring. "Boleh juga jawabannya. Bisalah masuk logika, tapi sayangnya kurang tepat!" Aliana tampak kecewa sekaligus kesal dengan dosen gantengnya ini. Padahal, ia sudah memberikan jawaban terbaiknya. Tetap saja masih salah di matanya. Ternyata, pepatah wanita selalu benar tidak berlaku bagi Ferdhy. Buktinya, Aliana selalu salah di matanya.
"Dahlah, aku nyerah!" final Aliana. Akhirnya ia menyerah juga.
"Dah kalah nih ya? Cieee yang kalah. Cieee yang kesel." Puas meledek Aliana, Ferdhy bangkit dari duduknya. Ia berjalan mondar-mandir di depan Aliana
"Bisa duduk gak?!" ketus Aliana.
"Buset, galak bener. Iya, iya, saya duduk." ucap Ferdhy ikutan kesal. Ferdhy pun duduk kembali di tempatnya.
"Ya sudah, jawabannya apa yang benar?" desak Aliana.
"Sabar .... " ujar Ferdhy.
"Kurang sabar apa aku? Perasaan dari tadi salah mulu di matamu, Mas." Nahloh, peka dong Fer, Ferdhy.
"Cieee, yang manggil nya udah aku–kamu, dah siap belum dihalalin?"goda Ferdhy santai, tapi serius. Kalau Aliananya mau, langsung gas! Pepet terus, Fer. Jangan kasih kendor.
"Gak usah mengalihkan pembicaraan. Jawab dulu yang benar." Ferdhy mendadak lesu. Kirain, Aliana mau jawab pertanyaan yang modus, tapi serius.
"Iya, iya, aku jawab. Jangan jutek-jutek, napa?"
"Ya buruan jawab! Dari tadi muter-muter kek sekuter."
"Sssttt! Diem. Ini mau jawab." Ferdhy menatap ke arah langit.
Aliana tampak serius. Dirinya juga ikut memandang langit yang mulai gelap.
"Kenapa banyak orang yang lebih suka dengan senja daripada fajar? karena banyak orang yang lebih suka meratapi kepergian daripada menyambut kedatangan," jelas Ferdhy.
"Emmm ... benar apa yang kamu bilang, Mas. Yang sudah pergi ditangisin, yang baru datang disia-siain. Aneh ya manusia itu? Yang nyakitin dipertahanin, yang cintanya tulus dilepasin. kalau sudah capek sakit, terus bilangnya 'semua laki-laki sama saja, semua perempuan sama saja' maunya apa coba?" Yang Ferdhy bilang, kali ini memang benar. Bahkan Aliana setuju dengan pendapatnya. Itu juga yang menjadi alasan untuk Aliana memilih tetap sendiri hingga saat ini, sampai ia bertemu dengan cinta sejatinya suatu saat nanti.
"Ya begitulah manusia. Sukanya cari penyakit." jawab Ferdhy enteng.
"Emmm ... Mas Ferdhy pernah tersakiti juga? Sepertinya sudah berpengalaman sekali ya?" tanya Aliana spontanitas.
"Tidak, bahkan saya tidak pernah berpacaran. Kalau saya sudah memantapkan pilihan, ya saya ajak nikah. Saya tidak suka ber-drama. Kalau sudah yakin, ya saya halalin.daripada terjebak cinta yang menyesatkan, buat apa? itu bukan cinta namanya, tapi nafsu semata. Kamu mau saya halalin?" Pepet terus Fer, pepet. Emak dukung, Nak.
"Hah? Dihalalin gimana maksudnya? Saya bukan B4bi loh, kok dihalalin?" Subhanallah, Aliana. Dihalalin itu maksudnya dinikahin, Al. Dinikahin. Duh, gemes lama-lama.
Ferdhy menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Bingung mau jelasinnya bagaimana. Soal pelajaran, Aliana memang pintar. Makanya bisa masuk kedokteran, tapi kalo soal kode-kodean gini, kok loading-nya kelewatan ya? "Gak papa, Al. Lupain aja. Saya cuman bercanda kok, tadi."
"Emmm ... Iya deh."
Ferdhy sudah gemas sekali mau karungin dan bawa pulang Aliana.
"Oh, iya. BTW Mas Ferdhy sendiri kenapa belum pulang?"
Ferdhy meliriknya sekilas. "Saya masih ada jam ngajar, kalau saya pulang capek di jalan. Jarak rumah saya ke kampus lumayan jauh. Jadi, mending saya nunggu di sini."
"Oh, gitu?"
"Iya." Setelahnya, tidak ada percakapan lagi. Hening mulai terasa. Mereka sama-sama memandang langit kelabu.