2. TAK PUNYA PILIHAN

1630 Kata
• MARSHA POV • Aku menghabiskan makanan yang buatkan oleh pria itu. Aku sesekali menatap ia yang sedang bergelut dengan ponselnya. Tak ku pungkuri ia memiliki wajah sempurna untuk para pria kaya. Ia juga memiliki keahlian masak yang melebih kemampuan ku. Dia memanggil ku untuk mengikutinya ke ruang kerjanya. Ruang kerja yang sangat luas, lebih luas dari kamar ku yang berada di Jakarta. Ruangan itu juga di penuhi begi banyak sekali buku yang menempel pada lemari kayunya. Dia menyuruh ku duduk di sofa miliknya sedangkan dia duduk di depan ku. "Okay.. Aku akan menjelaskan pekerjaan mu" ucapnya sambil menatap ku. Aku mengalihkan pandangan ku dan tidak ingin menatap mata hitam pekatnya. "Kamu sudah dengar kan? Inti tugas mu. Hanya sebagai pasangan pura-pura ku saja. Setiap Aku butuhkan kamu harus siap! Dan Aku benci saat siapapun mengabaikan ku dan membantah ucapan ku. Kamu paham?" jelasnya. Aku terdiam menimbang ucapannya soal pekerjaan ku. Pekerjaan yang menurut ku sangat konyol. Dia menyuruh ku menjadi pacar pura-puranya saja. "Untuk gaji mu, Aku akan memberikan $5,000 per bulannya. Hm, Aku rasa itu jumlah yang sudah sangat cukup" lanjutnya santai. "$5,000? Itu sangat mahal" batin ku. Aku mulai menghitung jumlahnya yang sulit ku hitung menggunakan tangan ku. "Boleh Aku pinjam hp Anda?" ucap ku malu. Dia tertawa puas menatap ku sambil menyodorkan ponselnya. Aku mulai menghitung pendapatan bulanan ku. $5,000 x 12 = $60,000. Jumlah yang Aku dapatkan dalam setahun. Dan jika Aku tetap bekerja padanya selama dua tahun. Aku bisa mengembalikan uang yang di ambil kak Irene padanya. Dan Aku akan bebas darinya. Bahkan Aku bisa kembali ke Indonesia dengan sisa gaji ku. Yap! Aku hanya harus bertahan dua tahun dengannya. Tapi, sesuatu menganggu pikiran ku. Apa kalau Aku menyetujuinya dia tidak akan melakukan hal yang tidak sopan pada ku? Aku harus memastikannya. "Bagaimana?" tanya lagi. "Hm.. Kalau Aku setuju, Anda tidak akan berbuat macam-macam pada ku kan?" tanya ku memastikan padanya. Dia mengulas senyum menatap ku. "Apa mungkin kamu takut Aku akan memperkosa mu juga?" Mata ku seakan di paksa melotot. Tidak! Aku tidak mau kalau Aku juga harus menyerahkan tubuh ku padanya. Harga diri ku tidak semurah itu pada pria asing. "Aku akan menyetujuinya kalau Anda berjanji tidak akan menyentuh ku" pinta ku ragu. "Ya, okay. Aku janji" balasnya percaya diri. "Kamu juga tidak boleh terbawa perasaan pada ku nanti" lanjutnya tersenyum smirk. "Anda tidak perlu khawatir. Aku tidak akan pernah jatuh cinta pada Anda" balas ku yakin. Aku bertekad menjalani pekerjaan konyol ini selama dua tahun untuk terbebas darinya. • AUTHOR POV • Rey menjelaskan kembali secara detail pekerjaan Marsha. Dan juga segala larangan dan pantangan baginya. Rey tidak menyukai kalau ada orang lain yang mencampuri urusannya, Marsha juga tidak boleh akrab dengan orang manapun yang nantinya akan menyusahkan Rey juga. Marsha harus melaporkan apapun yang ia lakukan pada Rey. Semuanya harus atas ijin Rey. Jika Marsha melanggar Rey akan memberinya hukuman. Marsha yang juga tidak ingin terlibat banyak dengan kehidupan Rey menyanggupi semuanya. Rey menunjukkan kamar untuk Marsha. Awalnya Marsha berpikir ia akan berada di apartement yang berbeda dengan Rey. Tapi, ternyata ia salah. Ia harus tinggal di apatement yang sama dengan Rey. Singapura berbeda dari Indonesia, tinggal di atap yang sama dengan seorang pria itu sangat lumrah. Lagi pula tidak akan ada yang mengenali Marsha di Singapura. "Ini kamar mu" ucap Rey pada Marsha. Marsha menatap kagum melihat kamarnya yang begitu luas serta beberapa perabot kamar wanita yang terpajang di sana. Kamar yang begitu sempurna untuk seorang putri. Marsha menatap Rey dan memuji kesultanannya. "Dan untuk baju mu, kita akan pergi membelinya besok. Sekarang kamu pakai piyama ku saja dulu. Mengerti?" lanjutnya meninggalkan Marsha yang masih mematung di ambang pintu kamar. Rey mengulas senyum puas setelah memamerkan kesultanannya pada Marsha. Ia menuju ruang pakaiannya untuk membawakan piyama miliknya yang akan di kenakan Marsha. Ia mengambil piyama berwarna maroon miliknya lalu ia bawakan ke kamar Marsha. Rey melemparkan piyama itu di atas ranjang Marsha. "Pakai itu!" ucap Rey. Marsha melirik piyama itu lalu mengambilnya dan masuk ke dalam kamar mandi untuk mengganti pakaiannya. Rey menatap ke arah jendela kamar Marsha. Suasana malam di Singapura yang masih terlihat terang karena lampu kota. Suara decitan pintu terbuka membuat Rey berbalik menatap dengan piyama kebesaran. Rey mengulas senyum maskulinnya. Ukuran tubuhnya dan Marsha benar-benar jauh berbeda. "Apa Anda tidak mempunyai piyama lain? Lihat! Ini sangat besar di badan ku" keluh Marsha menatap dirinya di cermin. "Untuk apa Aku memiliki piyama yang lain? Sudah! Pakai itu saja malam ini" ucap Rey masa bodoh. "Tapi ini sangat keb---" "Ya sudah! Lepaskan kalau kamu tidak ingin memakainya. Simple, kan?" sela Rey tersenyum smirk. "Kya!!! Jangan!" teriak Marsha menatap kesal. Rey melemparkan senyum mempesonanya sebelum meninggalkan Marsha. Marsha menatap pantulan dirinya pada cermin. Ia masih tidak percaya dengan kejadian yang menimpa dirinya. Karena kejadian itu di mana Irene yang langsung saja menariknya tanpa menjelaskan apapun padanya membuat Marsha melupakan ponselnya. Ia bahkan tidak bisa menghubungi kedua orang tuanya di Bandung. Lalu ia teringat ponsel milik Rey yang tadi sempat ia pinjam untuk menghitung gajinya. Marsha menuju kamar Rey yang terlihat sedang tertutup. "Apa dia sudah tidur?" batin Marsha bertanya-tanya. Marsha mengetuk pintunya beberapa kali hingga suara pintu terbuka mengagetkannya. "Ada apa?" tanya Rey sambil menguap. "Maaf.. Aku mengganggu Anda--hm, apa boleh Aku meminjam ponsel Anda?--hm, Aku harus mengabari ked---" "Besok saja kamu menelponnya. Ini sudah malam. Kamu sangat menggangu! Sana!" sela Rey menutup pintunya. Marsha menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 11:00 malam. Ini memang sudah larut. Marsha kembali ke kamarnya lalu berdiri di depan jendela sambil menatap langit yang tampak di penuhi dengan bintang. Ia mengingat kembali kejadian kemarin di mana Irene yang rela menukarnya dengan uang $100,000. Marsha juga memikirkan alasan apa yang akan ia katakan pasa orang tuanya besok kalau saja ia menghubunginya. Ia masih tidak menyangka saat ini dirinya sedang berada di negara orang, melakukan pekerjaan yang seharusnya tidak ia kerjakan. Tapi, ini sudah menjadi takdirnya. Dan harus ia jalani. Marsha membaringkan dirinya di atas ranjang yang begitu empuk serta selimut yang begitu lembut. Ia bahkan baru merasakan tempat tidur serta selimut seperti ini. Beberapa kali iya memaksa dirinya untuk terlelap tapi sangat sulit. Pikirannya masih berterbangan entah kemana. Ia harus menguatkan dirinya berada di sini untuk dua tahun ke depan. Ia juga berharap kalau Rey adalah orang yang baik meskipun ia terlihat keras dan arogan. Suara ketukan pintu berkali-kali begitu membisingkan di telinga Marsha yang masih terlelap. Ketukan itu tidak berhenti sebelum Marsha membukakan pintu. Marsha menatap Rey yang berada di ambang pintu kamarnya lengkap dengan setelan jasnya. Ia melirik jam dinding yang menempel di kamarnya yang menunjukkan pukul 07.30 pagi. Ia terkejut.. Karena matanya yang sulit terlelah tadi malam membuat ia tidak sadar kalau matahari sudah terbit kembali. "Apa kamu memang tipe wanita yang malas bangun pagi?" ucap Rey sinis. "Hm.. Maaf. Semalam Aku susah tidur jadi---" "Stop! Mandi, sarapan lalu kita berangkat!" sela Rey meninggalkan Marsha. Marsha mengikuti ucapan Rey. Ia bersiap-siap mengenakan lagi baju kucelnya dan sarapan bersama Rey. Marsha mengikuti Rey keluar dari apartementnya. Dan menuju basement apartementnya. Tampak beberapa pria berjas hitam yang ia kenali menunggu di depan mobil sedan hitam. Ia melirik Rey dengan tampilan perfectionist-nya berjalan mobil tersebut. Marsha masuk ke dalam mobi mengikuti Rey. "Kita ke kantor setelah mencari dia baju" ucap Rey pada bodyguardnya. Asisten pribadinya juga berada di dalam mobil yang sama dengan ku. Ia memberikan sebuah tablet persegi pada Rey serta memberitahunya tentang beberapa masalah pekerjaannya. Marsha hanya diam mendengar semua penjelasan asisten Rey hingga mobilnya menepi di salah satu pusat perbelanjaan di Singapura. "Turun!" pinta Rey. Marsha turun dari mobil dan kembali mengikuti langkah Rey. Bahkan asistennya juga ikut mengekor di belakangnya. Masih terlihat tidak ramai membuat Rey tampak leluasa berjalan dengan Marsha yang tampak buruk dengan pakaian kampungnya. Pelayan toko menyambut ramah pada Rey serta memamerkan senyuman mereka. Marsha juga melihat para pelayan toko itu tampak berlomba-lomba untuk melayani Rey. Pelayan toko itu terkejut saat Rey berjalan menuju pakaian wanita, mereka tidak menyangka kalau wanita yang tampak kampungan ini bersama Rey. "Pilihkan dia baju yang cocok" pinta Rey. "Hm.. Ya. Baik, Tn. Rey" balas pelayan toko itu. Marsha mendapat banyak pilihan baju yang sangat cantik dan lucu setelah ia mengganti pakaiannya. Tanpa mencoba semuanya terlebih dahulu, Rey menyuruh pelayan toko itu untuk membawanya ke kasir. "Loh.. Aku kan belum mencoba semuanya" ucap Marsha pada Rey. "Tidak perlu! Membuang-buang waktu saja mencobanya. Kamu bisa mencobanya saat di apartement" balas Rey acuh. "Tapi, nanti Anda membeli baju yang kebesaran atau bisa saja yang kekecilan buat ku. Kan sayang uangnya.." ucap Marsha peduli. "Jangan peduli tentang uang ku, karena Aku membelinya juga bukan pakai uang mu. Aku mau apakan uang ku, itu bukan urusan mu! Kalau baju semua ini kekecilan atau kebesaran, Aku akan membelikannya lagi untuk mu. Kamu paham? Jangan terlalu menggunakan mulut mu untuk sesuatu yang tidak berguna!" jelas Rey yang membuat Marsha terkejut karena ucapannya. Marsha melongo menatap sikap menyebalkan Rey padanya. Para pelayan toko itu menatapnya dan saling berbisik. Marsha benar-benar malu karena sikap Rey. "Okay! Aku tidak akan berbicara lagi!" batin Marsha. Rey menyuruh asistennya untuk membawa semua belanjaan Marsha. "Hm.. Biar Aku saja, Tuan" ucap Marsha tidak enakkan. "Tidak perlu, Nona Marsha. Biar Aku saja" balas Nathan asisten pribadi Rey. "Ya.. Terima kasih" Rey mengantarkan Marsha kembali apartment sebelum ke kantornya. "Ingat! Jangan keluar tanpa sepengetahuan ku, kamu paham?!" ucap Rey menahan tangan Marsha yang hendak turun dari mobil. "Iya.. Aku tau. Ohiya, tadi malam Anda mengatakan kalau akan meminjamkan ponsel untuk Aku menghubungi kedua orang tua ku---hm, Aku khawatir mer---" "Nanti kalau Aku pulang kantor. Sekarang masuk lah--ohiya, kamu tau kan lantai berapa apartement ku?.." Marsha mengangguk mengerti. "... Hm, baiklah kalau begitu. Soalnya, Aku benci kalau ada seseorang membuatkan ku masalah karena keteledoran atau kebodohannya" lanjut Rey sinis. Marsha hanya diam menatap wajah tegas Rey sambil memegang semua barang belanjaannya hingga mobil itu melaju dan meninggalkannya. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN