ONE

3063 Kata
Central Tilba, New South Wales. Australia. Tahun 1971 Tilba Tengah yang berada di di New South Wales, Australia, merupakan desa bersejarah yang terletak di sekitar pegunungan Dromadery, di pantai selatan New South Wales. Merupakan desa kecil yang amat tenang dengan populasi penduduk sekitar 228 di Pusat Tilba dan daerah sekitarnya. Suku utama yang mendiami desa ini pada awalnya adalah suku Yuin Aborigin dan seiring berkembangnya waktu, desa ini cukup berkembang dengan penduduknya yang rata-rata adalah nelayan. Desa ini berjarak delapan jam berkendara dari Melbourne. Penduduknya hidup dengan tenang dan tak pernah memiliki hubungan yang buruk satu sama lain mengingat sedikitnya jumlah jiwa yang mendiami desa tersebut. Segala hal yang berhubungan satu sama lain akan mudah diketahui penduduk lainnya. Keluarga Simons merupakan salah satu keluarga nelayan yang ada di Tilba Tengah dan menjadi salah satu keluarga yang sangat ramah. Oliver Simons yang bertubuh jangkung dan selalu tersenyum, tak pernah melupakan waktunya menjaring ikan bersama kepala keluarga lainnya untuk selalu berbincang dan membicarakan bekal dari sang isteri, Lily Simons yang pendiam dan berambut gelap. Oliver dan Lily memiliki dua orang anak, perempuan dan laki-laki, yaitu Kristella Simons dan Trevor Simons, yang saat itu berusia 11 tahun dan 6 tahun. Kristella berambut pirang dan gemar tersenyum seperti Oliver sementara Trevor justru seperti sang Ibu, berambut gelap dan jarang bicara. Di antara perbedaan rambut keduanya, Kristella dan Trevor memiliki warna mata hijau pekat yang indah. Kedua kakak beradik itu saling menyanyangi dan selalu menemani sang ayah ke laut. Trevor sangat menyukai lautan sehingga dialah yang paling sering menemani Oliver menjaring ikan dan kadang melupakan jam masuk sekolahnya. Ketika di hari pertama Trevor akan masuk ke sekolah, Kristella harus berlarian sepanjang pantai demi memanggil sang adik yang sudah menaiki perahu ayah mereka. "Treve!! Kau harus masuk sekolah! Besok hari pertamamu!" Kristella membentuk corong di depan mulutnya, berteriak pada Trevor yang sudah siap di sisi sang ayah. "Trevor Simons! Jangan sampai Mom yang menyeretmu pulang!" Trevor menoleh ke arah pantai dan menatap Oliver. Dia memasang wajah malas ketika sang kakak mengingatkannya tentang sekolah. Oliver tertawa dan mengusap rambut gelap Trevor. "Ayolah, kembali ke rumah. Kau harus sekolah, Treve. Aku tak mau kau berakhir menjadi nelayan seperti Dad." Oliver mengedipkan matanya. "Kau bisa berenang ke tepian pantai bukan? Ini belum begitu jauh." "Kau menyuruh putera kecilmu berenang ke tepian, Olive? Itu sangat luar biasa bagi anak kecil berusia 6 tahun." Salah satu pria di lain perahu berteriak pada Oliver dan hanya dibalas dengan tawa keras pria itu. Oliver menatap Trevor yang sedang memperhatikan gerakan air laut yang tenang, mengukur jarak berenangnya untuk mencapai Kristella yang berada di bibir pantai. Dia menarik wajah anak laki-laki itu dan tersenyum. "Tak perlu takut akan tantangan yang ada di depanmu. Lakukan dan berenanglah seperti yang Dad ajarkan." Sejak kecil Trevor adalah anak laki-laki pendiam dan jarang bergaul bahkan di lingkungan tempat tinggal mereka. Di saat anak laki-laki di sekitarnya bermain dengan berbagai permainan, Trevor lebih memilih berenang di laut dan menjelajahi hutan bersama Kristella. Baginya hidupnya adalah orangtua dan kakaknya. Maka ketika dengan lembut Oliver berkata demikian, Trevor mengangguk dan melepas pakaian atasnya. Dia meminta ayahnya menyimpan bajunya dan dengan mantap dia menyeburkan dirinya ke laut. Oliver menatap bocah laki-laki itu yang berenang tanpa ragu menuju pantai yang belum terlalu jauh dari perahunya yang mengambang. "Kau benar-benar melatih fisik anak itu!" Oliver melipat baju Trevor dan tersenyum. "Anak itu akan menjadi anak yang kuat. Dia harus keluar dari Tilba dan menemukan hidupnya di luar desa ini." dia menatap temannya dan mulai meraih dayung. "Biarkan kita saja yang menjadi nelayan, tapi tidak anak-anak kita." Trevor mencapai pantai dengan tubuh basah kuyup dan disambut oleh Kristella yang sudah siap dengan handuk di tangan. Dia sudah menduga adiknya akan berenang dari perahu ayah mereka. Kristella tertawa dan melingkupi Trevor dengan handuk hangat. Dia menyelimuti adiknya yang bahkan sama sekali tidak menggigil karena dinginnya air laut di waktu malam. Dia menarik Trevor dalam pelukannya dan memperhatikan kaki telanjang adiknya. "Kau meninggalkan sepatumu di perahu Dad? Itu satu-satunya sepatu milikmu untuk ke sekolah besok." Kristella menegur Trevor dengan halus dan menggandeng Trevor menjauhi pantai setelah melambai ayah mereka yang mulai berlayar. Trevor menjawab singkat. "Aku bisa bertelanjang kaki." Jawabannya yang tanpa beban membuat Kristella memberungut. "Aku akan meminjam uang pada Bibi Nicole untuk membelikanmu sepatu. Mom tak boleh tahu. Dia akan marah padaku jika meminjam uang pada Bibi Nicole." Kristella mengacungkan jarinya di depan wajah Trevor yang mendegus kecil. Kadang Kristella tak yakin bahwa adiknya masih seorang bocah karena Trevor bersikap terlalu tenang dan sinis. "Bibi Nicole? Jika tak ada orang lain yang harus dipinjami uang, lebih baik aku tak memakai sepatu!"ucap Trevor ketus. Kristella menepuk pelan bahu adiknya dan berkata membujuk. "Treve, bagaimanapun Bibi Nicole adalah keluarga kita. Dia pasti akan senang hati membantu kita." Begitulah keyakinan Kristella. Bibi Nicole memang meminjaminya uang untuk membelikan Trevor sepatu namun wanita itu menceritakan pada penduduk desa bahwa di cantik Kristella sudah pandai berutang bahkan di usia 11 tahun. Saat Lily Simons mengetahui hal itu, dia memarahi Kristella dan mengambil semua sisa uangnya bulan itu untuk melunasi utang anak perempuannya. "Mengapa Mom? Mengapa kita tak boleh meminjam uang pada Bibi Nicole?" Kristella bertanya bingung. "Bukankah dia keluarga kita? keluarga seharusnya membantu keluarga atau sahabat yang sedang kesulitan." Lily memegang bahu Kristella. "Apapun itu, jangan pernah meminta bantuan Bibi Nicole! Bibimu tak pernah menyukai keluarga kita, sayang. Aku akan berhemat jika itu untuk pendidikanmu dan Trevor. Tapi jangan sekali-kali berurusan dengan Bibi Nicole." Kristella mencoba menyerap kalimat ibunya dengan pikiran kanak-kanaknya dan tetap saja dia tak memahami maksud cara berpikir orang dewasa. Dia melirik Trevor yang sudah memakai sepatu barunya dan dia tersenyum. Dia mengangguk pada ibunya dan mencium pipi Lily. "Aku mengerti Mom." Kristella mendekati adiknya dan tertawa lebar. "Wah, si tampan ini tampak pantas dengan seragam sekolah." Dia mengacak rambut Trevor yang sama sekali bergeming. "Ini sudah hari ketiga." Trevor menyahut pendek dan menatap kakaknya yang juga sudah memakai seragam sekolah. "Kau juga cantik, Kris." Dia bergumam singkat dan menyeringai. "Asal si gendut berambut merah itu tak mengganggumu." Kristella tersenyum geli mendengar komentar Trevor akan Hugo Morris yang gendut dan berambut merah yang gemar mendatangi kelas Kristella dan memberi bermacam cokelat untuk sang adik demi mendapatkan perhatian Kristella. "Sejauh ini dia tak mengangguku tapi kau sudah terlalu sering menerima cokelatnya untuk membujukku pulang sekolah bersamanya." Kristella menggoda Trevor yang melangkah lambat di jalan desa menuju sekolah mereka. "Cokelatnya enak." Dia menoleh kakaknya. "Bukankah kau dan dia masih 11 tahun? Apa boleh anak kecil saling suka?" Trevor melontarkan pikiran polosnya pada Kristella yang tertawa. "Apa salahnya kalau Hugo menyukaiku?" dia menunduk dan berkata ceria pada adiknya. "Kalau aku dewasa, aku akan jatuh cinta pada seorang pria hebat!" dia mengedipkan matanya. Alis hitam Trevor berkerut. "Jatuh cinta? Apa itu?" Kristella tertawa manis. "Kau akan tahu saat kau berusia belasan tahun sepertiku." **** Trevor Simons seperti kakaknya, Kristella Simons yang pintar dan menarik perhatian. Keduanya menjadi kesukaan para guru namun Trevor lebih memilih menyendiri dari pada seperti kakaknya yang lincah dan aktif di sekolah. Kristella menjadi idola sementara adiknya selalu bersembunyi di ruang kelas dan kadang menghilang di lapangan olah raga ketika semuanya memilih memakan bekal mereka. Kristella selalu mencari adiknya untuk makan bekal bersama dan mendapati anak laki-laki itu bermain basket sendirian. Dia menatap adiknya yang semakin hari semakin jangkung dan tampan dalam sikap pendiamnya yang tak tersentuh. Dia akan duduk di bawah salah satu pohon, memperhatikan adiknya hingga anak itu menyadari kehadirannya. Trevor akan tersenyum lebar mendekati kakaknya dan mereka akan makan bekal bersama. Meski isi bekal mereka amat sederhana, keduanya tak pernah mengeluh dan menghabiskan isi bekal mereka dengan lahap. Keduanya selalu menunjukkan kotak bekal mereka yang kosong pada ibu mereka saat pulang. Kristella akan membantu Lily di toko roti di mana ibunya bekerja sebagai pembuat roti dan Trevor kadang membolos sekolah demi menemani Oliver menjaring ikan. Dia akan berenang sepuasnya di laut dan kadang menyelam untuk mendapatkan ikan pada saat bulan terang. Bertahun-tahun lewat dan tubuh Trevor tumbuh menjadi lebih kuat daripada remaja lainnya, lebih cokelat dari pemuda lainnya dan lebih tampan dari pada saat kecil dengan wajah dingin tanpa ekspresinya. Dia termasuk orang yang tak bisa menampilkan perasaannya terhadap orang lain dan hanya bisa menunjukkannya pada orangtua dan kakaknya, itupun bisa dihitung menggunakan jari tangan. Hidup mereka baik-baik saja hingga suatu hari sebuah wabah penyakit menyerang desa mereka dan kedua orang tua Trevor dan Kristella menjadi salah satu yang terjangkit. Kristella meraba wajah berkeringat ayahnya berikut ibunya yang terbaring di ranjang sempit mereka. "Mom! Dad! Ya Tuhan! Kalian pucat sekali!" Kristella meraba lengan Lily dan menemukan bintik-bintik memar kemerahan di sepanjang lengan. "Mom!" Trevor mencoba mencari bantuan saat melihat tanda-tanda wabah yang mulai menjangkiti kedua orangtua seperti orang dewasa lainnya. Saat itulah pintu rumah mereka digedor dan dia membuka benda itu mendapati sekelompok petugas kesehatan dan pemerintah setempat menyerbu masuk. "Kami akan mengevakuasi tempat ini!" salah satu pria bermasker menyentuh lengan Trevor dan menatap teman di belakangnya. "Anak ini masih bersih, bawa ke mobil!" dia menatap wajah panik pemuda tanggung di depannya. "Kau harus ke tempat aman, nak." "Orangtuaku..." "Gadis ini juga masih bersih, Sir!" seorang petugas wanita menarik Kristella agar menjauh dari ranjang terjangkit. "Bawa mereka ke mobil," perintah pria yang memegang lengan Trevor. Menyadari bahwa mereka akan meninggalkan kedua orangtua mereka, Trevor menepis tangan pria tersebut. "Lepaskan! Kami takkan meninggalkan orangtua kami!" Pria bermasker itu menyadari penolakan keras pemuda remaja itu dan dia menarik turun maskernya. "Kau harus diamankan, Treve! Termasuk kakakmu! Ini wabah berbahaya." Trevor melihat seraut wajah cemas di depannya dan dia mengenali Hugo Morris yang berambut merah. Tak ada lagi tubuh gendut masa sekolah saat mereka kanak-kanak dulu. Kini Hugo tampak kekar dan gagah yang diperkirakan Trevor telah berusia 21 tahun karena pria itu dua tahun di atas usia Kristella. Kristella menatap Hugo dan airmatanya mengalir. "Hugo...tolonglah orangtuaku..." dia memegang lengan baju Hugo dan memohon. Hugo membalas genggaman tangan Kristella."Aku akan membantu semampuku. Namun tolonglah ikut mobil di mana akan membawa kalian ke tempat yang bebas dari wabah bersama yang lainnya." Kristella menatap petugas yang mulai memasuki rumah mereka untuk memeriksa ayah dan ibunya. Dia melihat Trevor masih bersikeras berada di rumah dan dia mencengkram bahu adiknya. Meski Hugo tak mengatakan hal yang sebenarnya, Kristella mendapati kenyataan bahwa kedua orangtua mereka tak tertolong. "Kita harus ke tempat aman, Treve!" Kristella mengguncang bahu Trevor yang lebar. Dalam situasi biasa mungkin dia akan memuji adiknya atas bentuk tubuh bagus itu di usia 14 tahun, namun kali ini tak tepat waktu. "Kita harus pergi, Treve!" "Dan meninggalkan Mom dan Dad?" bantah Trevor. "Tidak!" "Trevor! Kita harus hidup! Apapun yang terjadi kita harus hidup! Terutama dirimu!" Kristella membentak adiknya yang terdiam. "Mom dan Dad mungkin tak tertolong. Tetapi kita harus hidup demi mereka. kumohon..." Airmata Kristella bercucuran. "Sir, kita harus bertindak cepat." Hugo merangkul bahu kedua kakak beradik itu dan mendorong halus ke duanya untuk keluar dari rumah. "Percayalah padaku." Trevor melihat bibi Nicole dan anak-anaknya berada di dalam mobil besar itu dan dia menoleh Hugo. "Jika kau tak bisa menyelamatkan orangtuaku, aku akan..." "Hidup mati di tangan Tuhan, Treve!" Hugo memotong kalimat Trevor dengan tegas. "Kau tak bisa melawan apa yang menjadi kehendak-Nya." Dia mendorong pelan punggung Trevor. Trevor terdiam dan menatap bagaimana Hugo masuk ke dalam rumah. Dia menatap kakaknya yang terisak seperti yang lainnya yang di dalam mobil tersebut. Dengan pelan dia meraih kakaknya dan dipeluknya gadis itu di pelukannya. Kristella menangis di d**a adiknya dan masih mengharapkan keajaiban bahwa orangtua mereka akan selamat. Berada beberapa hari di tempat aman yang disediakan pemerintah tak mengurangi kecemasan kakak beradik itu. Untuk suatu kesempatan yang tak terduga, Bibi Nicole bersedia menjaga mereka dan anak-anak mereka yang biasanya tak ramah menjadi teman bagi Kristella dan Trevor. Paman Hyden pun terlihat bercakap-cakap dengan Trevor hingga pada suatu pagi mereka semua dikembalikan ke desa mereka. Kristella dan Trevor menatap tak percaya pada makam-makam baru yang berada di kaki gunung Dromadery. Salah satunya adalah dua makam yang saling bersisian yang bertuliskan, Telah beristirahat dengan tenang Lily Simons. Telah beristirahat dengan tenang Oliver Simons. "Maaf. Semua yang terjangkit wabah tak tertolong lagi. Tak ada satupun yang selamat termasuk orangtua kalian." Kristella dan Trevor menoleh pada munculnya arah suara di belakang mereka. Hugo Morris berdiri dengan tampang menyesal pada keduanya terutama pada Trevor yang mengencangkan rahangnya. "Maaf, Treve..." Trevor mengepalkan tinjunya dan untunglah Kristella masih mampu menahannya dengan pelukan pada punggungnya. "Jangan, Treve! Ini bukan salah Hugo! Ini bukan salah siapa-siapa! Ini kehendak Tuhan!" Kristella menangis di punggung adiknya, membenamkan wajahnya di sana dan memeluk pinggang adiknya dengan tangan gemetar. "Bukan salah siapa-siapa!" Trevor membuka kepalan tangannya dan menunduk melihat kedua tangan kakaknya yang memeluknya erat, pada kedua makam orangtuanya, pada sekitarnya yang merasakan kesedihan yang sama sepertinya. Mereka kehilangan orang yang mereka cintai, mereka menangis dan tak bisa menyalahkan siapapun. Trevor menatap Hugo yang tampak menahan airmata dan pria itu membungkuk dengan sedih. "Maaf, Simons. Aku sudah berjuang bersama tim." "Tidak. Kau tak salah. Tak ada yang patut disalahkan. Ini takdir." Trevor menjawab pelan, merasakan getaran di suaranya dan air dingin yang mengalir di pipinya. **** Tak terduga bahwa Bibi Nicole menerima permintaan Kristella untuk menitipkan adiknya di rumah keluarga Allen hingga Trevor menyelesaikan sekolahnya. Trevor menatap Kristella yang tampak memegang koper kecil di tangannya dan menyentuh lengan kakaknya dengan cemas. Untuk pertama kalinya Trevor menunjukkan emosi di wajahnya. Warna ketakutan terlukis di wajahnya. "Kau akan ke mana? Mengapa kau meninggalkanku? Mengapa kau tak membawaku, Kris?" Trevor berkata bergetar saat mereka duduk di teras rumah Bibi Nicole. Kristella menggenggam erat tangan Trevor. "Aku akan mencari pekerjaan di Sydney, Treve. Aku tak mau menikahi Hugo meski dia mengatakan akan menjamin hidup kita berdua." Trevor menatap kakaknya dengan melongo. "Mengapa kau tak menikah saja dengan Hugo? Mengapa kau meninggalkanku bersama Bibi Nicole?" Kristella diam sejenak dan menarik napas. "Aku tak mau kita bergantung pada siapapun apalagi pada Hugo Morris. Tidak, Treve. Aku ingin kelak kita bisa berdiri dengan kaki kita sendiri. Aku akan berjuang di Sydney untuk mengumpulkan uang dan membawamu. Selesaikan sekolahmu di sini. Aku akan mengirimi uang." "Ya, kuharap kau mengirimi Trevor uang untuk uang makan tiap bulan. Aku dan suamiku mungkin hanya bisa memberi tempat tinggal dan uang sekolah tapi tidak uang makannya ." Bibi Nicole muncul di ambang pintu. Wanita itu tersenyum miring dan menatap Kristella penuh arti. "Mungkin Treve juga akan membantu suamiku di peternak sapi untuk pembuatan susu." Trevor mencengkram erat tangan Kristella. Kakaknya tampak terpana mendengar kalimat Bibi Nicole yang terkesan ramah namun sudah jelas bahwa Trevor tak mendapatkan kemudahan menumpang di rumahnya. Dengan tersenyum sabar, Kristella menganggguk. "Ya, bibi. Aku akan mengirim uangnya tepat waktu." Dia merogoh sesuatu di dalam tasnya dan menyerahkan amplop tebal ke tangan Bibi Nicole. "Ini adalah uang simpanan terakhir Mom dan Dad untuk makan Trevor dua bulan. Untuk selanjutnya aku akan mengirim ke rekeningmu." Bibi Nicole menerima uang itu dengan tersenyum. "Tentu saja, kau tak perlu cemas akan adikmu." Dan dia masuk ke dalam rumah kembali. Kristella menatap wajah pias Trevor dan mengecup pipi adiknya. "Sabarlah, Treve. Kau harus menyelesaikan sekolahmu dan kita membutuhkan Bibi Nicole membayar uang sekolahmu. Ketika aku mendapatkan pekerjaan yang tepat, aku akan menjemputmu. Mungkin untuk menunggu hari itu aku akan bekerja serabutan dan sekecil apapun, aku akan mengirimimu uang makan." Kali ini Trevor menangis di hadapan Kristella. "Kumohon, jangan terlalu lama meninggalkanku." Kristella memeluk Trevor dan diapun menangis. "Berjanjilah, Treve, jadilah pria yang kuat! Seperti apapun perlakuan yang kau terima selama menumpang, kuatlah dan jangan biarkan mereka melihat kesakitanmu. Menangislah saat tak ada siapa-siapa." Dia menatap adiknya dan menghapus airmata yang mengaliri lekuk wajah jantan di depannya. Dia membuka kalung yang memiliki liontin berisikan potret wajahnya. "Simpanlah ini. Ada wajahku." Kristella tersenyum. "Aku akan menelponmu melalui telepon bibi Nicole saat aku sudah mendapatkan tempat tinggal. Setelah itu catatlah nomor teleponku dan nantinya kita akan berbicara melalui telepon umum." Sekali lagi Kristella mencium pipi Trevor. "Selamat tinggal, Treve. Jaga dirimu. Aku akan menjemputmu. Percayalah." Trevor menatap punggung kakaknya yang berjalan keluar dari pekarangan rumah Bibi Nicole. Digenggamnya kalung milik kakaknya. Dia tersentak saat mendengar suara panggilan Bibi Nicole. "Trevor!" Trevor memakai kalung itu dan masuk ke dalam rumah dan mendapati Bibi Nicole yang sedang duduk merajut dengan ditemani Paman Hyden dan dua anak laki-lakinya yang diketahui Trevor amat menyebalkan. Tanpa mengangkat mukanya, Bibi Nicole berkata datar. "Kamarmu di loteng. Bersihkan saja sendiri. Hanya ada satu tilam dan satu bantal. Tidak ada jendela hanya ada lubang udara kecil saja." Setelah berkata demikian, Bibi Nicole mengangkat matanya dan tersenyum. "Dan kau harus bangun lebih awal dari kami untuk membantu mengangkut air dari sumur dan waktu makanmu setelah kami selesai. Kau bisa bergabung dengan para pembantu di dapur." "Dan jangan lupa bahwa setiap kau pulang sekolah langsung ke peternakanku, membuat susu." Paman Hyden berkata sambil merokok. "Apakah kau paham, Trevor?" pria itu tersenyum. "Di sekolah aku tak mau mendengar hal-hal buruk tentangmu." "Dan terakhir! Kau harus mengerjakan PR kami, Treve!" Marcus dan Dylan menyerukan perintahnya pada Trevor yang berwajah kaku. "Kalau tidak Mom takkan membayarkan uang sekolahmu." Trevor mati-matian menahan kepalan tangannya melayang ke wajah jelek dua anak laki-laki di depannya itu. Dia masih mengingat kalimat kakaknya dan dia mengangguk kecil. Paman Hyden menegakkan punggungnya dan menatap pemuda di depannya itu yang berusaha menahan emosi akibat dari perintah anak-anaknya. "Aku tak mengijinkan adanya kekerasan di rumah ini. Mengerti Trevor Simons?" Trevor menghembuskan napasnya dan menjawab Paman Hyden dengan tenang. "Aku mengerti Paman." Bibi Nicole dan Paman Hyden menatap Trevor yang berdiri kaku. Wanita itu meletakkan rajutannya dan mengibaskan tangannya. "Naiklah ke loteng. Siapkan kamarmu di sana. Dan turunlah saat makan malam." Trevor mengangguk dan menuju tangga. Dia mendengar kalimat Marcus untuknya. "Tentunya setelah kami selesai makan." Sialan! Suatu hari aku harus mematahkan hidung peseknya! Trevor mengumpat dan menaiki tangga menuju loteng pengap yang akan menjadi kamarnya entah sampai kapan. Dia menutup pintu dan memperhatikan keadaan yang berantakan dan berdebu. Tak ada jendela dan hanya ada lubang udara di puncak loteng. Cukup untuk udara masuk dan dia bisa bernapas. Dia membenarkan kalimat kakaknya, dia harus kuat. Dia membuka bajunya dan mulai bekerja membenahi kamarnya yang sempit. Dia bisa membayangkan kehidupan berat yang akan dihadapinya mulai hari itu dan dia akan bertahan demi menunggu kakaknya menjemputnya. Dalam waktu itu dia akan mengatur emosinya dan menekan segala kemarahannya. Dia akan mematuhi perintah Bibi Nicole dan Paman Hyden, menunggu saat yang tepat meninju wajah kedua sepupunya. Memikirkan hal itu, Trevor menjadi bersemangat dan bersenandung dalam bahasa Aborigin seperti ayahnya saat mereka menjaring ikan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN