Langkah kaki Calya terdengar tergesa namun tetap sopan ketika ia memasuki ruangan kaca berlogo BMW di sisi kiri showroom. Di balik pintu transparan itu, seorang perempuan berusia awal tiga puluhan sedang meneliti beberapa dokumen pembelian. Rambutnya dikuncir rapi, wajahnya tegas namun elegan—itulah Claudia, manager showroom yang terkenal profesional dan perfeksionis.
Calya menarik napas sebelum mengetuk.
Tok. Tok.
Claudia mengangkat kepala. “Masuk.”
Pintu dibuka perlahan. “Bu Claudia…”
Claudia menatap Calya dari ujung kepala hingga kaki, tatapan khas seorang atasan yang sudah terbiasa mengukur kompetensi karyawan hanya dengan melihat gestur tubuhnya.
“Kamu tampak gugup,” ucap Claudia sambil menutup map di depannya. “Ada masalah dengan pelanggan?”
Calya menelan ludah. “Ada seorang pelanggan, Bu. Dia… ingin bicara langsung dengan Anda.”
Claudia menyandarkan tubuh. “Biasanya aku turun jika ada masalah besar atau permintaan pembelian dalam jumlah besar. pelanggan kategori mana dia?”
Calya ragu sesaat, namun ia akhirnya berkata, “Dia ingin membeli… dua unit.”
Claudia mengerutkan dahi. “Dua unit? Model apa?”
“BMW XM… dan BMW M4 Coupé.”
Claudia langsung bangkit dari kursinya. “Apa?”
“Ya, Bu. Dan… dia sudah memilih. Dia hanya menunggu Ibu.”
Claudia tak buang waktu. Ia merapikan blazernya dan berjalan cepat keluar ruangan. Calya mengikutinya di belakang, sementara detak jantungnya beradu dengan rasa gugup dan takut salah.
Ketika Claudia tiba di area showroom, ia langsung mengenali Alvaro—pemuda berwajah tenang dengan pakaian sederhana; sandal murah dan hoodie yang sudah pudar warnanya. Jika seorang manager biasa melihatnya, kemungkinan besar akan mengabaikan pemuda ini. Tapi tatapan Alvaro… berbeda.
Tenang. Tegas. Tidak gentar sedikit pun meski disambut tatapan ratusan juta rupiah di ruangan itu.
Claudia menyadari: ini bukan pelanggan sembarangan.
Dengan senyum profesional, Claudia menghampirinya.
“Selamat siang, Tuan,” ucap Claudia sambil mengulurkan tangan. “Saya Claudia, manager showroom BMW ini.”
Alvaro menyambut uluran itu singkat. Tidak ada basa-basi, tidak ada senyum berlebihan. Hanya aura wibawa yang membuat Claudia tanpa sadar menegakkan tubuhnya lebih tegap.
Dalam hati Claudia terlintas: Anak muda sekali… penampilannya bahkan lebih mirip mahasiswa. Apa dia benar-benar berniat membeli dua unit mobil?
Namun ia tetap menjaga senyum profesionalnya.
“Apa ada yang bisa saya bantu, Tuan?”
Alvaro menatapnya lurus. “Aku di sini untuk membeli dua mobil,” ujarnya tegas. “BMW XM dan BMW M4.”
Claudia mengangguk sopan. “Baik, Tuan. Kita bisa langsung melakukan proses”
“tapi sebelum itu,” potong Alvaro, suaranya lebih serius daripada sebelumnya, “ada satu hal yang ingin kusampaikan.”
Claudia terdiam. “Silakan, Tuan.”
“Mengapa para sales di sini tidak ramah?” Tatapan Alvaro beralih ke arah para sales senior yang kini mulai pucat pasi. “Aku melihat mereka mengolok-olok pelanggan di depan umum. Apa itu bagian dari SOP showroom kalian?”
Pertanyaan itu menghantam showroom seperti palu godam. Sunyi.
Tak ada yang berani bicara.
Claudia memalingkan kepala ke arah Calya, menduga dialah penyebabnya. “Kau..”
“Bukan dia,” Alvaro kembali memotong, nada bicaranya tajam namun tetap tenang. “Masalahnya bukan Calya. Justru dia satu-satunya yang bersikap profesional.”
Tatapan Alvaro beralih ke para sales senior yang tadi tertawa.
“Mereka yang menghina.”
Para sales senior itu menunduk panik. Maya, orang yang paling keras mencibir tadi, kini menelan ludah sambil menatap lantai seakan lantai bisa menyelamatkannya dari situasi memalukan ini.
Claudia menarik napas panjang—antara menahan amarah dan berusaha menjaga citra showroom di depan pembeli besar.
“Saya minta maaf sebesar-besarnya, Tuan,” ucap Claudia dengan suara lebih pelan namun penuh penekanan. “Kami akan menangani mereka sesuai SOP internal.”
“Bagus,” jawab Alvaro pendek.
Claudia kembali profesional. “Jika Tuan ingin melanjutkan pembelian, saya akan memprosesnya segera.”
“Tentu,” jawab Alvaro. “Lakukan.”
Claudia memberikan total harga. “Untuk dua unit BMW. XM dan M4, totalnya 9 miliar rupiah.”
Alvaro mengeluarkan ponselnya. Tak ada keraguan. Tak ada tanda-tanda ia sedang membual. Ia meminta nomor rekening perusahaan, lalu mengetik angka demi angka.
Transfer.
Beberapa detik…Notifikasi masuk di ponsel Claudia. Claudia memeriksa… dan terbelalak. “Tu… Tuan… Anda mentransfer 9,3 miliar. Ada kelebihan 300 juta.”
“Ya,” jawab Alvaro singkat sambil menoleh pada Calya. “Itu untuk gadis yang melayaniku dengan baik. Anggap saja bonus profesionalisme.”
Gemuruh kecil terdengar. Para sales senior yang tadi meremehkannya kini tampak seperti menelan jarum panas. 300 juta? Untuk sales baru? Hanya karena bersikap baik? Maya hampir jatuh saking syoknya. Kalau saja aku tahu… batinnya menjerit.
Sementara Calya berdiri mematung, bibirnya terbuka tanpa suara. Ia tidak percaya… sampai akhirnya ia menunduk sangat dalam.
“Terima kasih banyak, Tuan… saya benar-benar berterima kasih…” ucapnya dengan suara bergetar.
Claudia menunduk hormat. “Tuan… kami akan segera mengirimkan mobil ke alamat Anda. Silakan tulis alamatnya.”
Alvaro mencatat alamat rumah barunya. Claudia menerima catatan itu dengan penuh hormat.
“Semua akan kami kirim siang ini,” janji Claudia.
Alvaro menandatangani dokumen-dokumen pembelian, lalu berjalan keluar showroom.
Begitu ia meninggalkan ruangan, para sales senior benar-benar tak berani menatapnya. Bahkan suara mereka hilang sama sekali, berganti dengan rasa malu yang menusuk.
Begitu Alvaro melewati pintu keluar showroom, sebuah jendela holografis muncul tepat di depan mata.
[Anda mendapatkan +372 poin]
Alvaro tersenyum tipis.
Poin bertambah banyak. Saatnya mencari barang mahal lain.
Ia melangkah ke koridor mall yang ramai. Musik lembut, lampu-lampu mewah, dan aroma parfum mahal memenuhi udara.
Ia melintasi beberapa butik sampai matanya menangkap satu tempat:
Hermès & Luxury Jewelry
Tepat ketika ia hendak masuk ..
“Sayang… ternyata kamu di sini.”
Suara lembut seorang perempuan menggema dari sisi kanan.
Alvaro menoleh.
Seorang gadis cantik berjalan menghampirinya, wajahnya begitu familier. Rambut cokelat bergelombang, kulit bersih terawat, dan mata tajam penuh kecantikan alami.
Gadis itu langsung memeluk lengan kanan Alvaro.
“Mencari-cari kamu dari tadi,” ujarnya manja namun dengan suara sedikit bergetar.
Alvaro membeku.
Siapa?
Lalu ia mengenali wajah itu.
“Amanda…?” batinnya terkejut.
Amanda.
Gadis paling populer, tercantik, dan paling ditakuti di SMA-nya dulu.
Banyak cowok kaya mengejarnya… dan semuanya ditolak.
Amanda terkenal dingin. Sombong. Tak tersentuh.
Namun sekarang… Ia memeluk Alvaro seolah mereka pasangan.
“Hey… kamu Alvaro kan?” bisik Amanda perlahan. “Untuk kali ini… tolong aku.”
Alvaro menatapnya tajam.
“Apa yang terjadi?”
Belum sempat Amanda menjawab, suara berat terdengar dari belakang mereka.
“Ah… rupanya kau di sini.”
Alvaro menoleh. Seorang pria kurus dengan wajah pucat namun penuh keangkuhan berjalan ke arah mereka. Namanya Baron—pria berperilaku kasar, sering memaksakan diri pada perempuan, dan memiliki reputasi buruk di kalangan anak orang kaya.
Mata Baron hanya tertuju pada Amanda.
“Jangan takut, cantik,” katanya sambil tersenyum miring. “Aku cuma mau berkenalan… lebih dekat.”
Amanda menggigit bibir. Pegangannya pada lengan Alvaro semakin kuat.
“Dia pacarku,” ucap Amanda cepat. “Jadi pergilah.”
Baron menyipitkan mata.
“Pacarmu?” Ia memandang Alvaro dari atas ke bawah—melihat pakaian murah, sandal sederhana, dan penampilan yang sama sekali tak menunjukkan kemewahan. “Orang seperti dia?”
Baron tertawa kasar.
“Kau bercanda, kan? Lelaki miskin begini kau jadikan tameng?”
Baron mendekat. “Kalau kau memang pacarnya, buktikan. Kita beli tas Hermès paling mahal di sini.” Ia menunjuk boutique di depan.
Amanda menelan ludah. Ia tahu Alvaro dulu benar-benar miskin.
Mana mungkin dia berani? Tapi Alvaro… hanya berdiri diam.
Kerumunan mulai berkumpul. Beberapa orang mengangkat ponsel, merekam.
“Kalau takut, katakan saja,” sindir Baron. “Biar Amanda ikut denganku.” Amanda memandang Alvaro penuh cemas. Ia berbisik lirih, “Kalau tidak bisa, tidak apa-apa… kita pergi saja.”
Namun Alvaro hanya menarik napas pelan. Tatapannya berubah.
Gelombang ketenangan… dengan sedikit kebanggaan. Tidak ada jalan mundur sekarang. Tidak setelah geng Cobra. Tidak setelah pembelian mobil.
Tidak setelah semua tatapan meremehkan sepanjang hidupnya.
Dalam hati Alvaro berkata:
Baik. Kalau dunia ingin mengujiku… aku akan menjawabnya.
Adegan berhenti tepat saat Alvaro menatap Baron, Amanda, dan butik Hermès itu.