Kopi di cangkir putih porselen itu masih mengeluarkan uap hangat ketika Adit membuka obrolan dengan suara santainya yang khas. Pandu mengangkat alis, sedikit terkejut, tapi tak sepenuhnya tak menyangka. Mereka sudah cukup lama berbincang soal banyak hal—politik, keluarga, hingga masa depan bangsa yang seolah berjalan di atas jembatan rapuh. Tapi kalimat barusan—“menurut gue, Bang. Maju aja lah jadi presiden”—menyeruak seperti petir di langit mendung. Mengagetkan, namun di satu sisi seperti menggugah sesuatu yang sudah lama tertahan dalam d**a Pandu. Mereka bertiga duduk di pojok sebuah kafe yang cukup tersembunyi di sudut kota, jauh dari hiruk pikuk Jakarta. Tempatnya tenang, dinding-dindingnya dihiasi kayu tua dan foto-foto hitam putih tentang sejarah republik. Pandu memilih tempat itu b

