Setelah Pelantikan

1102 Kata
Tiga hari telah berlalu sejak pelantikan besar yang disaksikan seluruh warga Jakarta, namun gaungnya masih terasa sampai ke sudut-sudut ruang keluarga. Hari itu, matahari bersinar lembut menyinari kawasan perumahan klasik milik keluarga besar Adhiyaksa—sebuah rumah warisan yang berdiri kokoh di tengah halaman luas yang rindang, dengan pohon-pohon tua menjulang dan suara burung-burung yang kerap terdengar bersahutan dari kejauhan. Rumah itu milik opa mereka, Buyut Adhiyaksa, sosok tua yang dihormati dan disayangi, baik karena kebijaksanaannya maupun karena kebaikan hatinya yang tak lekang oleh waktu. Aziel baru saja turun dari mobil dinas kecil yang mengantarkannya ke sana. Ia tidak suka terlalu mencolok, dan sejak pelantikan ayahnya, ia lebih sering memilih diam dan menenangkan diri di balik dinding privasi yang ia bangun sendiri. Tapi hari ini, ia merasa ingin menghabiskan waktu bersama keluarganya, terutama sepupu-sepupunya yang selalu membuat suasana hidup dan hangat. Begitu melangkah masuk ke pelataran rumah, suara-suara riang dan gaduh sudah terdengar dari arah belakang rumah, di dekat taman kecil tempat mereka biasa bermain sejak kecil. Di sana, di antara meja kayu tua dan kursi-kursi panjang, para sepupunya sudah berkumpul. Faris, yang paling tua di antara mereka, duduk bersandar santai dengan sebatang lidi di mulutnya, gaya khasnya sejak SMP. Farrid, adiknya, tengah mengotak-atik mobil remote control yang sepertinya baru ia rakit dari potongan-potongan bekas. Dan tentu saja, trio kembar yang tak pernah terpisahkan—Fauzan, Fauzi, dan Fizzan—sibuk bermain lempar bola karet ke arah satu sama lain, sambil tertawa tak berhenti. Begitu melihat Aziel mendekat, mereka semua serempak melirik. Faris langsung bangkit dan menatapnya dengan senyum nakal. “Woi! Sok keren lu!” serunya, disambut tawa renyah dari saudara-saudaranya yang lain. Fauzi, yang selalu paling cepat menimpali, meniru gaya bicara Aziel saat diwawancarai wartawan. Ia berdiri tegak, mengangkat dagunya, lalu dengan suara yang dibuat dalam berkata, “Saya banyak belajar hari ini tentang arti menjadi pemimpin…” Lalu semua tertawa terbahak-bahak, bahkan Farrid sampai menjatuhkan remotnya karena tak bisa menahan tawa. Aziel hanya bisa mengangkat alis, lalu menggeleng sambil tertawa. Ia tahu ini bukan ejekan sungguhan. Ini cara khas sepupu-sepupunya menunjukkan rasa sayang. “Heh, daripada lo pada malu-maluin diri sendiri di depan kamera, mending keliatan keren dikit lah,” sahutnya sambil menjatuhkan diri di bangku kosong. “Wih, dia jawab, bro!” teriak Fauzi. “Jawabannya pun... sangat gubernur sekali,” tambah Fauzan sambil tertawa. Obrolan pun mengalir deras seperti sungai kecil yang tak pernah kering. Mereka mengenang masa kecil, saat-saat mereka bermain petak umpet di rumah yang sama ini, naik pohon mangga di belakang rumah, atau diam-diam mengambil permen dari lemari dapur tanpa sepengetahuan opa. Kini mereka semua tumbuh, sebagian sudah remaja, sebagian hampir dewasa. Tapi satu hal tak berubah: hubungan mereka tetap lekat, tetap hangat, dan selalu dipenuhi tawa serta candaan yang kadang kelewat batas, tapi tak pernah menyakiti. Aziel, meski disorot kamera dan disebut-sebut di media sebagai “calon pemimpin masa depan,” tetap merasa paling dirinya saat bersama mereka. Di sini, ia bukan anak gubernur, bukan anak CEO terkenal, bukan anak satu-satunya dari pasangan paling disorot di ibu kota. Ia hanya Aziel—sepupu keempat, tukang protes, dan dulu sering kalah saat main gundu. Dan di tengah-tengah canda tawa itu, dari balik jendela rumah, seorang lelaki tua berambut putih dan berkacamata bundar memperhatikan mereka dengan sorot mata penuh kebanggaan. Buyut Adhiyaksa tersenyum pelan. Hatinya hangat melihat cucu-cucunya tumbuh dengan penuh semangat dan akrab. Tapi jauh di relung hatinya, ia tahu bahwa dunia luar tak selamanya akan membiarkan tawa ini terus utuh. Sebab diam-diam, sejarah keluarganya menyimpan sesuatu yang belum diungkap. Sesuatu yang, cepat atau lambat, akan datang menuntut Aziel memilih: tetap menjadi dirinya sendiri, atau menjadi seseorang yang siap meneruskan warisan yang lebih besar dari sekadar jabatan dan nama belakang. Tapi hari itu, mereka belum tahu. Mereka hanya tertawa. Belum tahu bahwa tawa itu... mungkin akan segera digantikan oleh rahasia yang mengubah segalanya. Suasana sore di rumah besar keluarga Adhiyaksa terasa semakin nyaman, dibalut cahaya jingga matahari yang menyusup di antara celah daun pepohonan tua. Di halaman belakang, suara tawa para sepupu masih menggema, bercampur dengan suara cicit burung dan desir angin yang menampar pelan dedaunan. Aziel duduk setengah bersandar di bangku kayu panjang sambil memainkan kaleng minuman di tangannya. Tawa sepupu-sepupunya mulai mereda, masing-masing sibuk dengan aktivitas kecil, dan suasana berubah jadi lebih santai. Namun, pikirannya teralihkan. Ada satu sosok yang belum ia lihat sejak tadi. "Lara mana?" tanyanya, nyaris refleks. Suaranya datar, tapi sorot matanya menyapu sekeliling halaman, seolah berharap menemukan sosok itu sedang berdiri di antara pepohonan atau muncul dari balik pintu belakang. Lara. Sepupu seumuran yang paling sering membuat hari-harinya tak biasa. Gadis itu seperti teka-teki yang tak pernah selesai, penuh kejutan dan misteri. Kadang cerewet, kadang dingin. Kadang menjengkelkan, tapi kadang terlalu menyenangkan untuk diabaikan. Sejak kecil, mereka berdua hampir selalu bersaing, bertengkar, lalu berdamai lagi seperti tak pernah terjadi apa-apa. Tapi akhir-akhir ini, ada yang berubah. Entah dari Lara, atau dari dirinya sendiri. Faris mengangkat bahu sambil mengunyah potongan keripik singkong. “Paling di kolam renang. Dia tadi sempat bawa buku, bilang mau baca sambil nyebur kaki.” Aziel mengangguk pelan. Tak berkata apa-apa, hanya bangkit dari duduknya dan menyusuri jalan setapak kecil yang membelah taman, menuju area kolam renang yang terletak di bagian belakang properti. Jalan setapak itu dinaungi pohon beringin tua yang rimbun, dan setiap langkah terasa seperti memasuki ruang yang sedikit lebih sunyi. Hening. Hanya ada suara gemerisik daun dan hembusan angin yang membuat daun kering beterbangan. Ketika ia mendekati kolam, suasana terasa berbeda. Tidak ada suara tawa, tidak ada percikan air. Hanya keheningan yang terasa agak aneh. Dari kejauhan, ia bisa melihat permukaan kolam yang tenang, hampir terlalu tenang. Cahaya sore memantul di airnya, menciptakan bayangan pohon dan langit jingga di atasnya. Tapi di tengah pantulan itu, matanya menangkap sesuatu. Siluet seorang perempuan. Rambut panjang terurai tampak samar-samar mengapung. Ia terlihat berada di bagian dalam kolam, tak bergerak. Hanya rambutnya yang perlahan melambai di air, seolah tertiup arus halus di bawah permukaan. Aziel menghentikan langkah. Jantungnya berdetak lebih cepat. Pandangannya menajam, matanya memperhatikan sosok itu dengan saksama. “Lara?” bisiknya, nyaris tak terdengar. Namun sosok itu tak merespons. Tak berpaling. Tak juga bergerak. Aziel menelan ludah. Setengah berlari, ia mendekat ke tepi kolam. Dan saat ia tiba di pinggiran, baru ia sadari—rambut itu, siluet itu, baju yang dikenakan... semuanya tampak seperti Lara. Tapi kenapa ia tak muncul ke permukaan? Langkah Aziel mundur satu detik, lalu maju dua langkah lebih cepat. Matanya melebar. Udara sore yang tadi hangat tiba-tiba terasa dingin menusuk kulit. Ada sesuatu yang tidak biasa. Ada sesuatu yang salah. Dan itu... bukan hanya sekadar Lara yang sedang berenang. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN