Pintu Tidur

1038 Kata
Lukisan itu akhirnya diangkat oleh dua pembantu rumah tangga yang baru direkrut dari staf rumah dinas. Dengan gerakan hati-hati tapi terlihat gugup, mereka membawa benda tua dan berat itu keluar dari ruang tamu, melintasi lorong panjang menuju gudang penyimpanan yang terletak di bagian belakang rumah. Tak satu pun dari mereka berani bertanya atau berkomentar tentang kejadian aneh yang barusan mereka saksikan—mungkin karena rasa segan kepada tuan rumah, atau mungkin karena perasaan dingin yang menggantung di udara sejak lukisan itu jatuh. Fasha masih memegangi lengan Pandu, pandangannya sesekali melirik ke arah lantai marmer tempat pecahan kaca berserakan tadi. Kini sudah dibersihkan, tapi bekasnya seakan masih ada di sana—di udara, di dinding, di perasaan mereka. Pandu menyentuh punggung tangan istrinya, lalu mengangguk ke arah tangga melingkar di sisi ruang utama. "Ayo, kita lihat ke atas." Fasha mengangguk pelan. Mereka naik perlahan, menelusuri tangga berlapis kayu jati tua yang masih mengkilap meski sudah berusia puluhan tahun. Di dinding tangga tergantung foto-foto gubernur terdahulu dan kegiatan-kegiatan resmi. Namun di antara foto-foto itu, ada ruang kosong. Fasha sempat berhenti sejenak dan menunjuknya. "Di sini nanti foto kamu akan digantung." Pandu tersenyum kecil. "Mudah-mudahan pas digantung, nggak jatuh juga kayak lukisan tadi." Fasha tertawa kecil, meski suaranya terdengar setengah gelisah. Lantai dua rumah dinas itu penuh dengan lorong dan kamar-kamar besar bergaya kolonial: langit-langit tinggi, jendela-jendela besar dengan tirai putih, dan lantai parket yang mengkilap. Mereka membuka satu per satu pintu kamar—ada kamar tamu, kamar staf, dan akhirnya, kamar tidur utama yang akan menjadi tempat istirahat mereka selama lima tahun ke depan, atau lebih jika takdir politik berkata lain. Kamar itu luas, berjendela tiga menghadap taman belakang. Di salah satu sudutnya berdiri meja rias antik dengan cermin oval besar, sementara di sisi lainnya ada lemari kayu tua yang masih berdiri kokoh. Tempat tidur dengan headboard tinggi berlapis kain beludru kelabu terlihat megah namun dingin. Hawa dalam kamar terasa agak sunyi, seolah menyimpan gema dari percakapan masa lalu yang tertinggal di dinding-dindingnya. Fasha berjalan ke arah jendela, membuka tirai, lalu menarik napas dalam. "Aku yakin Aziel tak akan mau pindah ke sini." Pandu yang sedang membuka lemari hanya tertawa, suaranya dalam dan hangat. "Anak itu? Iya, pasti langsung nolak. Baru masuk kamar aja pasti langsung komentar, ‘Ini rumah apa museum, sih?’” "Atau, ‘Kenapa aromanya kayak buku perpustakaan tua, Ma?’" timpal Fasha meniru nada Aziel sambil menahan tawa. Pandu berjalan ke arah istrinya, melingkarkan lengan di pinggangnya dari belakang. Ia menunduk, mencium pelipis Fasha dengan lembut. "Tapi kita di sini bukan untuk membuat Aziel nyaman. Kita di sini untuk memimpin. Untuk menjalankan amanah. Dia akan mengerti nanti." Fasha mengangguk pelan, meski wajahnya masih menyiratkan keraguan. "Rumah ini… besar sekali. Tapi kenapa terasa sepi ya?" Pandu tak langsung menjawab. Ia menatap sekeliling kamar, lalu matanya tertuju pada cermin oval di meja rias. Untuk sepersekian detik, ia merasa cermin itu memantulkan sudut ruangan yang… tak sama. Bayangannya terasa sedikit miring, seperti menyimpan sisi lain dari ruang ini. Ia mengerjap, lalu menyipitkan mata. Tapi pantulannya sudah kembali normal. "Mungkin kita hanya butuh waktu. Butuh suara. Kehidupan. Tawa." katanya akhirnya. Fasha berbalik, menyentuh d**a suaminya. "Atau kita butuh keberanian. Karena rumah ini... seperti menyimpan rahasia." Pandu menatap istrinya dalam-dalam, lalu mengangguk pelan. Namun sebelum mereka sempat berkata lebih jauh, terdengar suara langkah kecil dari lorong luar. Lalu, sekejap… suara pintu kamar di ujung lorong menutup pelan. Seperti ditiup angin. Tapi mereka tak ingat membuka pintu itu tadi. Mereka saling menatap. "Itu kamar siapa ya?" tanya Fasha pelan. "Nanti kita cek." balas Pandu, meski pikirannya langsung waspada. Namun saat mereka melangkah keluar kamar, lorong itu terasa lebih panjang dari sebelumnya. Lorong itu seolah mengulur lebih panjang daripada sebelumnya, seperti dalam mimpi yang tak kunjung selesai. Setiap langkah Fasha dan Pandu bergema pelan di atas lantai kayu tua yang mengeluh lirih di bawah pijakan mereka. Dinding-dinding rumah dinas itu memantulkan cahaya sore dari jendela, menciptakan siluet yang tampak bergerak setiap kali mereka menoleh. Pintu yang barusan menutup sendiri itu kini berdiri diam di ujung lorong, seolah tak pernah bergeming. Plakat kuningan yang tertempel di atasnya kusam, hampir tak bisa dibaca jika tak didekati. Tapi begitu mereka berdiri tepat di depannya, tulisan itu menjadi jelas. Satu kata. "TIDUR." Bukan “kamar tidur”. Bukan “ruang istirahat”. Hanya satu kata: TIDUR. Dan ada sesuatu dalam pilihan kata itu yang terasa... salah. Fasha mengusap lengan atasnya yang tiba-tiba merinding, meski udara tidak sedingin itu. "Kenapa cuma ‘Tidur’? Siapa yang kasih nama kamar kayak begini?" "Mungkin dulu ini kamar istimewa. Atau... dibuat untuk tamu khusus?" jawab Pandu, mencoba rasional, meski nadanya ragu. Gagang pintu dari kuningan tua tampak sedikit aus, seperti pernah sering disentuh, meski jelas belum lama ini kamar itu tidak digunakan. Ia mencobanya pelan—terkunci. "Terkunci. Mungkin kita perlu minta kuncinya ke pengelola rumah." Tepat saat Pandu hendak menarik kembali tangannya, terdengar suara dari balik pintu. Tok. Tok. Tok. Tiga ketukan. Bukan dari luar. Tapi dari dalam. Fasha membeku. Matanya langsung mencari mata Pandu yang juga terdiam kaku. "Apa itu...?" Dan kemudian, terdengar sesuatu yang lebih membuat jantung mereka merosot. Seseorang—atau sesuatu—berbisik dari balik pintu, pelan, sangat pelan, nyaris menyatu dengan suara desau angin. “Jangan bangunkan dia...” Pandu langsung mundur, berdiri melindungi Fasha, namun mereka tak sempat bergerak lebih jauh, karena tepat saat itu, plakat kuningan yang bertuliskan “TIDUR” jatuh dengan suara denting nyaring ke lantai. Mereka menatap ke bawah. Di balik plakat itu, tertulis sesuatu yang lebih lama tersembunyi. Huruf-huruf goresan tangan, nyaris pudar, tapi masih bisa terbaca... “…karena jika ia bangun, yang lain akan ikut.” Fasha menutup mulutnya, gemetar. Pandu menarik napas dalam, lalu menggenggam tangan istrinya lebih erat. "Apa ada hubungannya dengan gubernur sebelumnya?" "Ini sudah lama ada, Pak. Memang dibiarkan kosong. Sejauh ini pun tak ada yang berani membukanya." Pansu mengangguk-angguk. "Kalau begitu, tutup saja lorong ini. Agar tak ada yang datang ke area ini bagaimana pun caranya." Si staf mengangguk dan sepasang suami-istri ini pergi dari sana. Fasha sempat menoleh kagi ke arah lorong itu. Memang agak membuatnya merinding sekaligus bertanya-tanya. Kenapa rumah ini menjadi begitu menarik baginya? Walau ya agak seram. Anaknya yang agak oenakut soal horor ini pasti tak akan betah. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN