Bau sore yang lembap menyertai langkah-langkah mereka kembali ke rumah besar sang buyut. Langit sudah memerah gelap, dan suara adzan magrib menggema di kejauhan, mengiringi langkah tergesa Aziel yang kini sedikit membungkuk, seperti ingin menunjukkan bahwa dirinya benar-benar kesakitan.
Padahal jelas—Larin tahu itu akal-akalan. Bahkan bukan hanya dia, para sepupu lelaki lain juga tahu betul: ini hanya modus. Tapi Lara tetap saja terpancing.
"Ra, gue pusing banget. Kayaknya gegar otak ringan, deh," kata Aziel dengan wajah memelas sambil memegangi pelipisnya yang memang masih tampak merah dan lecet.
Lara menoleh cepat dengan tatapan khawatir. “Elo serius?”
Aziel mengangguk dramatis, bahkan sedikit menyender ke arah bahunya.
Fauzan yang berjalan di belakang mereka nyaris tertawa keras. Faris menyikutnya, menahan suara. Sementara Larin berjalan di belakang semua orang sambil menggeleng pelan, mulutnya komat-kamit sendiri. “Drama. Satu rumah isinya orang dramatis semua.”
Begitu sampai di teras belakang rumah besar itu—rumah peninggalan Opa Adhiyaksa yang sudah seperti istana tua di tengah rerimbunan pohon-pohon besar—Aziel langsung merebahkan diri ke bale bambu. Tangannya menutupi mata, berusaha terlihat lemas. Lara, tanpa banyak bicara, langsung menuju lemari di pojok dapur, mengambil kotak P3K.
Larin berdiri di samping sambil bersedekap, menatap pemandangan itu seolah sedang menonton sinetron.
“Siap disuntik, Tuan Muda?” ejeknya.
Aziel hanya mendengus. “Yang ini jangan ikut nimbrung deh, ganggu aura kesembuhan gue.”
“Kesembuhan? Ini bukan klinik alternatif!” Larin bersungut, tapi langkahnya menjauh juga.
Lara kembali dengan kapas, antiseptik, dan plester luka. Dengan hati-hati ia duduk di sebelah Aziel dan mulai membersihkan luka di pelipisnya. Aziel berusaha menahan desah, tapi raut wajahnya memperlihatkan jelas rasa nyeri.
“Perih ya?” bisik Lara, suaranya pelan, nyaris seperti desiran angin.
Aziel mengangguk kecil, tapi mulutnya mengangkat sedikit. Senyum setengah malu, setengah senang.
Momen itu mendadak terasa lebih hening dari sebelumnya. Bahkan suara tawa kecil para sepupu yang kini memilih duduk di dalam rumah tak lagi terdengar. Mata Aziel menatap Lara lekat-lekat. Begitu dekat, ia bisa menghitung bulu matanya.
“Lo sering ngelakuin ini?” gumam Aziel.
“Apa?” tanya Lara tanpa menoleh.
“Ngerawat cowok yang berdarah-darah gitu…”
Lara mengangkat alisnya, lalu menatapnya dengan tatapan datar. “Gak sering. Baru sekarang.”
“Berarti… gue spesial dong?”
Lara diam sesaat. Tapi kemudian matanya melirik sekilas, bibirnya menahan senyum.
“Enggak juga.”
Aziel pura-pura mengaduh lebih keras. “Aduh! Sakit banget, serius!”
Lara tak tahan lagi—ia tertawa pelan. “Drama.”
Tapi sebelum suasana jadi terlalu manis, terdengar suara langkah kaki dari arah dapur. Larin masuk kembali sambil membawa segelas air putih dan handuk kecil. “Kalau pingsan beneran, kasih ini. Tapi kalau cuma pura-pura, siram aja mukanya.”
“Gue masih sadar, Rin!” balas Aziel.
“Sayang.”
“Lho, kok sayang?”
“Sayang kalau gue buang airnya ke muka lo.”
Lara tertawa lagi, kali ini lebih lepas.
Di kejauhan, di lorong yang menuju ruang tengah rumah itu, seorang pembantu tua berdiri. Ia memperhatikan dari balik tirai, lalu berjalan cepat ke arah dapur. Langkahnya tergesa.
Di tangan kirinya, ia memegang sesuatu yang baru saja ditemukan saat membersihkan kamar depan. Sebuah benda kecil, hitam, nyaris tak terlihat jika tidak diperhatikan seksama.
Bukan kunci.
Bukan flashdisk.
Tapi… semacam alat perekam mini.
Dan… benda itu masih menyala.
Lampu kecilnya berkedip pelan.
Ia menelan ludah, bingung harus memberikannya pada siapa.
Tapi satu hal pasti:
Seseorang sedang mengawasi keluarga Adhiyaksa.
Dan mereka tidak bermain-main.
***
Usai magrib, langit menggantung kelabu di atas pemukiman padat di sisi timur kota. Lampu-lampu jalan yang mulai menyala seolah hanya mampu memantulkan bayangan tembok-tembok kusam dan kabel-kabel semrawut yang menggantung seperti jaring laba-laba raksasa. Di teras masjid kecil, anak-anak yang tadi siang sempat membuat kekacauan di lapangan komplek elit kini duduk bersila, sebagian masih bersarung, lainnya sudah melepas peci, namun wajah mereka tegang, tak seperti biasa setelah salat magrib.
Tama duduk di tengah, tangannya memainkan sesuatu di dalam kantong bajunya. Sebuah benda kecil, hitam, berbentuk bulat pipih—hampir seperti kancing baju biasa. Tapi mereka semua tahu, benda itu jauh lebih dari sekadar kancing. Itu adalah chip. Dan bukan sembarang chip.
Chip itu dititipkan oleh seorang pria asing, bertubuh tegap, kulitnya gelap, mengenakan jaket hitam dan topi. Ia muncul tiba-tiba pagi tadi di dekat warung Uyak, tempat anak-anak biasa nongkrong sebelum bermain. Ia menawarkan mereka uang—satu juta rupiah. Uang tunai, pecahan lima puluh ribuan. Tersusun rapi di dalam plastik bening.
"Taruh ini di jaket anak gubernur itu. Gak perlu deket-deket. Asal nempel, udah cukup," katanya datar, tapi tegas.
Anak-anak kampung itu, tentu saja, tergiur. Satu juta buat mereka bukan main. Itu bisa beli sepatu basket impian, traktir temen, atau bahkan bawa pulang beras untuk sebulan. Apalagi cuma disuruh "nempel chip". Terlihat mudah.
Tapi kenyataan tidak semudah itu.
"Aduh! Harusnya lo yang tempel ke dia! Bukannya malah main kasar segala!" seru Nopal, salah satu anak yang paling cerewet.
"Gue kira kalau Aziel jatuh, gue bisa nyelipin chip-nya ke bajunya!" bela Tama, masih memeluk lutut.
"Ya terus berhasil enggak?"
"Ya… enggak. Gagal. Aku panik, dia keburu bangun. Malah berdarah lagi tuh anak."
"Ya pantes! Lo main kayak orang ngamuk!"
"Kita cuma dikasih satu chip, loh!" seru Riyo yang dari tadi diam. "Sekarang satu-satunya alat itu malah masih lo pegang! Kita harus balikin!"
"Balikin? Ke siapa? Orangnya udah pergi!"
Mereka terdiam. Di sekitar mereka, suara ceramah kecil dari dalam masjid sayup terdengar, tapi tak satu pun memperhatikan. Bayang-bayang kekacauan siang tadi masih menggantung di kepala. Terutama Tama. Ia masih merasakan bekas luka di telapak tangannya akibat terjatuh saat laga makin kacau. Tapi bukan lukanya yang membuatnya gelisah. Ia merasa… diawasi.
"Menurut kalian… itu beneran cuma chip biasa buat sadap suara, ya?"
"Ya mana gue tau! Tapi ngapain juga dia nyuruh kita tempelin ke bajunya Aziel?"
"Kalo ini ketauan, bisa masuk TV kita," bisik Nopal ketakutan.
"Atau masuk bui," timpal Riyo, lebih pelan.
Tama menggenggam chip itu lebih erat. Cahaya dari masjid menyinari wajahnya yang mendadak pucat.
"Apa kita buang aja?"
"Jangan! Gila lo? Nanti kita dikejar!"
Sunyi. Hanya ada suara motor lewat dan lolongan anjing dari kejauhan.
Lalu, tiba-tiba, Tama berdiri. Ia memandang ke jalan sempit yang mengarah ke gang utama.
"Gue mau balikin ini," katanya tegas.
"Ke siapa? Orangnya udah gak ada!"
Tama tidak menjawab. Ia hanya membuka saku celananya, menyimpan chip itu kembali dengan hati-hati, lalu berbalik arah.
Anak-anak lain saling pandang. Nopal tampak ragu. Riyo bahkan mulai mengemasi sandalnya, hendak mengejar.
Tapi sebelum mereka bisa melangkah, terdengar suara dari lorong gelap di sisi masjid.
“Jangan dibuang. Jangan dibalikin. Itu sudah milik mereka sekarang.”
Suara itu datar. Dingin. Tak seperti suara pria manapun yang mereka kenal.
Mereka serempak menoleh. Tapi lorong itu kosong. Hanya ada bayangan samar di balik asap knalpot dan lampu kuning remang.
Namun Tama melihatnya lebih jelas. Sosok itu berdiri diam. Hitam. Dan… tersenyum.
Senyum yang tidak membawa damai.
Senyum yang berarti: ini baru permulaan.
"Masih inget kan sama saya?"
Mereka meneguk ludah.
***