Pagi itu suasana kantor masih sepi. Matahari baru saja naik, sinarnya menembus kaca jendela besar, menimpa meja-meja yang masih rapi tanpa tumpu kan berkas. Leon sudah tiba lebih awal, duduk di kursi kerjanya sambil membuka laptop. Kemeja biru mudanya tampak segar, dasinya terikat rapi, aura wibawa seorang atasan benar-benar melekat pada dirinya.
Shinta, karyawan paling terkenal karena sikap agresif dan terlalu percaya diri, melangkah masuk dengan hak tinggi yang berderap-derap. Senyumnya penuh arti, dan tanpa ragu ia menyeret salah satu kursi dan duduk di samping Leon, tangannya dengan berani memijat bahu pria itu.
"Pak Leon, rajin banget sih pagi-pagi sudah di sini," ucap Shinta dengan nada manja. Jemarinya menekan pelan otot bahu Leon. "Hati-hati lho, kalau rajin banget bisa bikin saya tambah jatuh hati."
Leon tersenyum kecil, tidak menegur, hanya menggeleng sambil tetap menatap layar laptop.
"Kerjaan banyak, Shinta. Kalau saya datang telat, nanti malah keburu ketumpuk. Kamu ini, ada-ada saja."
Shinta terkekeh, lalu mendekatkan wajahnya sedikit ke telinga Leon.
"Atau jangan-jangan Bapak sengaja datang pagi biar bisa berduaan sama saya duluan? Wah, saya harus tersanjung, nih."
Leon menoleh sekilas, senyumnya tipis namun matanya teduh.
"Kalau saya sengaja, kamu mau apa?"
Shinta tertawa lepas, lalu menepuk bahu Leon. "Aduh, Pak… jangan godain balik dong. Bisa-bisa saya beneran kelewat batas."
Canda-canda nakal itu sudah menjadi kebiasaan Shinta. Ia memang terkenal berani, dan Leon, entah karena bijak atau memang tak ingin memperkeruh suasana, jarang menegurnya.
Pukul delapan kurang lima menit, Dinda berlari kecil ke arah pintu kantor. Nafasnya memburu, rambutnya sedikit berantakan karena terburu-buru
menembus kemacetan pagi. Begitu
masuk, matanya terbelalak—kursinya ternyata sedang diduduki oleh Shinta.
" suara Dinda lembut, hampir berbisik. "Itu kursi saya."
Shinta mendengus, bangkit dengan gerakan penuh kesal. Dengan tatapan menyorot, ia menyerahkan kursi itu sambil menyeringai sinis.
"Makanya jangan kesiangan, Nona. Baru juga karyawan baru, sudah enak-enakan datang telat. Jangan kebiasaan, ya!"
Kursi itu didorong dengan kasar ke arah Dinda. Suara gesekan rodanya menimbulkan decit tajam, membuat beberapa karyawan lain yang baru masuk menoleh.
Dinda membeku sejenak, pipinya panas, tapi ia tidak menjawab. Ia hanya menunduk, menarik kursinya perlahan, lalu duduk dengan hati-hati.
Leon yang sejak tadi memperhatikan langsung menegur dengan nada tenang, meski matanya menyimpan iba.
"Shinta, sudah. Jangan berlebihan. Semua orang juga pernah kena macet. Tidak perlu sampai begitu."
Shinta melipat tangan di d**a, cemberut namun tetap menjawab, "Saya cuma ngingetin, Pak. Kalau dibiarkan, nanti makin seenaknya."
Dinda menggigit bibir, menunduk lebih dalam. Ia tidak ingin suasana semakin panas. Tangannya meremas rok kerjanya sendiri, berusaha menahan perasaan sesak di d**a. Dengan suara lirih ia berkata,
"Maaf, Pak Leon… saya hampir telat. Jalanan macet parah. Saya akan berusaha datang lebih awal mulai besok."
Leon menghela napas, lalu menatap Dinda dengan tatapan serius.
"Peraturan di kantor ini jelas, Din. Siapa pun yang telat, dendanya langsung dipotong dari gaji bulanan. Lima puluh ribu per hari. Itu berlaku untuk semua karyawan, tanpa terkecuali."
Dinda mengangguk, meski hatinya makin ciut.
"Baik, Pak. Saya mengerti. Maaf sekali. Saya janji, ke depannya akan lebih disiplin."
Suasana meja Dinda terasa dingin setelah itu. Shinta masih saja menyeringai, puas karena berhasil membuat Dinda tampak kecil. Dinda menahan air mata yang hampir pecah, menatap layar komputer yang buram oleh penglihatannya yang berkaca-kaca.
Dalam hatinya ia bergumam, "Kenapa aku selalu salah di mata mereka? Padahal aku hanya berusaha bekerja sebaik-baiknya. Aku tak ingin jadi bahan tertawaan…"
Di balik meja kerjanya, Leon sesekali melirik Dinda. Ada rasa iba, juga kagum pada sikapnya yang memilih diam, bukan membalas. Dalam hati Leon tahu, wanita itu menyimpan ketegaran yang berbeda dari Shinta—tegar yang sunyi, yang menyakitkan.
Dinda masih duduk terpaku di kursinya. Jari-jarinya kaku di atas keyboard, padahal layar komputer baru saja menyala. Tatapannya kosong, hanya pantulan bayangan wajah letih yang ia lihat. Sebagai seorang istri dan ibu, ia sudah terbiasa bangun paling pagi, menyiapkan sarapan untuk suami dan bekal untuk anaknya. Tapi pagi ini, kemacetan seakan merenggut semua usahanya, membuatnya dicap ceroboh di depan semua orang.
Ia menunduk lebih dalam, menyembunyikan mata yang berkaca-kaca. Aku harus kuat. Aku bukan hanya Dinda seorang karyawan baru… aku seorang ibu. Aku tidak boleh terlihat lemah. Kalau aku goyah, keluargaku juga akan ikut merasakan.
Dari mejanya, Leon diam-diam memperhatikan. Ada sesuatu di wajah Dinda yang membuat hatinya terasa berat. Bukan sekadar karena dia datang terlambat, tapi karena sikap pasrah yang nyaris menyayat. Berbeda sekali dengan Shinta yang selalu meledak-ledak, Dinda justru memilih diam, menelan semua kata.
Leon meraih cangkir kopinya, bangkit perlahan, dan berjalan mendekat dengan dalih biasa. Ia menaruh cangkir itu di meja Dinda sambil berkata pelan, hanya bisa didengar olehnya.
"Din, kamu sudah sarapan?"
Dinda terkejut, menoleh cepat, lalu buru-buru tersenyum sopan meski matanya masih sembab.
"Sudah, Pak. Terima kasih."
Leon mengangguk, suaranya tetap tenang.
"Kalau begitu bagus. Jangan sampai kerja dengan perut kosong. Kantor ini memang punya aturan ketat, tapi bukan berarti kamu harus menyiksa diri. Saya tahu kamu pasti sudah berusaha sebaik mungkin."
Dinda menelan ludah, dadanya hangat sekaligus getir. Perhatian kecil itu terasa begitu besar setelah tadi ia dibentak. Ia mengangguk, lalu menunduk.
"Iya, Pak. Saya mengerti. Terima kasih… sudah mengingatkan."
Leon hanya tersenyum tipis, lalu membahas tentang pekerjaan. Ia tahu tidak boleh terlalu jauh menunjukkan keberpihakan, apalagi di depan karyawan lain. Tapi dalam hati, ada rasa simpati yang tak bisa ia tolak.
Sementara itu, Shinta yang duduk tak jauh dari mereka hanya melirik dengan mata menyipit. Senyumnya sinis, seperti menandai sesuatu.
“Dinda, hari ini saya akan tunjukkan beberapa produk perumahan komersil kita. Kamu harus tahu betul detailnya, karena marketing properti bukan sekadar menawarkan rumah—tapi juga membangun kepercayaan,” ucap Leon.
Dinda mengangguk cepat, mencatat.
“Baik, Pak. Saya siap belajar.”
Leon tersenyum tipis, "kita berangkat sekarang."
Mereka berjalan menyusuri area parkir yang luas, sambil Leon menunjuk poster besar bergambar site plan.
“Untuk pemasaran, jangan hanya fokus pada brosur atau iklan online. Kunci utamanya adalah membangun hubungan. Dengarkan apa kebutuhan klien—apakah untuk investasi, untuk disewakan, atau untuk ditinggali sendiri. Kalau mereka ingin investasi, tekankan soal lokasi yang dekat pusat kota. Kalau untuk hunian pribadi, tonjolkan suasana tenang dan keamanan.”
Dinda mengangkat wajahnya, matanya berbinar karena merasa banyak mendapat ilmu baru.
“Berarti, pendekatannya berbeda tergantung kebutuhan calon pembeli ya, Pak?”
“Betul sekali,” jawab Leon sambil tersenyum. “Ingat, properti itu produk mahal. Orang tidak akan langsung percaya hanya dengan satu kali penjelasan. Kamu harus sabar, profesional, dan memberi kesan bahwa kita menjual solusi, bukan sekadar bangunan.”
Leon kemudian mengajaknya masuk ke mobil perusahaan. Sopir sudah menunggu.
“Hari ini saya ajak kamu keliling ke tiga lokasi perumahan komersil kita. Semuanya berada di pusat kota. Ada di Jalan Sudirman, Jalan Diponegoro, dan satu lagi dekat kawasan bisnis Soekarno Hatta. Kamu perhatikan baik-baik bagaimana cara saya menjelaskan nanti, supaya besok kalau kamu sudah pegang klien sendiri, kamu bisa percaya diri.”
Mobil melaju pelan, dan di kursi belakang, Dinda menatap keluar jendela, mencatat setiap arahan Leon di benaknya. Hatinya berdesir—bukan karena kagum berlebihan, melainkan karena ia benar-benar ingin bisa mengimbangi dunia baru ini. Ia sadar, perannya bukan hanya sebagai istri dan ibu di rumah, tetapi juga sebagai karyawan yang harus membuktikan dirinya di kantor.
--
Mobil berhenti di sebuah kawasan yang baru saja dikembangkan. Di kanan-kiri jalan, deretan rumah bergaya modern minimalis tampak berdiri rapi. Cat dindingnya putih bersih, dipadukan dengan aksen kayu pada fasad, memberi kesan elegan sekaligus hangat.
Dinda menatap kagum. “Wah… jadi ini salah satu proyek kita, Pak?”
Leon turun lebih dulu, lalu mengangguk. “Betul. Ini namanya Green Valley Residence, lokasi premium di Jalan Sudirman. Karena posisinya dekat pusat bisnis, harganya tentu lebih tinggi dibanding proyek kita yang lain.”
Mereka berjalan di sepanjang jalan cluster, Leon menunjuk ke arah salah satu unit contoh.
“Harga unit standar di sini mulai dari 1,6 miliar. Kalau tipe hook, yang ada di pojokan dengan tanah lebih luas, bisa sampai 2,2 miliar. Kamu harus jelaskan detail ini dengan percaya diri. Calon pembeli biasanya akan membandingkan dengan kompetitor.”
Dinda mengangguk serius, lalu membuka buku catatannya.
“Baik, Pak. Jadi saya harus paham benar spesifikasi dan kisaran harganya dulu sebelum bisa menjelaskan, ya?”
“Betul,” jawab Leon. “Sekarang coba kita simulasi. Anggap saya calon pembeli, dan kamu agen pemasarannya. Coba tawarkan rumah ini ke saya.”
Dinda sempat gugup, tapi mencoba mengatur napas. Ia berdiri tegak, menatap Leon dengan senyum profesional.
“Selamat pagi, Pak. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk datang ke Green Valley Residence. Perumahan ini berada di jantung kota, hanya lima menit dari pusat bisnis dan pusat perbelanjaan. Dengan harga mulai dari 1,6 miliar, Bapak sudah mendapatkan rumah dengan pondasi batu kali, rangka baja ringan, lantai granit, dan sistem keamanan 24 jam.”
Leon mengangguk, matanya tajam memperhatikan cara Dinda bicara.
“Lalu kalau saya bilang harganya terlalu mahal, apa yang kamu jawab?”
Dinda berpikir sejenak, lalu menjawab hati-hati.
“Kalau dibandingkan dengan proyek lain di luar kota, mungkin memang terlihat mahal, Pak. Tapi karena lokasi kita strategis—dekat pusat kota—nilai investasi properti ini akan naik setiap tahunnya. Jadi sebenarnya harga ini setara dengan keuntungan yang bisa Bapak dapatkan ke depannya.”
Leon tersenyum tipis. “Bagus. Kamu sudah bisa mengaitkan harga dengan value investasi. Itu poin penting.”
Mereka melangkah masuk ke dalam rumah contoh. Ruang tamu lega dengan jendela besar yang membiarkan cahaya masuk. Aroma cat masih terasa. Dinda kembali mengamati, berusaha menyerap detail.
Leon menambahkan, “Ingat, Din. Kalau klien datang bersama keluarga, arahkan mereka untuk membayangkan tinggal di sini. Misalnya, ‘Ibu bisa membayangkan anak-anak bermain di halaman ini, atau Ayah bisa bersantai di teras sore hari.’ Visualisasi emosional itu sangat penting.”
Dinda tersenyum, merasa mendapat ilmu baru.
“Baik, Pak. Saya akan ingat. Jadi bukan cuma angka dan data yang harus saya sampaikan, tapi juga gambaran hidup di rumah itu, ya?”
“Persis,” Leon menepuk map yang dibawanya. “Properti bukan sekadar bangunan. Ini tentang kehidupan yang ditawarkan.”
Dinda mengangguk mantap. Di dalam hatinya, ia tahu tantangan ke depan tidak mudah. Tapi ada semacam semangat baru yang tumbuh—bahwa dirinya mampu belajar, berkembang, dan berdiri sejajar di dunia kerja yang keras ini.