Trapped-1 : Sleep with Her

1518 Kata
Apartemen ini luas. Banget. Desainnya modern, dengan furniture yang didominasi warna hitam. Tadi, setelah mandi, gue sempat melakukan tur singkat pada apartemen ini. Dinding apartemen ini bersih, tidak ada apapun yang digantung pada dinding. Kecuali dinding dapur, di mana ada gantungan untuk celemek di samping pintu dapur. Ada sebuah jam besar klasik di sudut ruang tamu. Di sebelah ruang tamu, ada ruang keluarga, dengan layar tv yang begitu luas. Karpet bulu menjadi satu-satunya tempat duduk, tidak ada sofa di ruang tv. “Di mana pacar lo?” tanya gue kemudian. Masih mengedar pandang ke seluruh antero dapur. Gila sih, dapurnya aja luas banget. “Dia nggak pulang.” jawab Galvin sambil melahap makanannya. “Dia nggak pulang dan lo bawa gue pulang?” “Sorry?” Kepala Galvin terangkat, menatap gue dengan raut sendu. Ah, selain intonasi kecewa Galvin, tatapan sendu cewek ini juga bikin gue sedih. “Bukan gitu maksud gue. Lo udah punya pacar, dan gue cowok. Lo nggak takut pacar lo salah paham dan—” Penjelasan gue terpotong. “Kita nggak akan ngelakuin hal aneh, kan?” ...oleh selaan Galvin. Baiklah, gue merasa bersalah sekarang. Wanita di depan gue ini berniat baik dengan ngasih gue tempat menginap. Astaga Giandra! “Sori, gue beneran nggak ada maksud aneh-aneh kok. Cuma kan, ya...” Galvin tersenyum miring, membuat gue menatapnya horor. Bagaimanapun juga, wanita di depan gue ini sudah dewasa, dan mungkin saja sudah pernah melakukan ‘hal dewasa’ lain. Maksud gue, dia sudah tinggal bersama dengan pacarnya. Nggak mungkin bisa sarapan bersama setiap pagi yang menjadi alasan Galvin dan pacarnya untuk tinggal bersama, kan? Ya Tuhan, enyahkan pikiran m***m gue, please! “Jadi, udah berapa lama kamu jomlo?” tanya Galvin. Gue bersyukur dia mengalihkan topik, meski topik yang ia pilih bukan bahasan favorit gue. Galvin beranjak dari duduk, membawa piring kotor ke tempat cucian piring. Gue ikut mengangkat b****g gue dari kursi, mengikuti Galvin ke tempat cuci piring. “Selama hampir dua puluh tahun.” jawab gue. Itu jujur. Galvin reflek menoleh, tidak percaya. “No way!” “Serius, gue nggak pernah pacaran. Yang mana artinya gue selalu jomlo dong.” “Kamu tahu kan, kalau bohong itu masih dosa?” Galvin mulai mencuci piring. “Ya... gue nggak bohong. Jadi, kenapa lo nggak jujur, sport apa yang lo maksud sampai tangan lo kayak gini?” Gue menunjuk pergelangan tangan Galvin yang memar. “lo inget kan, bohong itu masih dosa?” Galvin menghentikan kegiatannya mencuci piring, menatap kedua pergelangan tangannya yang basah. Cewek itu mengernyit, seperti menahan perih. Eh, dan gue ikutan perih. “Sekalipun aku jelaskan, kamu nggak akan ngerti.” “Try me.” tantangku. Galvin mengeringkan tangannya dengan tisu, menyandarkan tubuhnya pada lemari peralatan masak di sampingnya. Wanita itu tersenyum, membalas tatapan penasaran gue. “Pernah nonton fifty shades trilogy? Atau baca novelnya? Anak sastra pasti pernah, kan?” tanya Galvin, bersidekap guna menyembunyikan pergelangan tangannya yang menjadi pusat perhatian gue daritadi, sejak di studio. Novel erotis yang pernah bikin gue ‘basah’? Gue menggeleng tidak percaya. “No way.” “Pasti kamu mikir mesum.” terka dia, lalu terkekeh pelan. “Gimana gue nggak mikir m***m? Novel itu kan isinya cerita mesum.” “Ck... nggak semuanya, Gian.” elaknya. Gue lihat dia menggeleng, menatap gue dengan raut jenaka. “erotis, aku menyebutnya. Lagipula, kan bisa aja aku jadi pembantu yang tangannya kena pisau, atau jadi Jose, kan aku juga fotografer, Giaaann.” Awh... dia merengek manja. Yah, kok gue suka sih dengernya. “Kedua pergelangan tangan lo?” Mengabaikan penjelasan Galvin, gue kembali menunjuk pergelangan tangannya yang sembunyi di depan dadanya. “Serius, Galvin, itu kenapa?” “I’m okay,” kata Galvin, “kamu nggak ngantuk? Kamu bisa tidur di kamarku, di sebelah sana.” Galvin menunjuk pintu berwarna putih yang hanya terlihat seperempat dari dapur. “Lo tidur mana?” “Aku harus editing dulu. Aku biasanya tidur di depan tv.” “O...key, kenapa nggak gue aja yang tidur di depan tv, lo editing di kamar lo?” “Aku lebih nyaman editing sambil baringan.” Galvin berlalu meninggalkan kitchen island, berjalan meraih ponselnya di meja makan yang berdering. Wanita itu menoleh ke gue sejenak. “Aku angkat telepon dulu,” ujarnya, melenggang menggeser pintu kaca di seberang dapur. Pada balkon apartemen. *** Karena Galvin tak kunjung kembali dari balkon, gue memilih masuk ke kamar yang tadi ditunjuk Galvin. Tangan kanan gue membuka pintu putih itu, dan isinya membuatnya berdecak kagum. Berbeda dengan keseluruhan isi apartemen ini, kamar Galvin bernuansa gelap. Dindingnya berbalut wallpaper hitam polos. Ada stiker bunga primrose besar tepat di atas sandaran ranjang. Banyak foto pemandangan yang tergantung pada dinding, dan satu foto besar yang berada di sisi kanan kamar, dekat jendela besar. Foto seorang lelaki yang terlihat dari samping, lelaki yang tengah tersenyum lebar itu memiliki alis yang tebal dan rambut halus pada rahang dan berkumis tipis, yang gue asumsikan adalah pacar Galvin. Sorot teduh lelaki berkulit seperti Galvin itu membuat gue minder seketika. Kayaknya gue nggak ada apa-apanya dibanding lelaki itu. Eh, kenapa gue peduli? Di samping pintu, ada meja berisi beberapa kamera canggih nan mahal milik Galvin, lalu lemari besar di samping meja. Kamar ini nggak sebesar bayangan gue. Ukuran kamar ini mungkin sama dengan kamar gue di rumah, hanya lebih rapi dan lebih menarik. Ranjang bersprei putih polos itu berada di dekat jendela besar, ada karpet bulu di lantai bawah ranjang, dan sofa di sudut ruangan sisi kiri. Ah, ada beberapa buku di sofa itu. Gue menutup pintu kamar kemudian berjalan menuju sofa, memeriksa satu persatu buku yang ada di sofa. Percy Jackson, The Chronicles of Narnia, Harry Potter, The Hunger Games, dan... Fifty Shades Trilogy... Kesemuanya limited edition, hardcover, dan bertanda tangan dengan pesan terkhusus untuk Galvin. Alis gue bertautan, mengira-ngira sebenarnya Galvin ini wanita seperti apa. Biasanya, gue paling mudah menebak karakter orang yang kerjasama bareng gue. Tapi cewek satu ini berbeda. Nggak gampang dijangkau dan penuh kejutan. Misterius. Namun, ya... dia baik dan dewasa. Gue menghempaskan b****g gue di sofa empuk itu, meletakkan novel erotis di tangan gue, berganti dengan seri Narnia. Baru gue buka halaman pertama, pintu kamar ini terbuka. Wanita pemilik kamar ini muncul dengan bedcover hijau muda dalam pelukannya. “Hai. Suka baca buku?” sapanya sembari melenggang santai memasuki kamar. Dengan cekatan dia mengganti sprei yang lama dengan yang baru. “Oh, kamu anak sastra pasti suka baca dong, ya?” “Lumayan. Tapi gue lebih suka novel roman sih. Kayak yang ditulis John Green.” sahut gue. “Ah. Aku nggak terlalu suka baca sih.” Galvin mulai mengganti sarung bantal. “Lalu ini?” Dia menoleh. “Hadiah.” “Hadiah?” ulang gue dengan intonasi berbeda. I mean, woyy! Siapa orang yang duitnya kayak tisu, jadi bisa kasih novel spesial ini sebagai hadiah? Galvin menyudahi berbenah ranjang. Dia terduduk di pinggiran ranjang, menatap gue dengan raut yang susah gue selami. Dia seperti... entahlah. Bosan? “Inget pertama kita ketemu, aku bilang aku akan mengambil alih studio selama dua bulan ke depan?” tanyanya. Kepala gue terangguk mantap. Iya, gue inget. “Itu dari Kalina dan suaminya. Sebagai hadiah ulang tahunku tahun ini. Which is sebenarnya masih lama.” Gue mengangguk lagi, teringat kombinasi sandi saat Galvin tadi membuka pintu. “Gemini memang unik.” “Mmm-hmmm.” “Gue juga gemini.” sahut gue. Mencoba mengabaikan tatapannya, gue menunduk, menenggelamkan pikiran ke buku dalam pangkuan gue. Dari ekor mata, gue lihat dia beranjak, membawa sprei kotor. “Kamar mandi cuma ada satu, di tempat kamu mandi tadi. Ah ya, kamu bisa ambil selimut di lemari itu.” Ucapan Galvin membuat gue mendongak, melihat telunjuknya yang mengarah pada lemari besar, lalu kembali padanya saat dia melanjutkan, “Aku nggak bisa tidur tanpa selimut ini.” Gue mengangguk mengerti. “Lo beneran nggak tidur di sini aja?” “Nggak. Good night, Giandra.” ucap Galvin lalu menghilang di balik pintu. *** Gue melirik jam digital di atas meja kamera Galvin, satu-satunya benda yang menyala di dalam kamar ini. Deretan angka di benda kotak itu menunjukkan bahwa ini sudah tengah malam. Gue sebenernya udah tidur, segera setelah Galvin mengucapkan selamat malam tadi. Gue terbangun beberapa menit yang lalu karena kamar ini mulai panas. Gue lupa nyalain AC kamar, juga melepas kaos lengan panjang yang gue pakai. Gue mendudukkan diri. Perlahan melepas kaos yang gue pakai, melempar kaos itu pada sofa. Niat gue, mau lanjutin mimpi, namun hasrat yang sudah terkumpul di bawah sana membuat gue urung merebahkan kembali tubuh gue. Gue beranjak dari kasur, berjalan tergesa meraih kenop pintu. Ruangan di depan kamar temaram. Cahaya dari layar laptop Galvin menjadi satu-satunya penerangan. Gue berniat mencari switch buat menyalakan lampu, namun karena hasrat pipis udah nggak bisa ditahan, gue ke kamar mandi lebih dulu. Nggak sampai lima menit, gue udah kembali ke ruang tengah. Menemukan switch di dinding sebelah pintu kamar mandi. Lampu menyala redup, dan yang gue lihat di tengah ruangan adalah Galvin yang tertidur meringkuk memeluk selimutnya. Senyum sialan ini terbit gitu aja. Gue berjalan pelan ke arahnya, ‘menidurkan’ laptop cewek itu, lalu menggendong tubuh Galvin yang terlelap. Bersyukur banget tubuh Galvin nggak begitu berat. Seenggaknya, gue masih kuat gendong dia dari ruang tengah ke kamarnya. “Here we go, girl,” gumam gue setelah memasuki kamar Galvin. Pelan-pelan gue membaringkan tubuh Galvin ke atas kasur, menyeka keringat pada dahinya. Kan... kenapa cewek satu ini terlihat begitu manis saat ada keringat di dahi? Tubuh mungil cewek baik hati itu sudah terbaring di kasur. Perlahan, gue menarik selimut dalam pelukan Galvin, berniat untuk menyelimutkan kain lembut itu pada Galvin, ketika tangan gadis itu mencekal lengan gue kuat, hingga tubuh gue setengah ambruk di sisinya. “Gue cuma mau nyelimutin lo, kok.” lirih gue. Kedua iris gadis itu terbuka perlahan. “Jangan pergi, Ar.” Dia balas berujar lirih. Ar? Oke cewek ini pasti mengigau. Karena setelah bilang gitu, dia kembali merem. Meskipun begitu, tangannya masih kuat mencekal lengan kiri gue. “Temenin aku.” ucap cewek itu lagi. Gue jelas ingin menolak, tapi apalah daya. Gue udah ngantuk.   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN