Hari-hari setelahnya, seminggu empat kali gue ke Galvina Studio, untuk pemotretan. Kadang gue ditemenin Rizky sama Ben. Kadang Rizky aja, kadang Ben sama Belia, kadang ya cuma gue dan Galvin aja. Setelah hari pertama ketemu Galvin, ada beberapa kru yang hadir, si Jessie make up artist, Wendy, Varo, dan Xeline, yang bertugas mengatur set dan pakaian yang gue pakai. Galvin masih menjadi si potografer favorit gue karena dia benar-benar open minded. Nggak angkuh kayak fotografer cowok sebelum ini.
Ini memasuki minggu kedua, clothing line Rizky dan Ben bekerja sama dengan Galvina studio. Saat ini gue sedang menjalani pemotretan untuk katalog romantis Oldies Club. Gue suka ini, baju yang gue pakai nggak ribet. Cuma celana baggy dan kaos polos yang dimasukkan ke celana. Tanpa kemeja, jas, atau jaket lainnya.
“Udah?” tanya gue pada Wendy, cowok setengah jadi yang merapikan kaos yang gue pakai.
Wendy mengerling genit ke gue dan gue beneran mual. Gue lebih suka keadaan studio ini seperti pertama gue ke sini: cuma ada gue sama Galvin.
“Udah, say. Lo udah ganteng maksimal.” sahut Wendy dan langsung dihadiahi deheman keras dari Varo, lelaki gentle di seberang gue. Varo memiliki tubuh kekar dan wajah seperti pemain sinetron India. Meskipun begitu, ia sama setengah jadinya dengan Wendy. Sedangkan gadis tomboy di ujung ruangan, yang sedang mengobrol bersama Galvin tertawa keras. Xeline, dia sama seperti Wendy dan Varo, penyuka sesama jenis.
Gue mengabaikan hal remeh ini dan melenggang ke deretan bunga warna-warni di stage. Pada Galvin yang membungkuk bersiap mengambil gambar area yang akan menjadi lokasi pemotretan. Pada kursi tinggi seperti yang ada di bar di antara bunga warna-warni, di belakang kursi ada boneka beruang besar berwarna cokelat dengan pita merah di lehernya. Lalu ada British street lamp di sisi kiri deretan bunga. Gue menelan saliva melihat kaos yang dikenakan cewek itu naik ketika dia membungkuk. Kulit pinggangnya terlihat, lebih cerah dibanding kulit tangannya. Gue mendekat pada cewek yang hari ini rambutnya ia kepang ala-ala Katniss Everdeen pas tempur di arena Hunger Games. Berdiri di belakangnya, gue menarik turun kaos yang dikenakan Galvin. Gadis itu hanya menoleh singkat ke arah gue. Tersenyum tipis, dan kembali mengedipkan sebelah mata. Mendadak gue nyesel kenapa ngelakuin yang barusan. Lagipula, di dalam ruangan luas ini kan nggak ada cowok mata keranjang. Astaga, jangan-jangan gue yang mata keranjang.
Mengabaikan Galvin yang kembali mengambil gambar stage itu, gue melangkah menuju kursi berwarna silver itu, duduk di sana, dan membuat Galvin menurunkan kameranya.
“Apa semua cowok kalau pakai kaos dimasukin celana, jadi tambah ganteng, ya?” tukasnya. Seluruh isi ruangan menoleh ke arah gue. Gue salah tingkah sekarang, apalagi ketika Wendy melihat gue dengan tatapan lapar.
“Biasa aja gue.” sahut gue. Gue lihat Galvin tersenyum, lalu mulai membidik gue dengan lensanya.
Beberapa menit setelahnya, sunyi melanda. Satu-satunya suara yang terdengar adalah bunyi kamera Galvin saat mengambil gambar gue.
Gue sedang duduk sembari memegang sekuntum mawar dan menyorot tajam kamera yang sedari tadi membidik gue ketika Galvin berjalan mendekat ke arah gue. Cewek itu merapikan rambut gue, meraih sekuntum mawar merah muda di tangan gue, meletakkannya kembali pada vas bunga.
“Jess, lipstik merah dong!” teriak Galvin pada Jessie yang mulai mengemasi make up. Cewek kurus yang memakai cardigan biru tua itu melempar benda yang dimaksud Galvin ke arah kami. Bukannya menangkap, Galvin di depan gue malah membungkuk, membiarkan lipstik itu nyaris mendarat di wajah gue, jika saja tangan baik gue nggak menangkapnya.
Melihat itu, Galvin tertawa ringan. Beda dengan gue yang mengumpat berat di dalam hati. Cewek di depan gue ini memang radak aneh sejauh satu minggu lebih kenal dia. Aneh dalam artian, dia misterius, tidak terlalu terbuka soal kehidupannya. Tidak seperti Jessie atau Xalina yang selalu bercerita tentang hidup mereka selagi ‘menggarap’ wajah gue.
“Coba pakein lipstik itu ke gue, Gi.” tukas Galvin setelah tawanya surut.
“Pakein apa?”
“Lipstik itu.” Gadis di depan gue membungkuk, mendekatkan bibirnya tepat di muka gue.
Gue menelan saliva, menahan dengusan sambil membuka tutup lipstik itu, dan mulai mengolesnya di bibir pucat Galvin. Ah ya, tumbenan bibir cewek ini pucat.
Galvin mencecap bibirnya saat gue selesai mengoles lipstik. Warnanya merah keunguan yang terlihat penuh di bibirnya, terlihat pas, dan gue suka. Gue merasa bangga untuk sejenak melihat keindahan bibir Galvin yang barusan gue poles pakai lipstik itu.
Gue menutup kembali benda panjang di tangan gue, saat sebuah kecupan mendarat pada pipi kiri gue. Cukup lama, dan membuat seluruh organ gue mati mendadak. Gila! Galvin cium gue di pipi? Di depan banyak—Ah, syukur nggak ada yang lihat.
Bibir cewek yang usianya enam tahun di atas gue itu masih menempel di pipi gue. Mungkin sampai tujuh detik kemudian, dia baru menarik kembali bibirnya dari pipi kiri gue. Meskipun demikian, beberapa organ tubuh gue masih belum berfungsi dengan baik.
Gue masih kacau balau.
“Sori, tapi kayaknya akan lebih kelihatan keren kalau ada bekas bibir di pipi kamu.” Galvin menyengir, lalu mengambil foto close up gue dengan bekas bibir dia di pipi kiri gue. “See? Look more romantic.” Dia menunjukkan hasil jepretannya.
Benar, harus gue akui gue memang kelihatan lebih keren. Tapi, itu seperti bukan Giandra yang selama ini gue kenal. Itu seperti gue yang cool dan nggak polos lagi.
“Kenapa bengong gitu, Gi?” tanyanya, kembali mundur ke posisinya semula. “itu bukan ciuman pertama kamu, kan?” Intonasinya seperti mengejek.
Jelas saja bukan. Ratusan fans gue pernah cium gue di pipi kiri gue, ninggalin bekas lipstik sama seperti yang dilakukan Galvin barusan. Tetapi yang barusan ini, entah kenapa menimbulkan reaksi aneh di perut gue. Seperti ada ratusan kalajengking di dalam sana.
“Bukan,” jawab gue singkat, bersamaan dengan pintu studio yang terbuka. Sosok Rizky Bintara yang masuk ke dalam studio dengan tergesa.
“Gue pinjem mobil lo.” kata Rizky, bahkan jarak masih membentang jauh di antara gue dan dia.
Gue mendengus kesal, meminta ijin pada Galvin untuk mengambil kunci mobil gue di saku jaket. Kemudian, gue melemparkan kunci mobil dengan bandul kunci itu ke Rizky.
“Apalagi kali ini?” gue bertanya ketus.
“Ben lagi di rumah sakit, nemenin Belia. Gue harus ambil rekapan di outlet pusat, tadi gue dianter nyokap. Nanti lo bisa pulang sendiri, kan?”
“Fine.” sahut gue kesal.
“Thanks. Mbak Galvin, tolong jagain adek gue, ya?” Rizky mulai bikin gue kesal. Adek? Gue berani taruhan, kalau gue bikin vote mana yang pantas jadi adik, pasti Rizky yang menang.
“Sip!” Galvin mengacungkan jempolnya di tempatnya berdiri. Yang baru gue sadari, jempolnya berbalut plester, dan pergelangannya yang memerah, seperti bekas ditali dengan... kawat. Ya Tuhan! Kenapa sebenarnya sama cewek ini?
Gue menggeleng, berjalan menghampiri Galvin begitu Rizky meninggalkan studio.
“Ini kenapa?” tanya gue sembari memegang tangan Galvin.
Cewek itu menyengir, menepis pegangan gue pada tangannya. “Sport.” jawabnya.
“Sport?” gue mengulangi jawabannya. “What kind of..?”
Dia hanya tersenyum, mendorong tubuh gue hingga menabrak dinding dengan background nuansa gelap di belakang stage.
“Stay.” hardik Galvin. Cewek itu mundur beberapa langkah dan mulai mengambil foto gue.
Oke, gue mulai menikmati ini; bergaya bersandar dinding, nggak terlalu bikin capek. Ditambah sorot remang-remang yang menerpa wajah gue, membuat gue yakin gue jadi tambah nggak seperti Giandra Sienaya.
“Jadi, kamu ambil jurusan apa?” tanyanya sambil masih mengambil gambar gue.
“Sastra Inggris.”
Gue lihat Galvin menurunkan kamera dari wajahnya, menatap gue dengan tatapan takjub.
“Wow! Itu hebat banget. Biasanya cowok akan ambil jurusan teknik, atau manajemen. Kamu? Ambil sastra Inggris? Oke, aku masuk dalam fandom Gianimo sekarang.”
Gue tertawa, terpingkal malah. Gianimo adalah nama fandom gue. Entah siapa yang mencetuskan nama itu. Gue curiga Ben dan Belia tersangkanya.
“Papa gue kan asalnya dari Inggris.”
Dia cuma menganga. Cewek itu mendesah panjang, menunduk menatap kameranya. “Aku selalu ingin pergi ke Inggris. Melihat betapa kerennya London, Bristol, Newcastle, Manchester dan kota lainnya.”
“Well, kenapa nggak pergi?”
Cewek itu hanya tersenyum tipis, menggeleng, dan mulai mengambil gambar gue lagi. Keheningan yang kemudian tercipta, menemani kami di sisa waktu pemotretan. Bahkan beberapa manusia lain di ruangan seolah nggak peduli dengan kami berdua.
Gue benci ini. Mengeluarkan pertanyaan gampang, namun nggak dijawab.