Sosok dalam Mimpi

2007 Kata
Raka terbangun dan langsung menekan pelipisnya ketika rasa pusing yang menyengat tiba-tiba terasa. Butuh beberapa detik baginya menyesuaikan diri dengan rasa sakit itu. Kelopak matanya mengerjap pelan, kernyitan di dahi menandakan bahwa Raka tengah berusaha memusatkan pandangannya. Raka membelalak ketika menyadari bahwa dirinya berada di dalam kamar rumahnya dan bukannya di toilet sekolah. Ia mengingat dengan jelas apa yang terjadi sebelumnya, dan juga yakin bahwa ia belum keluar dari toilet. Lantas, bagaimana ia bisa sampai ke rumah dan bahkan tidur di kasurnya sendiri? Raka benar-benar bingung. Mengapa ia tiba-tiba berada di kamarnya? Sumpah demi apapun, Raka ingat dirinya hanya membeku dengan tubuh bergetar melihat teman sekolahnya menggorok lehernya sendiri sampai seluruh lantai toilet perempuan penuh darah. Tidak mungkin Raka tiba-tiba berlari pulang tanpa ingat apapun. Lalu bagaimana ia bisa sampai ke rumah dan bahkan kamarnya? Tok... Tok... "Tuan Raka? Anda sudah bangun?" "Masuk." Seru Raka ketika ia mengenali suara supir pribadinya. Pria tua itu membawa nampan berisi segelas air putih dan botol obat. Ia meletakkannya pada meja nakas di samping tempat tidur Raka. "Tuan Raka sudah baik-baik saja?" Raka mengernyit. "Memangnya aku kenapa? Dan, kenapa aku ada di kamar?" Pria tua itu terkejut dan sedikit bingung. "Teman Tuan Raka mengantarkan anda ke rumah dua jam yang lalu. Mereka bilang, Tuan Raka kecelakaan ketika menggunakan cutter saat praktik sehingga lengan Tuan Raka terluka. Karena terlalu banyak darah yang keluar, Tuan Raka akhirnya pingsan dan mereka mengantar Tuan Raka pulang atas permintaan guru." Jelas Si Supir. "Ini pertama kalinya Tuan Raka pingsan karena terluka, dua tahun lalu Tuan Raka jatuh dari motor dengan banyak luka berdarah tetapi masih nekat jalan ke rumah sakit sendiri. Anda yakin tidak apa-apa?" Raka terdiam, yang dikatakan supirnya jelas hanya alibi dari 'teman' yang dikatakan mengantar Raka pulang. Tapi memangnya kenapa harus berbohong dan mengatakan bahwa Raka kecelakaan ketika pelajaran praktek yang menggunakan cutter? Raka bahkan terkejut supirnya percaya saja dengan alibi murahan seperti itu. Mana mungkin gurunya langsung meminta tolong kepada teman Raka untuk mengantarkannya pulang dengan luka seperti itu. Padahal, sekolah juga memiliki UKS dengan seorang dokter umum dan perawat. Kalau pun harus diantar pulang oleh teman Raka, pastilah luka itu sudah lebih dulu ditangani oleh dokter UKS atau setidaknya mendapatkan balutan perban untuk menahan pendarahan yang katanya parah sampai membuat Raka pingsan. Sejujurnya, Raka pingsan kemungkinan besar juga bukan karena luka itu. Ngomong-ngomong soal luka, bagaimana nasib teman perempuan sekolahnya itu jika tidak ada yang tahu bahwa ia terluka parah? Sekolah sudah sepi dan nyaris kosong. Petugas kebersihan bahkan sudah pulang dan tidak mungkin memeriksa toilet lagi. ‘Teman Raka’ yang membawanya pulang pasti menemukannya di dalam toilet ‘kan? "Siapa yang mengantarku pulang?" Tanya Raka memastikan. "Um, pemuda tinggi dengan wajah sinis, dan temannya pemuda mungil yang tampak manis. Saya tidak sempat bertanya nama mereka karena sudah keburu panik. Mbak Hannah juga tidak sempat bertanya karena buru-buru membawa Tuan Raka ke kamar dan memanggil dokter." Raka melebarkan kelopak matanya sekilas. Ia sudah langsung paham siapa yang dimaksud oleh supirnya. Wira dan Putra. Dua adik kelasnya itu, bukannya mereka sudah lebih dulu pulang sebelum Raka keluar area sekolah? Lalu bagaimana mereka bisa menemukan Raka? Dan apakah mereka juga menolong gadis yang terluka parah karena bunuh diri itu? "Mbak Hannah nggak nyuruh mereka istirahat dulu?" Tanya Raka lagi. "Tidak Tuan Raka. Tadi Mbak Hannah langsung menelepon dokter dan dua teman Tuan Raka juga langsung pamit pulang. Tadi Mbak Hannah dipanggil Tuan dan Nyonya ke kantor setelah mengabari kalau Tuan Raka sakit, jadi saya yang membawakan obat untuk Tuan. Mungkin besok Mbak Hannah baru kembali." Raka hanya mengangkat bahu tak acuh. Sibuk sekali orang tuanya sampai tidak sempat menjenguk anaknya yang sedang sakit. Tapi Raka tidak terlalu mempermasalahkan hal itu karena sudah terbiasa. Satu-satunya orang yang mengurus dia sejak kecil atau mungkin malah sejak bayi sampai sekarang hanya Mbak Hannah, dan selama wanita itu bisa terus mengurusnya, Raka tidak masalah meski tidak harus bertemu orang tuanya. Raka berpikir positif, orang tuanya sudah memberikan banyak kemudahan dengan seluruh uang mereka, jadi Raka tidak akan egois dan sok-sokan menuntut hal lain lagi. Ya, meski sejujurnya Raka penasaran orang tuanya itu sebenarnya mengerjakan apa saja sampai sulit sekali untuk mendapatkan waktu pulang ke rumah. "Tuan Raka?" "Eh  Iya?" "Saya harus keluar untuk mengambil beberapa obat dan vitamin yang diresepkan dokter ke apotek. Apa Tuan Raka tidak apa-apa ditinggal? Atau saya perlu memanggil salah satu pembantu untuk menjaga Tuan?" Raka memutar bola matanya. "Tidak perlu, aku bukan anak kecil. Berikan obatnya padaku." Raka segera menelan butiran obat yang disediakan dengan bantuan air putih. Kepalanya juga masih terasa sakit dan ia tidak mungkin bisa tidur jika kepalanya masih berdenyut seperti itu. Kalau pun obat tidak meredakannya, setidaknya ada efek mengantuk yang membuat Raka bisa tidur nyenyak. Raka berharap hari segera berganti dan ia bisa ke sekolah. Raka harus menanyakan segalanya kepada Putra dan Wira, juga memastikan mengapa dua adik kelasnya itu bisa menemukannya bahkan sampai membawanya pulang ke rumah. Bagaimana keadaan gadis yang bunuh diri itu? Dan beragam pertanyaan lain yang menumpuk minta dikeluarkan. Raka kembali membaringkan dirinya, memejamkan mata dan berusaha untuk tidur dengan harapan sakit kepalanya akan segera mereda. O||O Raka membuka matanya, merasakan gatal di sekitar lengan dan kaki. Ia membelalak dan langsung duduk ketika menyadari bahwa yang berada di atasnya bukanlah langit-langit rumah berwarna putih gading di kamarnya, melainkan langit sungguhan berwarna biru cerah dan sangat terik. Raka mengusap lengannya yang lengket dengan pasir karena keringat. Angin sepoi-sepoi membelai wajahnya menerbangkan beberapa anak rambut di dahinya. Raka menoleh kesana kemari, benar-benar tidak paham dengan keadaannya saat ini. Ngomong-ngomong, memangnya ia dimana? Yang Raka lihat di sekitarnya adalah hamparan pasir putih yang luas di bibir pantai. Tidak jauh darinya duduk, laut membentang dengan ombak sedang. Sama sekali tidak ada orang lain di sana, hanya ada Raka seorang diri. Raka bangun dari posisi duduknya dan berdiri memandangi sekitar. "Aku mimpi?" Tanya Raka pada dirinya sendiri. Rasanya aneh sekali, kalau pun Raka mimpi, mana mungkin dia menyadari hal itu? Bukankah seseorang sadar bahwa itu mimpi ketika ia sudah bangun? "Hooiiiii...!!!! Haloooooo...!!!" Teriak Raka keras. Raka terbatuk sebentar karena tersedak ludahnya sendiri. Sama sekali tidak ada sahutan, bahkan suara burung pun tidak ada. Satu-satunya suara yang tertangkap indera pendengaran Raka hanya deburan ombak dan gemerisik dedaunan yang tertiup angin. Raka yakin sekali ia sedang bermimpi, atau apapun yang intinya yang ia alami adalah bukan kejadian yang sebenarnya. Tapi tetap saja ia bingung mengapa ia sadar jika yang dialaminya bukanlah kenyataan. Raka mengedarkan pandangannya. Pasir putih nan luas itu benar-benar hanya pasir putih, sama sekali tidak ada semacam gazebo kecil yang biasa ia temui di pantai-pantai yang memang bertujuan untuk tempat wisata. Sepanjang mata Raka memandang, di belakang pasir putih pantai itu juga hanya pepohonan lebat yang mengarah ke hutan dengan daratan menanjak seperti bukit tinggi. Raka meringis dengan mata sedikit terpejam ketika mendongak untuk melihat bukit tinggi dengan pepohonan rimbun itu. Raka menimbang-nimbang kemana ia harus pergi. Menyusuri pantai yang tampak tak berujung ini? Ke belakang dan masuk ke hutan lebat? Atau bermain-main saja di air pantai sembari menenggelamkan diri? Siapa tahu ia akan bangun di atas tempat tidurnya lagi ketika dipicu dengan kepanikan menuju ajal di dalam mimpi. Raka menggaruk tengkuknya, menghela napas pelan. "Well, ini cuma mimpi." Gumamnya pelan. Raka melangkah pelan ke air laut, merasakan deburan ombak berusaha menarik betisnya ketika datang. Raka harus berdiri dengan benar atau terseret jika tidak kokoh. Warna biru gelap lautan semakin tampak mengerikan, dan sebenarnya Raka sendiri cukup ngeri. Walaupun mungkin yang sedang ia alami adalah mimpi, pasti tetap terasa menyakitkan jika ia tenggelam. Dengan langkah agak kaku Raka terus maju ke dalam air laut. Deburan ombak semakin besar dan menciprat ke wajahnya. Setengah pakaiannya bahkan sudah basah. Langit yang sebelumnya cerah mendadak kelabu. Raka mendongak dengan kening mengernyit melihat hal itu. Raka terus melangkah, mempertahankan diri meski jantungnya terasa berdebar sangat kuat. Rasa takut akan tenggelam termasuk desakan air laut yang sudah sampai dadanya membuat Raka menggigit bibirnya sebagai bentuk pelampiasan ketakutannya. Sedikit lagi, angin bertiup kencang dan gulungan ombak mulai tampak dari kejauhan. Raka meremat ujung pakaiannya dan memejamkan mata. Namun hingga beberapa saat berlalu, ia tidak merasakan ombak menghantam tubuhnya. Dengan ragu Raka membuka mata. Langit masih kelabu, angin masih bertiup kencang, dan deburan ombak masih terdengar. Namun Raka sama sekali tidak tenggelam dalam gulungan ombak. Sebaliknya, sesuatu mencengkram lehernya dengan kuat dan menariknya paksa keluar ke daratan. Raka terbatuk-batuk dengan mata berair. Lehernya terasa sakit. Ketika ia meraba bagian itu, ada bekas gores yang meninggalkan darah di sana. Raka menoleh kesana kemari, memastikan siapa yang menarik lehernya dengan brutal seperti itu. Tetapi meski kepala Raka sudah berputar dan memandangi sekitarnya, sama sekali tidak ada siapa pun di dekatnya. Napas Raka terasa sesak, dan ia benar-benar berharap segera bangun andai ini sungguhan hanya mimpi. "Kurasa, aku harus masuk ke laut lag—" Raka membelalak. Cengkraman di lehernya kembali namun kali ini tidak terasa menyakitkan, hanya seperti rabaan pelan oleh jemari-jemari lentik yang panjang. "Si-Siapa..." Cicit Raka terbata. Tidak ada suara, pun jawaban. Raka hanya membeku dan merinding merasakan hal itu. Lehernya bahkan terasa geli karena bersentuhan dengan ujung-ujung rambut panjang dari seseorang yang tengah meraba lehernya ini. Raka menyentuh jemari yang melingkari lehernya, menarik paksa dan ia berbalik untuk melihat orang itu. Ia tidak bisa untuk tidak membelalak. Ada seorang wanita yang sangat cantik bersimpuh di hadapannya. Rambutnya sangat panjang sampai pinggang, tergerai lurus dan rapi. Kulitnya kuning langsat, dengan bola mata lebar berwarna kelam. Ia mengenakan pakaian berwarna merah, sangat transparan dan hanya seperti sebuah selendang yang tidak benar-benar menutup bagian-bagian tubuhnya. Ia menampilkan senyum kecil ketika Raka tertegun dengan penampilannya. Buru-buru Raka melepaskan cengkramannya pada tangan perempuan itu karena terkejut. "K-Kau ini siapa?" Tanya Raka bingung. Ia menoleh ke sekitarnya untuk yang kesekian kali, namun sama sekali tidak menemukan tanda-tanda ada orang lain. Perempuan itu tersenyum. "Saya yang akan menemani Ndoro Raka selamanya." Perempuan dengan selendang merah itu berdiri, menarik tangan Raka dan menyentuhkannya pada dadanya. Raka mundur dengan panik, berusaha menarik tangannya. Tunggu, siapa perempuan yang muncul di mimpinya ini dan mengapa dia melakukan hal seperti ini?   "Ndoro Raka harus membawa saya sampai saya mendapatkan sukma baru dari keturunanmu." Raka mundur dan terus mundur, berusaha menarik tangannya dari cengkraman perempuan itu. Ia menjadi semakin panik ketika perempuan itu terbahak kencang, semakin menarik Raka untuk menempel pada tubuhnya. "Lepaskan aku! Lepaskan aku!" "Tuan Raka? Tuan Raka?" Raka membuka matanya, jantungnya berdegup dengan cepat dan keringat dingin membasahi nyaris seluruh tubuhnya. Hannah duduk di sampingnya dengan wajah khawatir. Ia mengusap peluh di sekitar wajah Raka dengan tisu dan membantu Tuannya itu untuk bangun dan duduk bersandar di kepala ranjang. "Tuan Raka nggak papa?" "Mbak Hannah? Kok sudah pulang?" Tanya Raka bingung. Ia ingat dengan pesan yang disampaikan oleh supirnya bahwa Hannah akan pulang esok hari setelah menemui orang tua Raka di kantor. Hannah tersenyum. "Tuan dan Nyonya nyuruh saya segera pulang saja supaya bisa jagain Tuan Raka. Mereka juga menitipkan beberapa oleh-oleh, sudah saya taruh di dapur, dan juga minta maaf karena masih sibuk sama kerjaan." Jelas Hannah Raka terdiam, jujur saja tidak terlalu peduli dengan alibi kesibukan pekerjaan orang tuanya. Pikirannya jauh lebih tertarik kepada mimpi yang baru saja ia alami. Sadar bahwa yang ia alami adalah mimpi sudah sangat aneh. Raka menghela napas dan mengusap lehernya. Jemarinya berhenti bergerak. "Mbak, leherku luka?" Hannah mengernyit dan mendekatkan wajahnya untuk melihat leher Raka. "Ada luka gores, Tuan. Kayak masih baru, Tuan Raka garukin leher pas tidur ya? Kayaknya harus segera diobati." Raka semakin tidak mengerti. Ia turun dari tempat tidurnya dan menatap pantulan dirinya pada cermin rias di samping ranjang. Luka itu benar-benar jelas, ada di dua sisi lehernya, berbentuk cakaran kuku yang cukup dalam. Ketika Raka menyentuh luka itu, sengatan rasa perih masih terasa, dan bahkan sisa darah di area itu juga masih tertransfer di jemarinya. Tidak mungkin ia tanpa sadar menggaruk lehernya sampai seperti itu padahal Raka tidak memiliki kuku yang panjang, dan jelas posisi kedua luka itu sama persis dengan cengkraman wanita berselendang merah yang Raka temui di dalam mimpinya. Mimpi itu, apakah benar-benar hanya sekadar mimpi? O||O
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN