Raka tidak pernah menanggapi omongan orang yang tidak jelas atau ia anggap mengada-ada. Setidaknya, begitulah ia di masa lalu. Tapi sekarang, apapun yang ia dengar dan lihat menjadi berbeda semenjak ia melihat tiga kematian terjadi yang secara tidak langsung membuatnya terlihat meski sama sekali tidak ada niat buruk dari Raka sendiri. Apa maksud anak kelas satu itu? Takdir Raka ada yang salah? Memangnya dia Tuhan? Pemuda imut itu tak tampak aneh ketika mengucapkannya. Malah, Raka yang merasa aneh karena pemuda itu bisa tetap mempertahankan wajah ceria dengan kedua bola mata berbinar cerah ketika mengatakan sesuatu yang cukup menyeramkan. Ya, Raka berpikir bahwa apa yang dikatakan anak itu menyeramkan karena Raka sendiri sudah merasa bahwa ada yang salah dengan dirinya. Ia tidak tahu, dirinya yang benar-benar salah, atau ada faktor lain yang menyebabkan itu semua.
Kematian Karina menjadi huru-hara, dan Raka hanya bisa diam hanya untuk membuat dirinya sendiri selamat dan tidak dicurigai sebagai pembunuh. Ia benar-benar bersumpah tidak pernah berniat membuat Karina jatuh sampai meninggal dengan cara yang amat tragis seperti itu. Raka kembali melirik ke sampingnya, dimana anak kelas satu itu masih tetap tersenyum-senyum ceria seolah tragedi ini bukanlah apa-apa.
"Hei." Bisik Raka. Ia melirik sekitar, dan bernapas lega ketika yang lain tidak memperhatikan dirinya.
Anak kelas satu itu menoleh. "Kakak bicara denganku?"
Raka mengernyit. "Iya. Memangnya ada yang lain?"
Anak itu menoleh ke belakang kemudian tersenyum. "Kukira kakak manggil kakek-kakek berlumuran darah yang ada di belakangku."
Tubuh Raka membeku. Apa-apa itu? Mengapa dia mengatakan hal itu dengan santai seolah tengah membicarakan cuaca hari ini. Apalagi wajah cerianya sama sekali tidak hilang. Dia ini asal bicara atau memang suka ngawur? Raka benar-benar bingung.
"Kak?"
"Ya?"
"Katanya bicara denganku?"
Kepala Raka mendadak kosong karena pernyataan tiba-tiba anak kelas satu itu. Ayolah, Raka tahu beberapa orang terlahir dengan penglihatan spesial, dan Raka akan menghormati itu semua. Tapi setidaknya sejak dulu, Orang-orang dengan penglihatan spesial yang Raka temui tidak akan membicarakan topik supernatural sesantai itu. Bagaimana bisa di berkata seperti itu? Apakah teman-temannya tidak merasakan terganggu? Belum lagi jika ia memiliki teman penakut.
"Namamu?" Dan hanya pertanyaan itu yang keluar dari mulut Raka pasca didera shock oleh si anak kelas satu.
"Putra Pramadhita." Katanya sembari menunjuk bedge nama di d**a kanannya.
"Okay Putra, apa maksudmu tadi?"
"Maksud?"
Raka mendesah frustrasi. "Maksud kalimatmu sebelumnya? Apa itu kakek-kakek berlumuran darah yang kau maksud?" Raka benar-benar ingin sekali meninggalkan suaranya, tetapi wajah polos dengan mata berbinar-binar seperti adik kecil itu jelas akan membuat Raka merasa bersalah jika melakukannya. Berkali-kali ia merapal doa, meminta kepada Tuhan kesabaran hati yang besar untuk menghadapi anak kelas satu yang mengaku bernama Putra Pramadhita ini.
Pemuda tahun pertama itu kembali berpaling menatap di balik punggungnya. "Oh, kakek-kakek itu mengikutiku sejak aku berjalan-jalan di taman belakang sekolah. Kutebak, dia mungkin warga sekolah ini dulu. Tukang kebun? Entahlah. Dia tidak mau pergi dan terus mengikutiku. Tapi ketika aku keluar dari pelataran sekolah, kakek-kakeknya tidak mengikutiku meski dia terus-terusan menatapku sampai mobil Wira berbelok di perempat depan. Jadi, kurasa dia memang hanya akan berkeliaran di area sekolah."
"Tunggu... Tunggu, kenapa kamu santai sekali mengatakannya? Maksudku, kakek-kakek berlumuran darah bukannya tampak menyeramkan?"
Putra mengangguk. "Tapi jika hanya wujud, kurasa tidak semenyeramkan itu. Dia hanya mengikutiku, tapi tidak menggangguku. Kurasa dia butuh sesuatu, sayang sekali dia hanya diam."
Raka menganga. "Ja-Jadi yang masuk standar menyeramkan untukmu itu yang seperti apa?" Sekuat tenaga Raka berusaha menahan pekikannya. Diikuti setiap hari meski hanya di area sekolah adalah menyeramkan, bagaimana bisa Putra mengatakan semua itu tidak menyeramkan?
Putra mengusap dagunya sembari ber-hum pelan. "Kalau mereka menyakitiku, mungkin. Itu baru menyeramkan karena aku tidak tahu caranya melepaskan diri."
Raka semakin bergetar mendengarnya. Disakiti mahkluk astral terdengar sangat menyeramkan, dan bagaimana anak ini bisa mengatakan segalanya dengan santai tanpa beban apapun?
Raka kembali menatap Putra. "Lalu... Apa maksudmu dengan takdirku?"
Putra tersenyum. "Ada yang salah, dan kakak harus memperbaikinya."
"Memperbaiki ap—"
"Apa yang kau lakukan pada Putra?"
Raka tersentak. Seorang anak tahun pertama lain menarik Putra dan memposisikan anak itu berada di balik punggungnya. Posturnya tinggi, jauh lebih tinggi daripada anak-anak di angkatannya yang sedang berbaris. Wajahnya tampak dingin, jelas sangat kontras dengan ekspresi Putra yang seolah menebarkan bunga-bunga imajiner di sekitarnya. Ia tampak suram, atau setidaknya yang Raka lihat seolah ada sayap-sayap gagak yang berhamburan di sekitarnya. Intinya, dia benar-benar anomali Putra. Raka melirik bagian d**a kanan anak itu, dan menemukan begde dengan nama Wira Danujaya. Wira... Wira yang disebutkan Putra sebelumnya kah?
Putra menarik-narik lengan Wira dan memaksanya untuk tidak marah-marah. Raka mendengar semua obrolan mereka yang intinya adalah salah paham karena Raka sebagai anak kelas tiga dikira sedang merundung Putra. Raka sempat tertawa dalam hati, merasa wajar dengan kekhawatiran Wira. Putra tampak sangat mudah untuk dirundung dengan sederet kepolosannya itu.
Wira berbalik menatap Raka, masih dengan kerut di dahi dan juga sorot mata tajamnya. "Jika kakak membutuhkan sesuatu dari Putra, kakak bisa bilang pada saya."
Raka menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa sih? Aku bahkan hanya menanggapi apa yang dikatakan Putra duluan. Lagipula, kenapa aku harus meminta padamu kalau yang kubutuhkan bicara dengan Putra?"
Wira tampak bingung untuk menjawab, tetapi ekspresi dinginnya benar-benar tidak pernah sirna. "Apapun itu, jika kakak membutuhkan sesuatu dari Putra, kakak harus bicara denganku." Ulang Wira lebih keras.
Beberapa anak di sekitar mereka sempat menoleh, dan Raka hanya mengulas senyum kecil sebagai tanggapan sampai mereka semua kembali fokus dengan rumor mereka pasca kematian Karina. Raka tidak ingin membuat keributan. Meski ia tahun ketiga, dia hanyalah anak baru. Orang asing yang datang dan tiba-tiba membuat kehebohan dengan kematian Karina meski warga sekolah tidak tahu mengenai keterlibatannya. Sekarang, seorang anak tahun pertama tiba-tiba mengatakan bahwa ada yang salah dengan takdirnya dan Raka harus memperbaiki semua itu. Apa yang harus ia perbaiki? Raka merasa kehidupannya baik-baik saja sampai ia melihat anak di sekolah lamanya bunuh diri dengan menjatuhkan dirinya sendiri. Setelah itu, semuanya benar-benar kacau. Kematian selalu mengikutinya, dan bukannya Raka yang ketiban sial, justru orang-oeang yang berdekatan dengannya lah yang meninggal dengan tragis.
Raka tidak mengatakan apa-apa lagi, bahkan meski ia masih merasakan bahwa Wira menatapnya penuh awas seolah ia adalah sosok yang harus dicurigai. Ia tidak tahu sedekat apa Wira dan Putra, juga tidak tahu mengapa Wira—yang hanya teman Putra tampak sangat melindunginya. Apakah berkaitan dengan sifat polos Putra? Atau karena kemampuan spesial Putra? Raka tidak bisa mencegah dirinya untuk tidak menebak-nebak ada apa di antara dua anak tahun pertama itu.
Ketika kemudian urusan jenazah Karina sudah diurus oleh pihak yang berwajib dan ketua kelas mulai kembali memandu anak-anak dari kelasnya, Wira masih saja menatapnya dengan tajam. Raka merasa terganggu, apalagi karena ia adalah anak tahun ketiga sementara Wira adalah adik kelasnya. Menggeleng pelan, Raka berbalik dan mengekor teman-teman sekelasnya sesuai arahan Rayhan.
"Kak Raka!"
Raka membeku. Lehernya benar-benar merasa kaku. Tunggu, seingatnya ia tidak memperkenalkan diri kepada Putra. Ah, tapi bedge di d**a kanannya pastilah bisa dibaca oleh adik kelasnya itu. Sebisa mungkin Raka memasang wajah santai meski tatapan tajam Wira yang tak berkesudahan terus saja mengikutinya bak laser yang siap untuk membunuh. Putra mendekatinya, masih dengan senyum polos tanpa henti. Wira seperti biasa, mengekor kemana saja Putra pergi.
Putra menepuk bahu Raka pelan kemudian mendongak seolah pandangannya tengah mengikuti sesuatu. "Ah, benar." Gumamnya pelan.
"Ada apa?"
Putra tersenyum, namun senyumnya kali ini berbeda. Ada ekspresi khawatir samar di wajah polosnya itu, juga kilat ketakutan di bayangan matanya, membuat Raka bingung sekaligus khawatir. Setelah mendengar tentang kakek-kakek berlumuran darah itu, Raka jadi curiga jika Putra mungkin melihat hantu lain yang menempel pada tubuh Raka.
"Ada apa, Putra?" Ulang Raka.
Putra menggeleng. Kelopak matanya melebar. Senyumnya benar-benar sirna dan secara perlahan ia mundur dari jangkauan Raka. Raka mengedipkan matanya dengan bingung, ketika ia menatap Wira, pemuda itu juga sama bingungnya. Ia menahan tubuh Putra yang seolah hendak ambruk.
"Putra? Ada apa?" Raka berusaha menyentuh bahu Putra yang segera saja ditepis oleh Wira.
Dua anak tahun pertama itu langsung berbalik pergi tanpa mengucapkan apa-apa. Raka terdiam dengan tangan kanan menggantung di udara. Kenapa? Kenapa Putra ketakutan seperti itu? Apa yang dilihat anak itu sampai-sampai ia menggigil dengan wajah super pucat seperti itu padahal dirinya santai-santai saja ketika menceritakan mengenai kakek-kakek berlumuran darah yang selalu mengikutinya.
Raka mengusap bahunya sendiri, sengatan rasa merinding tiba-tiba datang.
"Raka! Jangan misah!" Seru Rayhan dari kejauhan.
Seolah tersadar dari lamunannya sendiri, Raka membuang napas kasar dan segera menyusul Rayhan beserta teman-teman sekelasnya.
O||O