“Raka!!! Masyaallah, dosa apa yang udah gue perbuat sampai punya teman macam lo ?!”
Raka hanya menutup kedua kupingnya jengah akan teriakan Davina yang sudah membahana ke seisi kelas. Fiona yang baru masuk ke dalam kelas, mengernyit melihat Davina yang marah ‘besar’ sekarang. Ia menyenggol Aurel di dekatnya yang memperhatikan keributan itu sembari memegang sapu.
“Kenapa lagi?”
“Biasa.” Aurel berucap malas. “Harusnya Raka ngeprint tugas yang dikasih Davina lewat email semalem. Tapi dia kelupaan.”
“Lah Davina nggak bawa flashdisknya?” Aurel menggeleng pelan. “Dibawa Mas Ilsan ke Jakarta.”
Kalau sudah begitu ceritanya, pantas saja sahabatnya itu mengamuk. Fiona hanya ber-oh ria, dan segera menuju tempat duduknya. Tak memperdulikan pertengkaran Davina dan Raka yang sudah menjadi kebiasaan setiap hari.
Menyadari kehadiran Fiona, teman sebangkunya alias Yola menyodorkan tempat bekal berisi beberapa roti. Makanan yang ia santap sedaritadi sembari mengamati keributan yang ada. “Mau?”
Fiona menggeleng pelan, lalu meletakkan tasnya keatas kursi. Ia menatap Yola yang masih fokus melahap rotinya. Merasa diperhatikan, Yola menatap Fiona aneh. “Kenapa lo ngeliatin gue?”
“Tadikan gue berangkat sama Aksa.”
Satu kunyahan.
Dua kunyahan...
Tiga kunyahan...
“Oh,” respon Yola yang langsung dihadiahi pukulan di bahunya. Cewek itu tertawa pelan. “Bercanda gue. Kok bisa? Terus kemana Aksanya kok nggak bareng lo ke kelas?”
“Semalam dia ngerjain tugas kelompok di rumah gue. Sampai tengah malam, jadinya nginep dipinjami seragam lama Bang Nuga.” Fiona memungut sampah di bawah kolong mejanya yang berserakan. “Yang duduk disini kemaren siapa sih! Sampahnya banyak banget!” gerutu Fiona kesal.
“Buku-bukunya?”
“Dibawain Tari, makanya dia ke kelas adeknya dulu," lanjut Fiona meletakkan sampah yang ia pungut ke tempat di mana Johan sedang menyapu. “Nitip ya Joh.”
Cowok bertubuh pendek itu hanya berdecak, dan melanjutkan kegiatan menyapunya. Yola mengernyitkan dahi.
“Bang Nuga? Tumben,"heran Yola menutup kotak bekalnya yang sudah habis.
“Hati-hati lo Fi. Jangan sampe jatuh cinta sama Aksa.” Gumam Yola memperingatkan, raut wajahnya mendadak serius.
“Kenapa?” Tanya Fiona tak mengerti. Tidak paham kenapa Yola mendadak memberi peringatan seperti itu.
“Ya, hati-hati aja. Luka dari Oji aja belum kering, mau lo nambah luka lagi?” gumam Yola menyandarkan tubuhnya ke dinding kelas. Seolah menyadarkan sang sahabat untuk tidak begitu cepat tertarik dengan orang baru.
“Luka apaan sih Yol? Kurang tidur lo ya?” Fiona mulai merasa terganggu akan arah pembicaraan mereka. “Nggak mungkin lah gue suka sama dia.”
“Kan gue cuman bilang,hati-hati. Kalau lo nggak gubris juga nggak masalah,” sahut Yola santai memasukkan kotak bekalnya ke dalam tas. Yola melirik ke sekitarnya, lantas terdiam cukup lama. Seolah sedang mempertimbangkan haruskah ia mengatakan kebenaran yang pernah di dengar dari orang lain. Ia menghela napas, lantas menatap sang sahabat dengan tatapan serius.
“Karena cowok itu suka sama Rasha.”
***
“Karena cowok itu suka sama Rasha.”
Fiona tidak bisa menelan sesuap pun soto di depannya. Padahal, tidak ada yang pernah bisa menghalangi nafsu makannya untuk melahap soto Mang Jaja. Tapi hari ini, perkataan Yola terus terngiang di pikirannya hingga ia tak nafsu makan.
“Woy!”
Seruan itu membuat Fiona tersentak, ia melirik Dena yang duduk tepat di hadapannya. Sahabatnya itu baru saja menyenggol kakinya dari bawah meja dengan cukup keras. Dena menunjuk mangkuknya yang hanya tersisa kuah. Entah kemana raibnya bihun, cakwe dan segala macam kondimen yang seharusnya ada dalam semangkuk soto tersebut. Menyisakan kuah berwarna kekuningan agak gelap, akibat dirinya mencampur soto dengan kecap tadi.
“Kenapa sih lo? Bengong aja. Nggak nyadar kan si Zahra, Wilsa sama Davina udah ngerampok soto lo.” Dena yang merasa heran akan sifat Fiona, secara tenang membeberkan alasan kenapa dia mengagetkan Fiona tadi. Perempuan yang terkenal paling galak dalam lingkaran pertemanan mereka itu, tidak pernah suka ketika teman-temannya kehilangan fokus saat sedang makan. “Tes tahap desain lo lancar kan?”
“Gue bayar soto dulu.”
Keenam temannya memperhatikan Fiona dengan curiga. Hari ini, sahabat mereka satu itu lebih banyak diam. Tidak ada kata tajam, atau pertanyaan lemotnya sedari tadi. Seolah-olah ia memikirkan sesuatu secara diam-diam.
“Dia gak marah kan, kita rampok sotonya?” Zahra yang pertama kali angkat suara, sembari menumpuk mangkuk sotonya dengan milik Davina yang sudah habis.
“Jangan dong! Fiona kan kalau marah kan serem.” Wilsa menatap ngeri ke arah Zahra, sama takutnya. “Masih berasa pukulan kotak pensilnya nih.”
“Yaelah, Fiona gak bakal marah kalau soal makanan,” gumam Davina begitu santai, padahal ia yang paling banyak ‘merampas’ tadi. “Ada yang lagi dipikirin tuh, desainnya kali ya. Nggak kekirim mungkin?”
“Enggak,”sambung Yola ikut menumpuk mangkuk sotonya. Lantas melihat bagaimana sahabatnya itu melipir ke penjual kantin lain, berniat memberi segelas jus mangga untuk dibawa ke kelas. Ia mengusap mulutnya dengan tisu, sebelum melanjutkan ucapannya dengan nada penuh keyakinan.
“Kali ini bukan soal makanan atau desain.”
***
“Jangan buat ini makin rumit Sa.”
Aksa menatap frustasi Keysha yang menyodorkan sebuah kantung kertas, yang ia tau jelas apa isi di dalamnya. Suasana koridor dekat ruang musik yang sepi saat pulang sekolah, membuat Aksa leluasa mengeluarkan ekspresinya. Keysha meletakkan kantung kertas itu ke lantai. Tak peduli lagi kalau laki-laki tersebut akan menerima kantung kertas tersebut. Seolah dia benar-benar hanya ingin kantung tersebut enyah dari pandangan matanya.
“Maaf Sa, gue nggak bisa lama-lama di sini.” Keysha menatap Aksa yang hanya mengalihkan pandangannya kearah lain. “Oji nunggu gue, bisa makin rumit kalau dia liat lo sama gue kayak gini.”
“Hanya Oji yang lo pikirin Sha?” gumam Aksa menghentikan langkah Keysha yang terburu-buru, seolah satu sekolah akan gempar jika melihat mereka berdua. Ayolah Keysha tidak seterkenal itu, hingga dia yakin seisi sekolah akan membicarakan mereka hanya karena kedapatan berbicara berdua saja seperti ini.
Aksa membalikkan badannya, menatap kecewa Keysha yang tak berbalik. Hanya berdiri kaku di depannya. “3 tahun gue suka sama lo. Dan langsung tersisih ketika lo ketemu Oji?”
“Selama ini lo nganggep usaha gue, nggak sih Sha??!”Suara Aksa sedikit meninggi, menandakan dia yang mulai kehilangan kontrol diri. “Apa yang bikin Oji bisa dapetin hati lo dalam waktu 3 bulan? Sementara gue perlu waktu bertahun-tahun, dan belum mendapatkan hati lo itu?”
“Karena Oji lebih sering bersama gue, di banding lo yang selalu sibuk sama buku tebal lo,” ucap Rasha dingin. Ia lantas menghempas cengkraman tangan Aksa, lantas tersenyum miring penuh ejekan. "Nggak ada orang yang cukup waras untuk naksir sama modelan lo itu Sa. Cowok yang bahkan nggak tau caranya nikmatin masa muda itu sendiri."
Aksa masih terperangah di tempatnya berdiri. Cowok itu berdecak, mengacak rambutnya kasar. Ia melirik kantung kertas itu, dan dengan emosi menendangnya begitu saja. Menimbulkan suara pantulan plastik yang cukup nyaring. Pemuda itu segera bergegas pergi dari sana, tak memperdulikan isi kantung yang sudah berserakan. Tak sadar bahwa tak lama sejak dia pergi, pintu dari ruang musik terbuka.
“Gila,Aksa serem banget.” Wilsa mengelus dadanya yang masih kaget melihat tadi. Kalau ia merekamnya dan mempostingnya pasti satu sekolah akan gempar. Murid teladan dan Ketua Cheers, perpaduan yang spektakuler bukan?
“Jangan dijadiin bahan gosip.”Fiona memberikan peringatan menangkap raut mencurigakan Wilsa, yang terlihat tak sabar memberi tau orang-orang akan apa yang baru saja ia saksikan. “Cukup lo dan gue aja yang tau.”
“Yaelah, gue juga gosipnya sama temen-temen kita doang,” balas Wilsa tersenyum lebar. Jika temannya sudah berkata demikian maka Wilsa senang hati menutup mulutnya rapat-rapat. Selain itu dia memang tidak merekam kejadian barusan, akan mudah memutar balikkan gosip tersebut jika tidak ada bukti konkrit yang bisa diberikan. “Lagian gue nggak foto ataupun rekam kejadian tadi. Kan hape gue dicas dalam kelas.”
“Ya udah, lo duluan deh ke parkiran nanti gue nyusul.” Fiona menutup pintu ruang musik di belakangnya, lantas menunduk membenarkan ikatan salah satu sepatunya yang melonggar. “Gue benerin tali sepatu dulu.”
Untungnya Wilsa tidak banyak protes. Perempuan tersebut berjalan lebih dulu menuju tangga, meninggalkan Fiona di koridor yang ada di lantai 2. Ketika memastikan sahabatnya itu sudah turun, dan tak ada lagi siapa-siapa di koridor. Fiona bergegas menghampiri kantong tersebut. Beberapa barang yang keluar dari dalam kantung tadi terdiri dari gelang, beberapa lembar foto polaroid,boneka kecil, dan sebuah toples. Ia mengambil toples plastik yang dicat sisinya berwarna putih, sehingga ia tidak bisa melihat apa isinya.
Perlahan ia tersenyum miris. Aksa dan dirinya tak jauh beda. Setidaknya ia lebih beruntung, ia tidak menunggu selama 3 tahun dan ditikung seperti Aksa. Walaupun ia tak tau, apa Oji tau soal perasaan Aksa atau tidak. Mengingat hubungan keduanya yang cukup dekat.
“Ternyata kita sama ya, Sa. Mencintai dua orang yang salah.”