Terlihat Umum

1707 Kata
Dia baru ingat kalau darah menstruasi selalu bisa menarik kuntilanak untuk mendekat karena bau anyirnya. Tapi Ros tahu dia tak boleh gentar hanya karena makhluk ini menyebutkan akan menghisap darahnya. Ros tetap berkonsentrasi dan tetap meneruskan rapalan doanya. “Dengan izin penguasa tunggal alam semesta ini, aku perintahkan kau agar menyingkir dari tempat ini, sekarang juga!!” tangan Ros seolah mendorong makhluk tersebut dan seiring dengan itu angin berhawa panas melaluinya. Pekik kesakitan yang jauh lebih melengking terdengar seakan bisa menyayat hati siapa saja. Makhluk itu seperti menangis dan meratap kesakitan. Namun sekejap mata, makhluk itu seketika lenyap begitu saja dan nafas Ros langsung tersengal-sengal. Wajahnya berkeringat, lututnya juga sedikit lesu, lalu dia berlutut sambil menjerit sekencangnya. Akhirnya pekerjaannya malam ini selesai juga. Betapa lelah dan capeknya dia malam ini seperti maling yang baru saja dipukuli satu warga.  “Ooohh, Rooooos. Kamu baik-baik saja, nduk? Kenapa, butuh apa, minta apa, cepat bilang bapak, nduk.” Pak Joko membantu Rosmanah berdiri. Energinya seperti terkuras habis. Setiap selesai berurusan dengan makhluk macam ini, Ros selalu kelelahan setengah mati. Tulang-tulangnya seakan melebur di dalam sana, karena Ros sampai tidak bisa bangun sendiri. “Haus, pak. Haus.” Ros mengeluh lirih. “Air... air...,” Pak Joko merengkuh tubuh putrinya yang kini nyaris tak bisa berdiri. Bapak itu membantu Ros untuk meluruskan kakinya.  “Oh, mau minum to, nduk. Sebentar bapak ambilkan dulu di tas perbekalan kita.” Ros mengangguk pelan. Karena tas itu ditaruh di tempat tadi dia dan pak makmur –yang masih pingsan- berdiri, maka pak Joko dapat cepat kembali menghampiri Ros yang kelelahan seperti baru berlari mengelilingi GBK 10 kali tanpa henti. “Ini minumnya, ini, nduk. Diminum pelan-pelan.” Setelah air mineral dalam botol enam ratus mili itu dibukanya, Pak Joko membantu memegangi botol tersebut untuk minum Ros. “Pak Makmurnya kemana, pak?” tanya Ros setelah menghabiskan seluruh air dalam botol tersebut. “Tuh, pingsan. Pas tadi setannya kamu ajak ngobrol, dia udah lemes. Bapak biarin aja. Takutnya kalau dibangunin dia bakalan pingsan lagi karena suara setannya masih kedengaran.” Ros dan pak Joko tertawa bersamaan. “Kita pulang, ya, pak. Capek banget badan aku, pak. Ayam gorengnya masih ada nggak, pak?” “Kamu ini kok ngomongnya ngelantur, sih, nduk? Memangnya bapak beliin kamu ayam goreng tadi buat siapa kalau bukan buat kamu?” pak Joko memapah Ros bangun. “Ayo, kita pulang. Tapi sebelumnya kita bangunin dulu pak Makmur. Sekalian minta dia bayar sisa bayaran kamu. Kemarin dia baru DP setengahnya.” Gadis itu mengangguk pelan. Ketika dia sudah sanggup berdiri tanpa perlu ditopang oleh tangan sang ayah, Pak Joko mulai membangunkan pak Makmur yang ternyata sulit sekali dibangunkan. Sampai akhirnya pak Joko meminta sisa air di botol yang dipegang Ros untuk menyadarkannya.  “Uwaaaahhh! Setannya, setannya mana, pak? Setannya udah pergi belom?” tanya pak Makmur blingsatan . “Sudah pergi pak, setannya. Sekarang bapak sudah bisa melanjutkan proses pembangunan kos-kosan di tanah ini. Saya jamin setannya sudah tidak ada di sini. Tanah ini sudah bersih.” “Sungguh, Ros? Kamu nggak bercanda?” pak Makmur mencoba meyakinkan. “Saya panggil lagi nih kalau gitu, biar bapak percaya, ya.” Ros berlagak seolah akan melakukan ritual pemanggilan arwah lagi. Namun pak Makmur lekas mencegahnya dengan panik. Ros juga hanya gertak sambal. Sebab tak mungkin ia memanggil arwah yang sudah ia kirim ke alam baka. “E-eeh, Ros, jangan-jangan. Iya, saya percaya sama kamu. Percaya banget. Setannya jangan dipanggil lagi.” Pak Makmur mencegah Ros dengan wajah ngeri plus khawatir yang tak bisa disembunyikan. Ros dan Pak Joko bertatapan kemudian tersenyum. “Ya, sudah, pak Makmur. Ros nggak bakalan panggil setannya lagi. Terus juga tolong, pak makmur, sisa DP-nya dilunasi sekarang, ya. Kita juga harus pulang karena ini udah dini hari.” “Oh, iya, iya, Pak Joko. Saya akan transfer pakai mobile banking. Sebentar, ya.” Pak Makmur lekas mengeluarkan smartphone-nya. Hanya menunggu kurang dari lima menit, pak Makmur langsung menunjukkan bukti transfer telah berhasil dilakukan. “Ini, pak, bukti transfernya. Sisa pembayaran sudah saya selesaikan.” Pak Joko mengangguk-angguk puas. Sementara Ros tampak tak acuh dan masa bodoh. Yang dia pedulikan sekarang adalah betapa dia ingin segera ada di rumah dan mengganti pakaiannya kini dengan piyama. Dia ingin segera berada di bawah selimut buluknya. Dia ingin segera ada pulang. Itu saja. * Pada senin paginya, Rosmanah bangun terlambat. Biasanya dia bangun sebelum pukul enam. Tapi pada pukul enam lewat tiga puluh, dia masih gedabak-gedebuk karena dia bangun dengan terlonjak. Tujuan utamanya langsung ke wastafel. Dia tidak peduli lagi akan pentingnya mandi atau kegiatan membersihkan diri. Ros langsung gosok gigi dengan semangat karena tergesa. Setelah selesai dia langsung mengganti piyamanya dengan seragam sekolah. Rambut panjangnya yang awut-awutan langsung disisir asal-asalan. Namun karena pada dasarnya rambutnya itu lurus, maka rambutnya cepat rapi. Sambil berjalan keluar kamar dia menggelung rambutnya. “Paaaaaak Udiiiiiin, mobil disiapin belom? Aku telat nih?” tanyanya berteriak pada supir pribadinya. “Sudaaaaah, nooon,” sahut pak Udin sambil mendekat dengan tergopoh. “Aduh, mampus! Tas gue mana ketinggalan,” rutuknya gemas pada diri sendiri. “Bentar, pak udin. Tasku ketinggalan.” Ros kembali ke kamarnya dan langsung mengambil tasnya. Dia bahkan lupa hari ini ada pelajaran apa. Karena tak terpikirkan untuk melihat jadwal pelajaran, Ros memasukan semua buku yang ada di rak ke dalam tasnya. Anehnya, dia tak lupa untuk memakai gelang, kalung dan juga dua cincin kembar yang dipakai di jari tengah dan telunjuk tangan kanannya. Itu semua bukan aksesoris biasa. Itu adalah jimat yang mampu menangkal segala macam hawa jahat yang mungkin saja mengincarnya. Gelungan rambutnya juga bukan sembarangan. Rambut panjangnya yang selalu membentuk sanggul mungil itu adalah ciri khasnya juga dalam menghindari gangguan hantu. Orang Jawa percaya, jika hantu tak akan mendekati gadis yang menggunakan sanggul atau mengikat rambutnya. Ros bergegas keluar dari kamarnya dengan langkah panjang, nyaris berlari. Begitu melewati meja makan, seorang pembantu rumah tangga memanggilnya untuk sarapan. “Noon, ini sarapannya sudah bibik siapin.” “Nggak sempet, bik. Aku udah telat.” Ros menjawab sambil berlalu. Namun ketika dia melewati ruang tengah, ayahnya kontan memanggilnya.  “Loh, loh, nduk. Kamu kok terburu-buru gitu, nduk? Sudah sarapan belom kamu? Main pergi aja.” Pak Joko bangun dari sofa empuknya. “Aduh, pak. Boro-boro kepikiran buat sarapan, buat mandi aja aku udah nggak peduli kalo telat begini.” Kemudian pak Joko mengucapkan kalimat yang begitu lumrah dikatakan semua orangtua pada anaknya.  “Tapi kamu bisa sakit nanti, nduk, kalo nggak sarapan.”  “Ntar aku makan ekstra pas istirahat, pak. Udahan dulu ya tanya jawabnya. Aku harus berangkat sekarang. Dah, bapak!” Sambil menyempatkan mencium tangan orangtuanya, Ros melesat keluar rumahnya dan langsung masuk ke sedan biru dongker miliknya. “Jalan sekarang pak Udin. Ngebut kalo bisa.” Perintahnya ketika sudah di dalam mobil. “Siap, non. Jangan lupa pakai sabuk pengaman tapi, ya.” Pak Udin mengangguk lalu tersenyum geli. “Iya, iya. Buruan berangkat.” Mobil pun melaju perlahan dan membelah kelengangan jalanan di komplek perumahan real estate tersebut. Pak Udin memang supir andalan idaman non majikan. Hanya dalam dua puluh menit saja, kini mereka sudah sampai di depan gerbang sekolah Ros. “Buruan lari Non!” saran pak Udin sambil mengepalkan tangan pada Ros. “Kagak Pak Udin kasih tahu juga Ros udah tahu, Pak. Udah, ya. Ros masuk dulu. Jangan telat jemput Ros nanti siang.” Ros lekas keluar mobil dan buru-buru berlari masuk. “Iya, Non. Siap.” Kesanggupan supir pribadinya itu tidak dapat didengar Ros karena dia keburu lari sekuatnya masuk ke area sekolahnya. Sebetulnya dia tak perlu lari seperti atlet juga. Karena tinggal menyebutkan nama, Ros pasti akan mendapatkan pemakluman spesial dari sekolah. Maklum juga, pak Kepala Sekolahnya pernah berhutang jasa padanya. Meskipun guru tetap akan memandangnya tak suka, Pak Kepsek tetap akan paham. Rosmanah memang seorang gadis yang terlihat biasa saja. Sama seperti gadis remaja berusia tujuh belas tahun pada umumnya. Tapi kelihatannya saja lho. Padahal di balik itu semua, Ros menyimpan banyak kelebihan dan juga prestasi yang membuat orang tertolong. Tapi prestasi dan kelebihan yang sedang dibahas disini bukanlah dari bidang atau segi akademis maupun olahraga seperti kebanyakan manusia normal. Rosmanah sangat berprestasi dan berbakat dalam hal mengusir makhluk astral yang masih berkeliaran. Apalagi jika mereka sampai mengganggu atau mencelakakan orang. Rosmanah sebetulnya tidak membuka secara resmi praktik pengusiran hantu yang tanpa sadar sudah ia lakukan sejak taman kanak-kanak itu. Tapi kelebihannya yang satu itu ternyata berguna untuk sebagian orang. Itu jugalah yang kemudian dimanfaatkan dengan baik oleh bapak tunggalnya, Pak Joko, yang selalu bersama Ros saat melakukan ritual pengusiran makhluk halus dan tak lain adalah ayahnya.  Ros sudah ditinggalkan sang ibu sejak ia lahir. Berdasarkan cerita yang ia dengar dari Bapaknya, Ros sudah mendapatkan anugerah tersebut bukan hanya karena kebetulan dan tanpa sejarah. Gantung siwur atau nenek moyangnya yang telah mewariskan karunia tersebut padanya. Meskipun awalnya Ros pun merasa hampir gila dan terganggu dengan semua hal yang seharusnya tidak dia lihat, namun lama kelamaan dia akhirnya mulai terbiasa juga. Saat Ros sedang buru-buru menuju kelasnya, mendadak Ros merasakan suatu energi yang berbeda. Gadis muda itu melihat ke belakang. Namun tidak ada apa-apa di sana. Ros jelas merasa tak mungkin salah lihat. Sejak turun dari mobil tadi, sepertinya sudah ada yang mengikuti Ros. Tentu saja yang mengikutinya tersebut bukanlah manusia. Anehnya, energi yang dirasakan Ros juga menandakan makhluk tadi bukan makhluk astral yang biasa Ros hadapi selama ini.  Ros mengangkat kedua bahu dan tidak mau ambil pusing. Dia memilih untuk tetap berjalan cepat dan fokus segera masuk ke kelas Langkah kakinya padahal sudah dia percepat dua kali lipat, namun kelasnya masih belum juga terlihat. Pada mulanya Ros bahkan tak mengerti kenapa dia kemudian masuk ke sekolah ini. Sebab dalam pandangan Ros, sekolah ini lebih mirip istana kepresidenan ketimbang tempat untuk menuntut ilmu. Lapangannya super luas. Lengkap dengan lapangan bola, basket, kolam renang, badminton. Tak ketinggalan aula yang (sebetulnya) bisa disewakan pada panitia lokakarya jika mereka kebetulan ada acara mendadak. Setelah beberapa menit berlari kencang mencari kelasnya, akhirnya Ros sampai juga di depan ruang kelasnya. Pintunya sudah tertutup. Bukan sebuah hal besar sebetulnya. Tapi itu akan jadi masalah, jika di balik pintu itu guru super galak -yang masih melajang di usianya yang sudah kepala empat- ternyata sudah berdiri dengan takzim di depan teman-temannya yang bertampang pasrah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN