Bab 2.1 : Stereotipe Pendidikan Bak b***k

1134 Kata
kalo lo adalah hiu, jangan pernah mau disuruh ngambil nilai dari kemampuan untuk menebang kayu. lo itu predator bawah laut, bukan pencuri jati gelondongan. - kevriawan, 2020   = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =   Bab 2 : Stereotipe Pendidikan Bak b***k       Menurut pakar pendidikan dari Universitas Harvard, Howard Gardner, setiap manusia memiliki delapan kecerdasan. Howard membaginya menjadi delapan jenis kecerdasan anak, yaitu word smart (kecerdasan linguistik), number smart (kecerdasan logika atau matematis), self smart  (kecerdasan interpersonal), people smart (kecerdasan interpersonal), musik smart (kecerdasan musikal), picture smart (kecerdasan spasial), body smart (kecerdasan kinetik), dan nature smart (kecerdasan naturalis).  Dari sana para ahli menjelaskan bahwa setiap dari kita memiliki kesemua delapan kecerdasan itu. Namun, pada dasarnya manusia memang haram hukumnya untuk maruk. So, dari semua itu hanya satu yang paling menonjol. Ibaratkan ranking, kecerdasan - kecerdasan itu akan membentuk urutan. Pastinya dari mulai nomor satu sampai nomor delapan. Mungkin ini salah satunya Einstein pernah bilang bahwa lo, dan gue, kita … enggak boleh menilai kecerdasan ikan dari cara dia memanjat pohon. WTF, man! Gila saja, gimana caranya lo ngasih nilai sama seekor ikan untuk test keahlian dia memanjat pohon? Masuk akal? Enggak. Iya, gue sudah tahu betul itu enggak masuk akal. Namanya ikan, ya dia sudah pasti jagonya berenang. Sedangkan untuk urusan panjat memanjat pohon, itu pasti urusan monyet, kan? Tapi gue sedih. Jujur, ini beneran sedih. Enggak tahu kenapa, tapi memang begini mirisnya tingkat pendidikan di negeri gue tercinta. Percaya atau enggak, sekarang - sekarang ini kalian pasti sudah mulai menyadari bahwa era sudah berubah. Zaman pun sudah bergeser. Gue juga yakin kalau gue, dan mungkin lo yang membaca tulisan ini sudah mengetahui bahwa enggak semua anak memiliki kecerdasan yang sama rata. Pertanyaannya, wahai orang tua … apakah Anda - Anda sekalian masih saja memaksa anak dengan sesuatu yang tidak dikuasainya? “Jon, MTK itu mudah, asal kamu mau belajar, terus mencoba dan rajin berlatih.” Kalimat itu dilontarkan oleh guru les MTK gue yang kata Emak merupakan guru les privat yang paling sabar dalam menghadapi anak - anak. Ini kejadian sewaktu gue SMP. Entah ada angin apa, gue tiba - tiba merasa bodoh banget sama yang namanya matematika. Pelajaran satu itu benar - benar bikin hidup gue sengsara, dan sekolah terasa mati - matian. Bener! Gue enggak bohong. “Tapi Bu, saya masih enggak ngerti.” Gue mengeluh, ini sudah soal kesepuluh dan kepala gue rasanya panas. Mungkin ada asap yang mengepul sekarang di atas kepala gue. “Enggak apa - apa, dicoba lagi, ya. Aljabar enggak susah, kok. Cuma problem - nya si X yang harus ketemu Y.” Guru les gue nyahut dengan perumpamaan seringan kapas. Ampun, deh, si Ibu! Gue juga tahu kalau aljabar itu, dari jaman kuda gigit besi ya persoalan yang dibahas cuma X ketemu Y. Masalahnya adalah otak gue benar - benar enggak nyampe untuk memahami pembasahan gimana caranya X ketemu Y lalu jatuh cinta dan membuat anak bernama Z. Halah, ribet!  “Saya enggak bisa, Bu.” “Dicoba dulu, Jon.” Bu Guru ini pantang menyerah. “Dari tadi juga udah nyoba.” Dia masih ngotot minta gue mengerjakan. “Ya, kamu jangan menyerah.” “Iya, tapi saya udah lelah, Bu.” Gue sudah masa bodo amat sama si Ibu Guru les ini. Lagian, harus berapa kali gue bilang ke Emak, kalau gue enggak suka MTK. Beda sama si Budi yang seumur hidupnya, bahkan setiap napas dan oksigen yang dia hirup, mungkin sudah dihitung berapa sirkulasi udara yang masuk. Gue mah boro - boro. Kayaknya pas nanti UN, kalau - kalau lolos 4,25 --- yang cuma syarat lulus doang, kayaknya enggak apa - apa. Eh, syaland … beneran kejadian dong. Sebenarnya kejadian itu sudah berlalu bertahun - tahun yang lalu. Tapi, gue masih ingat … ya, mungkin karena sangat membekas. Entah, deh. Katanya pikiran anak kecil itu polos dan bakalan ingat sama apapun yang berkesan banget. Mungkin pengaruh MTK ke gue segitu negatifnya. Sehingga sampai sekarang hal - hal yang gue ingat cuma perkara MTK itu susah. Titip, eh, titik! Tapi kalian jangan salah. Kejadian yang sudah berlalu itu justru semakin sering terulang lagi, lagi, lagi, dan lagi --- kayak momogi. Buktinya sekarang, saat gue sedang duduk di kelas lab akuntansi, yang sebenernya enggak bisa juga dibilang lab sih. Sama sekali enggak ada peralatan untuk uji coba kodok di sini. Enggak ada juga sederet program canggih yang pake ujian meng-hack. Sebenarnya ini cuma kelas latihan akuntansi bersama asdos, alias asisten dosen. “Kak, saya masih enggak ngerti.”  Ini sudah kali kelima gue mengulang pertanyaan yang sama. Mahasiswa lain mungkin sudah jengah sama ketululan gue yang haqiqi tiasa batas ini. Masa iya sudah diulang sampai lima kali masih belum nyantol. Ya, tapi gimana … emang belum nyantol. Habis ini doi mau ngasih kelas gue kuis. Dari tiga kuis yang sudah berlalu, gue cuma bisa mendapatkan score tertinggi senilai lima puluh lima koma dua. Sedih? Iya. Gue harus survive soalnya di kelas ini. “Kamu coba ulang lagi. Kan sudah saya kasih contoh soal, dan soal sama persis kayak contoh.” Si Kakak Asdos bilang begitu. Okelah, gue akan coba. Gue tengok soalnya, kemudian membacanya bolak - balik selama beberapa menit. Dan hasilnya … gue benar - benar ambyar! Ini, sih, bukannya paham. Yang ada gue malah hampa. Lagian, soal yang doi kasih ke gue itu sama sekali kagak ada persis - persisnya sama contoh yang ada di papan tulis. a***y, lah … ingin gue berkata kasar, tapi enggak boleh. Anak ganteng harus menahan diri, oke sip. “Kak, masih enggak paham.” “Kalau gitu kamu jangan nyerah. Coba lagi.” Untung Kakak Asdosnya baik, biar kesel tapi enggak jutek. “Kayaknya saya emang enggak bisa, deh.” “Pasti bisa, kamu banyak latihan makanya.” sambungnya lagi. Loh, loh, loh … kok rasanya dejavu ya? Apakah Kakak Asdos ini merupakan anak dari guru les MTK yang dulu juga mengajari gue? Kenapa, sih, omongan mereka sama persis. Semuanya selalu nyuruh gue belajar, mencoba lagi, berlatih lagi, jangan menyerah. Padahal jelas - jelas gue udah bilang kalau gue enggak bisa, enggak paham. Please, Kak, gue sudah pernah mantengin materi ini dari pagi, sampai ke pagi lagi … dan memang sama sekali enggak menemukan solusinya. Otak gue hanya … ya, stuck aja gitu disitu. Tanpa sebab, tanpa gue tahu harus gimana atau ke mana untuk memperbaikinya. Segala cara sudah gue coba. Ini, nih. Kayak yang si Einstein bilang. Ibarat kata gue ikan, jagonya berenang … tapi malah dipaksa memanjat pohon. Ya, jelas lah gue enggak bisa, Malih! Sampe tangkuban perahu beneran kebalik lagi dari gunung jadi perahu juga enggak bakal ada sejarahnya monyet hidup di air sedangkan ikan memanjat pohon. Beda habitat, Qaqa!   * * * * *  to be continued * * * * *    By the way, kalau kalian merasakan sama seperti apa yang Jono rasakan, boleh banget langsung di tap LOVE nya gaes. Atau bisa juga kalau kalian mau add cerita ini ke library atau perpustakaan. Supaya kalau next time saya update, kalian enggak ketinggalan beritanya, hihiw~ Oke deh, kalau gitu see you in the next chapter ya!   Bye ....    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN