PROMISE - BAB 3

2130 Kata
"Masa lalu saya adalah milik saya, masa lalu kamu adalah milik kamu, namun masa depan adalah milik kita bersama." ~BJ. Habibie. Habibiku sering berkata seperti itu. Memang masa laluku begitu kelam dan hitam. Dosa masa laluku seakan tampak setiap saat ketika aku ingin memberikan hak suami di atas ranjang. Namun, Habibi tahu dan menyadari itu. Aku yang ketakutan saat mengingat itu membuat Habibi semakin melindungiku dan kadang sedikit memberiku pengertian. Aku berjalan di samping Habibi menuju ke taman kecil yang ada di rumah sakit. Sudah banyak sekali anak-anak yang menunggu kami. Aku duduk di tengah-tengah di antara anak-anak yang sedang berjuang melawan rasa sakitnya. Anak-anak hebat yang kuat, yang berusaha tersenyum di balik rasa takut yang mengancam pada dirinya. Aku mulai membacakan sebuah dongeng pada mereka. Mereka sangat antusias mendengarkannya. Habibi terlihat sedikit menerjemahkan bahasa yang aku sampaikan pada mereka. Karena aku belum paham sekali dengan bahasa yang di gunakan sehari-hari di Budapest. Hanya berbekal Bahasa Inggris dan Jerman ku yang sedikit pas-pasan. Untung suamiku selalu mengajariku. Aku beruntung memiliki suami seperti Habibi. Dia selalu mengerti aku. Walaupun aku tidak bisa mengerti apa yang ia inginkan. Lebih tepatnya, aku belum menjadi wanita seutuhnya untuk dia. Aku malu, aku bukan wanita sempurna. Bingkaiku yang indah sebagai wanita sudah rusak, sudah retak bahkan sudah hancur berkeping-keping. Semua itu karena hubunganku dulu dengan Dio. Ya, hubungan cinta yang terjadi antara aku dan Dio, membuat aku menyesali hingga sekarang. Dan aku belum berani jika Habibi menyentuh tubuhku. Benar kata Rania, seorang wanita yang berani mempertaruhkan kehormatannya pada laki-laki yang dicintainya dan belum menjadi muhrimnya akan menyesal seumur hidupnya. Rania selalu bicara padaku, sebaik-baiknya wanita adalah wanita yang bisa menjaga kehormatannya, walaupun di depan laki-laki yang dicintainya. Dia juga sering berkata padaku bahwa sejatinya wanita ada pada kehormatannya. Kalau kehormatan itu sudah rusak, maka rusaklah hidup wanita itu, seumur hidupnya. Dan saat ini, aku merasakannya. Aku merasakan hidupku sudah hancur sehancur-hancurnya. Bahkan aku takut, aku takut di sentuh oleh suamiku sendiri, karena aku merasakan hina di depan suamiku. Suamiku adalah lelaki sempurna, dan aku adalah wanita yang sudah tidak sempurna jika di katakan wanita baik. Bingkaiku sudah hancur, dan apa aku harus memberikan diriku yang sudah rusak ini, pada suamiku? Akan aku berikan, namun aku membutuhkan waktu dan keberanian ku. Habibi membawa anak-anak masuk ke dalam ruang perawatan lagi setelah aku menyelesaikan dongengku yang membuat mereka bahagia saat mendengarnya. Aku juga membantu mereka masuk ke dalam ruang perawatan. Aku kadang selalu berpikir, mereka yang tidak sempurna saja ingin membahagiakan orang tuanya dengan wajah yang bahagia dan tawa renyahnya. Meskipun rasa sakit melanda di sekujur tubuhnya. Aku teringat Abah saat ini. Aku banyak berdosa dengan Abah. Meskipun Abah sudah mengampuni dosa-dosaku. Aku masih saja menyesalinya. Aku merasa diri ini kotor dan hina. Aku teringat betapa murkanya Abah denganku, saat Abah melihat aku di dalam kamar bersama Dio. Abah menamparku dan membiarkan aku pergi. Dan, aku memilih pergi selama 1 tahun di Budapest, karena di ajak oleh Nuri dan bekerja di butiknya. Aku duduk di depan ruang ICU. Habibi sedang menangani pasiennya yang sedang kolaps bersama Dokter spesialis Kanker, yang tak lain adalah opanya sendiri. Ya, Opa Wisnu, atau yang sering di sapa Dokter Andy adalah dokter spesialis Kanker. Opa Wisnu adalah Dokter yang dulu menangani Oma Andin saat Oma Andin sakit kanker otak. Papah Elang juga sama, beliau adalah Dokter Spesialis Kanker, tapi beliau sekarang sedang pulang ke Indonesia. Anak sekecil itu sudah harus menderita kanker otak. Beruntung papah mertuaku dan opanya suamiku adalah dokter spesialis Kanker. Jadi merekalah yang menangani anak-anak yang menderita penyakit kanker. Suamiku hanya tinggal dengan papah dan opanya. Karena mamah mertuaku sudah meninggal 4 tahun yang lalu. Tepatnya saat Habibi menyelesaikan pendidikan sebagai Dokter Spesialis anak. Aku masih menunggu di depan ruang ICU dengan membuka-buka galeri di ponselku. Aku pandangi potret Abah dan ummi, serta diriku yang masih kecil. Aku tahu, betapa menyesalnya Abah yang gagal mendidikku. Aku menjadi anak yang durhaka dan tidak bisa menjaga kehormatanku sebagai seorang perempuan. Aku sudah menyakiti hati Abah. Betapa kecewanya abah saat itu. Dan mungkin ummi juga tersiksa di alam kubur saat aku seperti itu. Aku yang selalu menentang abah, dan masih berhubungan dengan Dio yang jelas-jelas dia sudah beristri, dan istrinya adalah sahabatku sendiri. Kala itu aku tidak bisa mengendalikan diriku. Setelah 6 bulan Dio menikah dengan Rania, hubungan ku dan Dio masih berjalan di belakang Rania. Namun, Rania sudah mengetahuinya. Rania benar-benar wanita yang sabar, mungkin jika aku menjadi Rania aku tidak bisa memaafkan orang yang sudah menyakiti hatiku. Rania justru masih menganggapku sebagai sahabatnya. Dan hingga sekarang dia juga sering menanyakan kabarku di sini. Aku yang masih tidak enak dengan dia, kadang aku canggung untuk membalas pesan dia atau bercerita lebih akrab lagi dengan dia. Setelah kedua orang tua Rania meninggal, dan melewati beberapa rintangan dalam rumah tangganya bersama Dio, akhirnya Rania rujuk kembali dengan Dio setelah hampir satu tahun mereka bercerai. Mungkin karena aku mereka bercerai, atau faktor pribadi mereka aku tidak tahu. Yang aku tahu, mereka dulu menjauh karena ada kesalahpahaman pada mereka. Dan, aku tahu itu dari Shifa saudara kembar Dio, dan dari Raffi adik kandungku. Memang aku tidak tahu setelah aku memilih pergi dari rumah, dan tinggal di Budapest tanpa ada seorang pun yang tahu aku di Budapest. Abah menyuruhku pergi dari rumah, setelah Abah tahu kalau aku masih berhubungan dengan Dio. Mereka memergokiku di villa pribadi Dio saat aku berada di kamar bersama Dio. Saat itu, aku merasakan abah begitu murka dengan aku. Hingga aku berkali-kali di tampar oleh abah, dan Abah menyuruhku pergi dari rumah. Saat itu juga aku berpamitan dengan semua keluargaku, Abah, bunda, opa, Rania, Dio, Raffi, dan Arkan. Aku berpamitan pergi dari rumah, tapi aku tidak memberitahukan ke mana aku pergi, dan aku juga tidak tahu harus pergi ke mana. Hingga aku bertemu dengan Nuri di sebuah supermarket. Nuri adalah sahabatku sewaktu kuliah. Aku tinggal bersama Nuri, karena Nuri menyuruhku ikut ke rumahnya. Dan, aku menceritakan semua pada Nuri apa yang sedang aku alami. Karena Nuri memiliki sebuah butik yang sangat besar di Budapest, dia mengajak aku tinggal di sana. Karena dia hanya tinggal sendiri di sana. Dia pulang ke Indonesia karena ingin berkunjung ke makam ke dua orang tuanya. Dan, ternyata Nuri adalah saudara sepupu dari Habibi, suamiku. Sejak tahu aku bersama Nuri, Habibi selalu mendekatiku lagi. Dia juga mendesak ku agar aku cerita apa yang sebenarnya terjadi, sehingga membuat aku berada di Budapest. Akhirnya dengan keberanian hatiku, aku menceritakan pada Habibi. Habibi begitu terkejut mendengar penuturanku. Tapi, itu semua tak merubah Habibi untuk berhenti mencintaiku dan menginginkan aku untuk menjadi istrinya. Dengan sabar dan penuh perjuangan Habibi akhirnya bisa meluluhkan hatiku untuk menikah dengannya. Tidak berhenti di situ perjuangan Habibi untuk menikahi ku. Saat aku sudah merasa nyaman dan melupakan Dio. Kami bertemu kembali dengan Dio dan Rania, juga Shifa dan Fattah, serta dua adik laki-lakiku, yaitu Arkan dan Raffi. Mereka berlibur di Budapest, karena Fattah adalah sahabat Habibi, jadi mereka saat berlibur berada di rumah Opa Wisnu. Aku begitu kaget mereka berada di rumah Opa Wisnu. Dan, aku begitu takut dan malu, saat ada Rania dan Dio. Aku pergi, dan Habibi mengejarku, dia membujukku agar aku mau menemui mereka. Habibi tahu hatiku saat itu, aku belum siap dan aku begitu malu bertemu dengan Rania dan Dio. Dia terus berusaha agar aku mau menemui Dio, Rania, dan lainnya. Walau bagaimanapun mereka adalah saudaraku. Itu yang Habibi tuturkan padaku. Dan, akhirnya aku mau menemuinya dengan di dampingi Habibi, juga Opa dan Papah Elang. Setelah mereka kembali ke Indonesia. Habibi berencana menikahi ku dan menemui Abah. Memang Perniakahan kami sudah direncanakan sebelum mereka berlibur di Budapest. Sebulan setelah mereka mengunjungi Budapest, kami ke Indonesia untuk menemui Abah dan meminta restu. Sungguh ini mungkin suatu kebetulan, saat keluarga kami bertemu, Opa Rico dan Opa Wisnu saling mengenal. Opa Wisnu adalah Dokter Andy. Beliau ternyata Dokter yang dulu menangani Oma ku saat sakit kanker otak. Betapa bahagianya Opaku dan Opa Andy. Mereka akhirnya bisa berbesanan, karena dulu saat aku dan Habibi masih kecil, mereka membicarakan akan menjodohkan kami. Dan, ternyata kami berjodoh. Aku bahagia kala mengingat itu. Dan dari situlah hubungan aku dengan Abah, opa, dan bunda baik lagi. Aku bersujud di depan abahku saat itu. Aku memohon ampun karena sudah menjadi anak yang durhaka. Begitu pula dengan bunda dan opa. Aku juga bersimpuh di depannya meminya maaf. Satu Minggu setelah itu, aku menikah dengan Habibi, dan setelah menikah, aku dan Habibi tinggal di Budapest lagi. Karena tugas Habibi belum selesai di sini. Saat aku menikah Rania sedang hamil muda. Sekarang dia sedang menunggu kelahiran buah hatinya yang di prediksi kembar. Dan, kabar baik juga datang dari Shifa. Dia hamil, dan sekarang kandungannya sudah memasuki bulan ke-5. Aku sungguh bahagia mendengarnya. Mereka sudah hidup bahagia dan akan memiliki momongan. Sekarang hanya aku, aku yang belum bisa memberikan cinta seutuhnya pada Habibi. Dan hingga detik ini aku masih perawan. Aku belum di sentuh secara dalam oleh Dio. Dio hanya merusak bingkaiku saja sebagai wanita. Aku menyudahi mengingat masa laluku. Aku ingin menutupnya rapat-rapat tanpa mengingat lagi. Dan, aku akan mencobanya untuk bisa menerima Habibi, aku akan mencoba memberanikan diriku di sentuh oleh Habibi. Karena dia adalah suamiku. Dia muhrimku, panutan hidupku. Aku mencintainya, tapi aku takut saat akan di sentuh Habibi. Aku begitu hina sekali di hadapan Habibi yang terlalu sempurna untukku. Memandangi potret Abah dari tadi aku menjadi ingin pulang, ingin tidur di pangkuan Abah. Ingin bercerita tentang hidupku yang bahagia karena memiliki suami yang baik dan sangat menyayangiku. Tapi, aku tidak tahu kapan aku akan pulang ke Indonesia. Habibi masih sibuk bertugas di rumah sakit ini. Aku hanya bisa menabung rindu untuk Abah dan bunda, juga opa yang selalu menyayangiku. Dan setiap hari selalu saja meneleponku, menanyakan aku sudah hamil apa belum. Habibi keluar dari ruang ICU. Dia duduk di sampingku. Mengusap kepalaku dan mencium keningku. Seperti itu suamiku, kalau dia sudah lelah dengan pekerjaannya, dia selalu mencium ku. Dan Habibi selalu bilang padaku, aku adalah kekuatannya. Aku adalah napasnya. Tak peduli seberapa kelam masa lalu ku. Karena bagi Habibi merangkai masa depan bersamaku adalah napas baru baginya. "Maaf membuat kamu menunggu," ucap Habibi sambil menyentuh pipiku. "Tidak apa-apa? Bagaimana Kenan?" Aku menanyakan pasiennya yang bernama Kenan yang baru saja ia tangani di ICU. Raut wajah Habibi menjadi redup, matanya berkaca-kaca. Dia menyandarkan kepalanya di bahuku, aku mengusap lembut kepala Habibi dan mencium keningnya. Habibi mencium tanganku dan aku mendengar Habibi terisak di bahuku. "Kenan sudah tidak ada, aku gagal lagi, sayang. Kenapa penyakit itu begitu kejam merenggut semua nyawa. Aku merasa gagal menjadi seorang dokter jika seperti ini," ucap Habibi dengan terisak. "Jangan seperti itu. Kenan sudah tidak sakit lagi. Allah lebih sayang pada Kenan, kamu seorang dokter, hanya bisa mengobati semaksimal mungkin. Tetap, takdir adalah milik Allah, sayang. Kematian, rezeki, jodoh, semua Allah yang mengatur. Jangan menangis lagi, kamu sudah melakukan yang terbaik, kamu dokter terbaik di rumah sakit ini." Aku mencoba menenangkan suamiku. Suamiku selalu seperti itu, saat ia gagal menyembuhkan pasiennya. Dia melemah dan menangis di bahuku atau di pangkuanku. Aku mencium lembut bibirnya. Aku memeluknya dengan erat. Aku merasakan kesedihannya saat ini. "Ainun, kita pulang ke Indonesia saja, ya?" ucap Habibi. "Tugas kamu belum selesai, sayang," jawabku. "Aku tahu itu, aku akan membicarakan pada opa, karena 7 bulan lagi aku selesai tugas di sini, dan aku ingin secepatnya pulang ke Indonesia. Aku kangen suasana rumahku di sana," ucapnya. "Bicarakan dengan opa dan papah baik-baik. Aku menuruti kamu, apa yang terbaik untuk kamu. Dan, maafkan aku, sayang," ucapku. "Minta maaf untuk?" tanya suamiku. "Karena aku belum menjadi istri yang sempurna untukmu," jawabku. "Jangan berkata seperti itu. Kamu yang sempurna, kamu adalah napasku, separuh jiwaku, sudah jangan pikirkan itu, karena aku akan menunggumu, hingga kamu siap. Ayo kita pulang," ucap Habibi. Aku berjalan di sampingnya. Dia menggandeng tanganku dan sebelum pulang, kami ke rumah singgah untuk menjenguk Kinara yang sedang kambuh lagi sakitnya. ^^^^^ Hidup dengan Habibi yang hampir 6 bulan membuatku sadar akan cinta yang sesungguhnya. Cinta tanpa syarat, cinta yang tulus, dan cinta yang benar-benar suci. Habibi lelaki terhebatku. Dia adalah sosok penyayang wanitanya. Aku percaya dia tidak akan pernah meninggalkan aku, dan akan setia menungguku siap. Aku yakin itu, karena Habibi bukan sosok pria pembohong. Dia suamiku. Aku bangga memilikinya, aku bahagia berada di sisinya. Mungkin aku adalah wanita yang paling beruntung di dunia ini. Namun, cinta ini bukan seperti kisah Habibi dan Ainun yang sesungguhnya. Yang kisa cintanya menginspirasi seluruh kaum muda. Sedangkan aku dan suamiku, kami Habibi dan Ainun yang masih berjuang menggapai cinta sejati, dengan melalui jalanan yang terjal dan berliku. Habibi selalu berkata kepadaku, "Cinta itu keihklasan, di dalamnya tidak pernah mengenal paksaan ataupun rasa pelampiasan." Aku tahu Habibi bukan seorang yang puitis, yang selalu pandai merangkai kata. Habibi orang yang apa adanya. Dan, jika ingin mengungkapkan kata-kata indahnya, juga dia hasil membaca sebuah kutipan. Seperti kata-kata yang sering dia sampaikan kepadaku, itu juga hasil dari sebuah kutipan penulis, penyair, atau sastrawan. Yah, itulah suamiku. Dia tidak pandai membuat kata-kata indah. Namun, tutur katanya mengindahkan segalanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN