Arti Seorang Teman

948 Kata
Hampir satu bulan lamanya Kirana menyembuhkan hati dari luka. Sudah tidak ada guna lagi untuk ia memikirkan hubungannya yang kandas di tengah jalan. Bersama seorang pria yang selama ini terkenal baik, bahkan tampak sempurna di matanya. Ternyata, itu cuma topeng belaka. Kini ia harus fokus untuk penyembuhan papa tercinta. Serta melanjutkan kehidupannya dengan baik tanpa seorang kekasih. Ya, itu sesuatu yang sangat mudah. Selama ini Kirana juga telah hidup sendiri, tanpa keluarga dekat. Tepat jam 7 pagi Kirana ditemani Intan, berkunjung ke Rumah Sakit Siloam di Kebun Jeruk Jakarta barat. Untuk melanjutkan pemeriksaan Toni. Melakukan terapi yang memakan waktu hampir satu jam. "Gimana, Dok. Keadaan Papa saya?" Kirana memperhatikan dari seberang meja Dokter Muda yang tengah duduk di kursinya. Sambil memeriksa hasil penelitian kesehatan Toni. Ia berharap papanya tidak mengalami penyakit aneh, sehingga mengalami kelumpuhan pada kaki. Anak mana yang mau melihat keadaan orang tuanya seperti itu, tidak ada! Sedih malah ia. "Tidak ada yang fatal, dari kelumpuhan yang terjadi, itu diakibatkan pembengkakan yang terlalu lama, mungkin dulu Bapak Toni pernah terjatuh, dan tidak pernah diobati, Makanya kaki Bapak Toni tidak bisa untuk berdiri secara sempurna." Akibat pembekuan darah dan tidak ditangani dengan baik. Kedua kaki pria tua itu menjadi kaku dan begitu sulit untuk di luruskan, meski berkat terapi ada sedikit perubahan. Intan ikut tertegun mendengar penjelasan Dokter. Meski ini sudah kesekian kalinya ia menemani dan baru hari ini ia mengetahui penyebab orang tua Kirana lumpuh. Ia memperhatikan Kirana tengah menghela nafas berat. Sudah berapa kali wanita itu melakukannya. Tidak tahu harus berbuat apa, ia menggenggam telapak tangan sahabatnya menyalurkan kehangatan itu sebagai dukungan emosional supaya Kirana tetap terus bersemangat meski ujian ini tampak berat baginya.. "Tapi Papa saya bisa sembuh kan, Dok?" Dokter itu tersenyum lembut, "Insya Allah, yang penting pengobatannya rutin kita lakukan, Kami akan berusaha untuk kesembuhan Bapak nanti." Kirana meanggukan kepala singkat. Benar, jika rutin berobat ia yakin orang tuanya akan segera sembuh. Buktinya sudah ada perkembangan yang nampak dari terapi itu. "Kalau soal mental Papa saya gimana, Dok?" "Tidak begitu buruk, jangan sampai membuat Bapak Toni tertekan, dan jangan biarkan beliau memikirkan masa lalu yang membuat dirinya seperti ini, kalau bisa sering-sering diajak berbicara, atau ajak ketempat rekreasi, mungkin itu bisa menenangkan pikiran orang tua Mbak Kirana." Kirana tersenyum, sedikit lega mendengar penjelasan dari Dokter. Cara yang tidak terlalu sulit untuk kesembuhan Papanya. Apapun pasti akan ia lakukan. Ingin sekali melihat papanya sembuh seperti sedia kala. "Terimasih ya, Dok. Kalau begitu kami pamit dulu," ucap Kirana sopan lalu menjabat tangan Dokter itu. "Iya Mbak Kirana, Sama-sama. saya yakin Bapak Toni akan sembuh, soalnya beliau memiliki seorang anak yang sangat menyayanginya." Pamit dan meninggalkan ruangan itu. Sambil mendorong kursi roda yang diduduki oleh Toni. Menelurusi lorong Rumah Sakit hingga parkiran mobil. Di sana Kirana dibantu oleh pihak Rumah Sakit, menaikan Toni duduk di jok belakang. "Ran, Habis ini kita ke Bandara ya." "Ngapain?" "Aku baru dapat pesan dari nyokap, kalau sepupuku yang dari Amerika tiba hari ini." "Sepupu? Bukannya sepupu kamu cuma Anya doank." "Emang aku blom cerita ya? kalau Anya punya sodara cowok," Intan menoleh kebelakang, memandang sohibnya sejenak. Kirana mengernyitkan dahi lalu menggeleng-gelengkan kepala pertanda ia tidak tahu menahu. "Aku nggak tau kalau kamu punya banyak sepupu." Intan ketawa kecil sembari menghidupkan mesin mobilnya, sekejap ke empat roda itu mulai melintas aspal dengan pelan. "Cuma dua kok, yang ini seorang Dokter, dia memang jarang pulang ke Indonesia, tapi kayaknya sekarang dia bakal netap deh." "Loh, kenapa? Bukannya karir akan bagus bila di Amerika." "Kalau itu sih aku kurang mengerti, Mau orangnya pindah ya pindah." "Ooh gitu." Tak ada lagi obrolan hingga mobil benar-benar sudah berada di jalan raya. Kirana membuang pandangan ke luar jendela di mana semua tampak bergerak menjauh kebelakang, sesekali ia memandangi Papanya yang masih diam membisu. Teringat sesuatu yang ingin ia sampaikan pada temannya. Berkat tebengan Intan dia jadi memiliki banyak waktu istirahat. "Intan!" "Mmm, apa?" "Terima kasih loh udah temani aku jadi repotin kamu gini." Intan menoleh kebelakang di mana teman cantiknya yang lebay itu berada. "Kayak orang lain aja deh, baru segini nggak mungkinlah merepotkan, ada-ada aja kamu tuh." Kirana nyengir kuda kembali merasa tak enak. "Bener kan selama ini aku suka nyusahin kamu, Om dan tante, perhatian dan kebaikan kalian itu sangat berarti buat aku, Ntan." Kirana menggenggam telapak tangan papanya yang saat ini sudah terlelap. Dalam waktu-waktu yang terbuang mencari keberadaan pria itu Kirana sering sekali merasa kesepian. Berkat keluarga Intan ia sedikit memiliki harapan. Bahwa dirinya akan segera bertemu dengan papa. "Ran, kamu lupa ya? selama ini yang suka nyusahin itu siapa?" Kirana diam merasa tidak memahami perkataan Intan. "Aku Ran! Aku yang sering banget merepotkan kamu, kamu selalu sabar menghadapi aku yang kadang-kadang masih seperti anak kecil, kamu mengajari aku banyak hal. Kalau bukan karena kamu, hubungan aku sama orang tuaku nggak bakal sebaik ini!" Ucapan Intan terlalu berlebihan untuknya. "Yang harus ngucapin terima kasih itu adalah aku, berkat kamu aku berada di kehidupan sekarang." "Bukan berkat aku, memang seperti itu takdir Tuhan, aku hanya perantara." "Iya seperti apa pun yang kamu bilang, pokoknya terima kasih sudah bertahan sejauh ini menjadi teman seorang Intan yang paling egois." Kirana ketawa renyah di posisinya. Padahal dia tidak pernah mengira akan ikut campur atas masalah keluarga Intan. Itu terjadi begitu saja dan secara kebetulan dia dapat menyatukan hubungan atas kesalahpahaman antara anak dan kedua orang tua itu. "Thank you, Ran. Aku sayang kamu." Kirana kembali tertawa geli meski ia sadar itu ucapan paling tulus dari Intan. Dan ia juga tak bisa pungkiri perasaan sayang dan pedulinya pada Intan. "Aku juga Intan, kamu Satu-satunya sahabat serta saudara yang aku punya." Sahabat begitu berarti dalam kehidupan. Selain keluarga, ia tempat berbagi yang kedua. . . . .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN