#7 Resah

1348 Kata
Selama perjalanan menuju sebuah mall Vanie lebih banyak berdiam diri. Dia bermain dengan pikirannya, memikirkan kehancuran keluarga yang sudah di ambang pintu. "Van..." tegur Putra. "Hmm..." "Kamu diam saja? Masalah Gerry?" Vanie menoleh, mentap Putra yang tengah menyetir. "Lama lama aku curiga, kamu bisa membaca pikiran orang ya?" tanya Vanie dengan mimik wajah heran. "Ha ha ha kok bisa kepikiran gitu?" "Sudah beberapa kali kamu bisa menebak isi hatiku. Benar ya?" Putra menggeleng, "Alangkah baiknya jika aku bisa membaca pikiran orang lain Van." pria itu tersenyum tipis "Aku bisa menebak isi hatimu karena aku memahami dan mengenal kamu dengan baik sehingga bisa menebak jalan pikiranmu." "Ohh..begitu ya....masuk akal juga penjelasan kamu" "Jadi, benar Gerry kembali bertingkah?" "Ya, benar. Dia baru saja memaksa mama untuk memberikan uang sebesar lima ratus juta rupiah" "What??!" Putra terkejut. "Untuk apa?" "Kalau tidak salah untuk investasi membuka sebuah night club bersama dengan temannya." Vanie mendengus "Huhh..aku tidak percaya. Palingan untuk judi dan minum" Putra melirik, "Yakin kamu? Dan kalian tidak masalah dengan hal itu?" Vanie menggeleng, pandangan jauh menatap gedung perkantoran di sepanjang jalan "Karena ketidak sempurnaan tubuhnya maka ia mendapatkan semua yang diinginkannya" "Tapi Van, hal itu akan membuatnya hancur suatu hari nanti" "Aku tahu, tetapi itu pilihan yang mereka ambil. Tugasku sebagai kakak sudah selesai ketika..." Vanie tidak melanjutkan kalimatnya, dia teringat ancaman Surya. "Ketika....??" "Sudahlah, biarkan saja dia dengan dunianya. Aku tidak perduli Tra, letih dengan semua drama ini" desah Vanie. Putra merasakan kegelisahan hati perempuan yang dicintainya itu, melihat tingkah Gerry tadi dia paham kenapa Vanie menyerah. Malam itu mereka habiskan dengan makan malam disebuah restoran yang kesukaan mereka berdua yaitu makanan Jepang. "Kapan kapan kita liburan ke Jepang yuk Tra. Seru kali yah.. hunting resto sampai kekenyangan gak bisa jalan" ujar Vanie sambil bersandar mengelus perutnya. "Beda tipis antara suka dan lapar yah... nafsu makanmu malam ini menakjubkan" senyum Putra, hatinya bahagia dapat menghabiskan waktu bersama Vanie. "He he he.. kebiasaan lama nih, kalau lagi bad mood pasti deh pelampiasannya makan" sahut Vanie dengan wajah cengegesan. "It's ok, dari pada pelampiasan ke hal negatif, lebih baik begini bukan?" "Betul...betul...betul...."ucap Vanie mengikuti logat dan suara film anak berjudul 'upin ipin' "Eitsss....tangannya.." Vanie menepis lengan Putra yang bersiap untuk menyentil dahinya. "Huhhh...not fun anymore" gerutu Putra disambut gelak tawa Vanie, hanya bersama pria itu dirinya dapat melepaskan beban yang diam diam menggerogoti perasaannya. Sebagai anak pertama, Vanie terbiasa untuk menyimpan kegalauan hati sendiri, sejak mereka kecil Anita terlalu sibuk mengurus si kecil Gerry yang membutuhkan perhatian khusus. Kebiasaan itu terbawa hingga sekarang, jarang sekali Vanie berkeluh kesah, semua disimpan dan tanpa disadari hal itu mempengaruhi kepribadiannya. Putra sangat tahu betul sosok perempuan yang tengah bersamanya. Vanie yang tertutup dan selalu berusaha ceria padahal jauh di dalam hati ia sedang menangis. Sejak sekolah, bisa terhitung dengan jari sahabat dekat Vanie yang menjadi tempatnya bersandar dikala susah. Salah satunya adalah Putra. Baru saja Putra mengantar Vanie ke rumah, tetiba ponselnya berbunyi. "Ada yang tertinggal di mobil Van?" tanya Putra. "Kamu bisa balik jemput aku gak?" "Ada apa Van? kenapa?" "Aku tunggu yah. Bye" sambungan telepon pun diputuskan Vanie sepihak. Dengan penuh tanda tanya, Putra memutar arah kembali menuju kediaman Vanie. Ternyata wanita itu telah menunggu Putra tepat di depan gerbang rumah, dengan sebuah koper disampingnya. Pria itu segera membuka bagasi mobil dan turun untuk membantu Vanie menaikkan koper. Tanpa banyak bicara, Vanie duduk dan menunggu Putra menjalankan kendaraan menjauhi rumah yang kini bagaikan neraka baginya. Putra kebingungan karena sedari tadi Vanie tidak membuka mulutnya, sementara melihat dia membawa koper, pria itu menyimpulkan bahwa Vanie akan menginap di suatu tempat. Pertanyaanny selanjutnya adalah ...dimana? Putra melirik Vanie yang diam seperti patung, memandang jalanan melalui kaca jendela. Dia menunggu instruksi dari perempuan itu, namun tak kunjung didapatnya. Akhirnya dia memutuskan untuk melajukan kendaraan menuju apartemennya. Mobil telah sempurna terparkir di tempatnya, ketika hendak mematikan mesin dia baru menyadari kalau Vanie tertidur dengan pulasnya. Putra menatap wajah perempuan itu dan membayangkan betapa hidupnya akan sempurna jika setiap hari dapat menikmati waktu bersama. "Urrgghhh....dimana aku Tra?" tanya Vanie yang baru saja terbangun dari tidurnya. "Parkiran apartemen ku." "Kok disini?" "Maunya dimana? Sedari tadi kamu diam saja, jadi aku putuskan kembali ke rumahku" Vanie menoleh, menatap Putra dalam dalam. Dalam sorot matanya tampak sekali kesedihan dan luka disana, "Apa yang kaurasakan Van...andaikan aku bisa mengurangi beban di hatimu" batin Putra "Rumah bagaikan neraka Tra, mereka bertiga tadi bertengkar dan ribut lagi. Ingin pecah rasanya kepala ini" keluh Vanie. "Aku ingin keluar dari rumah itu" lanjutnya. Dengan lembut Putra meraih tangannya, "Sementara kamu tinggal bersamaku dulu saja gimana?" "Ah..nanti aku ganggu privasimu Tra. Antarkan aku ke hotel saja" "No, tidak baik seorang wanita tinggal di hotel sendirian. Aku tidak setuju. Sudah, jangan banyak argumen." Putra membuka pintu mobil dan berjalan ke bagian bagasi, menurunkan koper Vanie. Dengan segan Vanie mengikutinya "Tapi Tra..." "Tidak ada tapi tapian...karena kamu telah mempercaiyaiku untuk menjemputmu, maka akulah yang memutuskan. Yang pasti keputusanku adalah yang terbaik untukmu" ucapnya lalu menarik tangan Vanie dengan tangan kanan sementara tangan kiri menggeret koper. Wanita itu tidak bisa berkata lagi, dirinya menurut ketika Putra menarik tangan memasuki lift. "Nah, ini rumah kecilku. Hmm... kamarnya ada satu, kamu tidur disana nanti aku tidur di kamar tamu." kata Putra "Kopernya aku letakkan di dalam kamar yah." katanya lagi. Vanie melempar pandangan pada seluruh ruangan apartemen. Tidak besar, namun karena hanya sahabatnya tingal sendiri tentu saja apartemen ini cukup baginya. "Tra, aku merepotkan kamu lagi. Jadi enggak enak deh" ucap Vanie. "Hmm beneran nih enggak ada yang marah kalau aku tinggal disini? tanya Vanie, dia khawatir kekasih Putra akan melabraknya nanti. "Vanie...Vanie... hampir setiap hari dalam beberapa bulan belakangan ini kita selalu bersama. Apakah ada perempuan lain yang menghubungiku atau bertemu denganku?" Putra mendorong lembut pundak Vanie masuk ke dalam kamarnya. "Mandilah, setelah itu baru aku karena apartemen ini hanya memiliki satu kamar mandi." perintahnya lalu menutup pintu kamar. Putra membuka pintu kamar tamu dan mendesah "Ini barang mau taruh dimana? Duh..besar besar lagi. Nyesel dulu enggak dibuang saja." keluhnya. Kemudian pria itu menepuk jidatnya "OMG, kamar ini kan belum ada pendingin ruangan....gimana aku bisa tidur" "Tra" panggil Vanie, suaranya mengejutkan Putra hingga pria itu melompat. "Duh..Van, ngagetin aku saja" serunya sambil menepuk dadanya. "Tuh kan, aku merepotkan kamu jadinya. Sudahlah, antar aku ke hotel saja Tra." ucap Vanie lagi dengan perasaan bersalah. "Hmm..gimana kalau aku saja yang ke hotel? Kamu disini ya. Besok baru kita pikrikan lagi" bujuk Putra. "Mana bisa begitu, ini kan rumahmu." protes Vanie. "Kita tidur di kamar utama saja kalau gitu Tra. Tapi janji dulu enggak macam macam ya" ancam Vanie. "Ya satu macam saja Van, aku mau tidur. Udah malam nih, capek tau!" sahut Putra dengan senyum geli. "Mandi dulu deh, besok baru dipikirin lagi Tra. Maaf ya..." "Van, sekali lagi kamu minta maaf, aku kasih gelas sebagai hadiah deh." kata Putra, "Kamu tidak perlu sungkan sama aku." lanjutnya. Malam itu, dengan terpaksa Vanie tidur seranjang dengan Putra. "Tra, kok boleh kamu tinggal sendiri disini?" tanya Vanie. Putra memiringkan tubuhnya hingga menghadap Vanie, lalu menyingkirkan sebuah bantal besar yang menghalangi dirinya untuk menatap Vanie. "Tanpa riasan wajah, kamu lebih cantik Van" batinnya "Tra.." panggil Vanie lagi. "Ngelamunin apa hayooo!!" tambahnya. "Siapa bilang aku melamun? Aku dengar kok pertanyaan kamu." ujar Putra membela diri. "Seperti kataku Van, semua ini kubeli dengan uangku sendiri. Jadi mereka tidak bisa turur campur dengan kehidupanku." Vanie mengangkat kedua tangannya ke atas kepala dengan pandangan ke langit langit kamar. "Enak yah, bebas" "Kamu juga bisa Van, pelan pelan. Sekarang kan usaha kita mulai bagus. Akhir tahun nanti sudah bisa dihitung keuntungannya" hibur Putra. "Sementara itu, kamu tinggal disini saja." Vannie menggelengkan kepala "Jangan Tra, enggak enak sama tetangga nanti" "Jaman sekarang sudah tidak ada tetangga yang usil Van. Lagian biarkan saja mereka bergosip, yang penting kita tidak melakukan hal aneh bukan?" Pria itu berusaha meyakinkan sahabatnya karena dorongan hati menginginkan mereka seperti ini. "Huammm....besok dipikirin deh. Good night Tra." "Good night juga, sweet dream" senyum merekah pada wajah Putra, malam itu dia akan menikmatinya. Dalam hati dia berterima kasih pada Gerry yang telah membuat keributan sehingga mereka dapat bersama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN