Putra mengajak Vanie untuk mengadiri pertemuan dengan pelanggannya. Pria itu memiliki sebuah perusahaan start-up sebagai interior design. Perusahaan yang ia bangun atas jerih payahnya sendiri tanpa bantuan kedua orang tuanya.
"Tra, lo kerja apaan sih sekarang?" tanya Vanie disela sela langkah mereka menuju sebuah coffee shop.
"Cih.. perusahaan ini milikku dong Van. Kerja di perusahaan orang lain selama setahun cukup bagiku untuk belajar dan mengumpulkan dana."
"Jiahh... Tra, orang tuamu kan tajir melintir. Kenapa tidak minta saja?"
" Hmm..memang tidak salah, tapi aku memilih untuk berdiri di kakiku sendiri tanpa bantuan mereka. Kamu tahu sendiri kedua orang tuaku seperti apa Van. Jika seperti ini kan mereka tidak bisa mengatur hidupku" jelas Putra.
Vanie diam, dia berusaha mengingat seperti apa kedua orang tua temannya ini. Terus terang, tidak banyak kenangan masa sekolah yang diingatnya.
"Eh, kamu sekolah jurusan apa di Amerika?"
"Interior Design"
"Kok bisa sama ya? Ternyata minat kita sebelas dua belas Van"
"Kamu saja yang ikut ikutan aku ...." gurau Vanie, disambut dengan sentilan lembut pada dahinya.
"Ihh..kebiasaan lama jangan dibawa sampai sekarang dong!" protesnya "Dilihatin orang tuh..." lanjutnya dengan wajah cemberut.
"Ha ha ha ha ...abis kamu gemesin sih...dari dulu hingga sekarang sama saja, gemes sekaligus ngeselin" sahut Putra tanpa merasa bersalah lalu mempercepat langkahnya meninggalkan Vanie.
"Hei! Tunggu dong" panggil Vanie dan berlari kecil menyusul pria itu.
Pertemuan ternyata tidak membutuhkan waktu yang lama, Putra hanya menjelaskan perubahan minor yang diminta pelanggannya kemarin dan terlihat senyum puas dari orang itu.
"Putra, kamu masih muda tapi bersemangat dan berbakat" puji Agus Ridyamon. Dia sudah berkali kali menggunakan jasa perusahaan Putra untuk mendekor interior kantor dan rumahnya.
"Pak Agus bisa saja, saya masih harus banyak belajar." jawab Putra dengan rendah hati, tapi terlihat dari pancaran matanya kalau dia cukup bangga dengan pujian tersebut.
"Kamu belum punya pasangan kan? Gimana kalau saya kenalkan dengan putri saya? Sepertinya kalian cocok" ternyata sang customer punya modus dibalik udang.
Vanie tersenyum mendengar komentar customer Putra "Belum pak, dia masih single. Tapi harus cepat karena Putra tuh laris manis seperti gulali yang dijual di pasar"
Putra yang duduk disebelah Vanie menyenggol tangannya dengan mata melotot "Maaf pak, teman saya ini memang suka asal kalau bicara"
"Tidak apa, anak muda memang suka ceplas ceplos. Kalian ..."
Vanie menggerakkan telapak tangannya ke kanan dan ke kiri, "No..no..we just friend."
"Kirain tadi kalian pacaran, kalau begitu aman deh. Saya akan berikan nomor telepon kamu pada putriku. Siapa tahu kalian cocok.." senyum menghiasi wajah Pak Agus. Sepertinya dia mengidamkan Putra sebagai calon menantunya.
"Saya permisi dulu, semua sudah deal dan langsung kerja sesuai jadwal kan Putra?"
"Siap Pak Agus, terima kasih atas kepercayaannya." Putra berdiri dan mengantar Agus keluar restoran sementara Vanie masih duduk menunggu.
"Van! Ihh...tuh kan, gara gara kamu" Putra menyentil dahi Vanie, tetapi seperti biasa, perlahan dan lembut.
"Lah..kamu harus berterima kasih padaku loh! Siapa tahu putrinya adalah jodohmu" sahut Vanie membela diri.
"Cih...ribet deh kalau nanti dia nguber terus. Repot!" gerutu Putra sambil membereskan kertas yang masih tergeletak di meja. Tetiba dia menghentikan aktifitasnya lalu menatap Vanie "Aku..." suaranya tercekat.
"Kenapa? Aku kenapa?"
Dia menggeleng "Aku ingin mengajak kamu untuk join sebagai partnerku di perusahaan ini. Bagaimana?" Putra tidak siap untuk mengutarakan perasaannya pada Vanie, khawatir wanita itu akan menjauhinya.
"Hei...kamu serius? Nanti nyesel lagi...." canda Vanie, seperti kebiasaannya dulu dia senang sekali meledek sahabatnya ini.
"Penawaran tidak datang dua kali nih" desis Putra, kesal Vanie tidak menanggapi dengan serius.
"Becanda Tra...tentu saja aku mau. Berapa modal yang harus kusetor?" tantang Vanie dengan mata berbinar binar. Suatu kesempatan yang tidak boleh dilewatkan, pikirnya.
"Terserah" Putra mengangkat bahunya tidak peduli, perusahannya sedang tidak membutuhkan suntikan dana segar.
"Ok, deal ya..kamu jangan tawarkan lagi ke orang lain" Vanie mengulurkan tangannya untuk berjabatan.
"Vanie..Vanie...kalau bukan karena ingin dekat denganmu aku tidak akan menawarkan kerjasama ini." batin Putra. Dengan senyum dia menyambut uluran tangan wanita yang masih terasa istimewa di hatinya hingga kini.
Bukan tanpa pertimbangan Putra menawarkan hal itu kepada Vanie, dia sadar jika dirinya akan semakin terikat dengan wanita ini, padahal dia sudah mencoba untuk melupakan Vanie dengan menjalin hubungan dengan beberapa wanita tetapi pada akhirnya Putra selalu membandingkan semua mantannya denganVanie. Dimatanya tidak ada yang lebih sempurna dibanding dengan perempuan yang suka menggodanya ini. Untuk sekarang, sepertinya Putra harus puas hanya dengan sering bertemu saja, setidaknya sampai dirinya berhasil mengumpulkan keberanian untuk mengutarakan cintanya.
Tidak menunggu lama, keesokan harinya Vanie meminta sejumlah uang yang cukup besar pada papanya. Dan, seperti biasa uang sebesar tiga milyar rupiah bukan masalah bagi seorang konglomerat bernama Surya Wijaya yang memiliki perusahaan dalam berbagai bidang usaha.
"Tra, aku sudah transfer ya tiga milyar ke rekening PT. Trideco Gemilang" lapor Vanie dengan santai sambil menghirup kopinya.
"Huhkk...uhuukkk" Putra terbatuk, "Huuhh..hmmm..besar sekali Van" ucap Putra setelah berhasil menguasai keterkejutannya.
"He he he...jadi sekarang aku pemegang saham terbesar dong ya?" selidik Vanie dengan menaikkan alis matanya, menggoda Putra seperti biasa.
"No..no..." raut wajahnya berubah.
"Just kidding Tra..." goda Vanie lagi. Sungguh suatu kepuasan tersendiri dapat mengerjai Putra seperti jaman sekolah dulu.
"Duh...jangan disentil Tra!"
"Siapa suruh godain aku terus hah!" omelnya.
"Ha ha ha...reaksi kamu lucu sih..jadi hiburan buat aku" jawab Vanie dengan jujur. Beberapa hari setelah pertemuan mereka, Vanie merasa hari harinya semakin ceria.
"Memangnya aku pelawak?" kedua mata Putra membelak, pura pura kesal dengan perempuan itu. Padahal hatinya berbunga bunga karena hari ini dan seterusnya mereka akan lebih sering menghabiskan waktu bersama.
"Tapi serius nih, mulai sekarang kamu tidak boleh nyentil dahiku lagi. JANJI" Putra tersenyum mendengarnya. "Ok deh...demi tiga M kamu!" guraunya.
"Yah...lumayan dengan bekerja akan membuat diriku lupa dengan Amerika" tanpa sadar sesak di dadanya menyeruak tanpa dapat dikendalikan.
"Hmm...sepertinya ada yang ingin kamu ceritakan? Aku bersedia loh jadi pendengar yang baik" Putra mengerjap ngerjapkan kedua matanya menggoda Vanie. Sebagai jawaban, sebuah tissue yang telah di gumpalkan mendarat dengan sempurna pada dahinya.
Putra merasakan kesedihan dari nada suara dan tatapan Vanie yang berubah ketika mengucapkan kaliamat itu, namun dia hanya bisa bersabar dan berharap suatu hari nanti Vanie akan lebih terbuka dengannya.
Sebuah rumah besar tidak selalu memberikan kenyamanan bagi penghuninya. Itulah yang dialami Stevanie sejak masa remaja hingga sekarang di usianya yang menginjak dua puluh. Ketenangan baru terasa jika salah satu dari kedua orang tuanya pergi keluar kota atau keluar negeri. Seperti saat ini, ayahnya sedang ke Jepang untuk urusan bisnis selama seminggu.
Dirinya sedang menikmati makan malam yang disediakan oleh asisten rumah tangga, seperti biasa, sendirian. Namun tak bertahan lama, tetiba terdengar suara mobil sport yang bising dari arah halaman rumah. Tak lama kemudian, terdengar langkah kaki khas adiknya, Gerry. Adik laki laki yang hanya terpaut dua tahun lebih muda darinya memiliki kelainan pada kaki kanan sehingga ketika berjalan harus menyeretkan kakinya. Cacat yang dialami sejak lahir tidak dapat kembali normal kecuali amputasi dan menggunakan kaki palsu dimana opsi itu ditolak mentah mentah oleh Gerry.
"Hiss! Ngagetin aja lo!" seru Gerry ketika melihat Vanie yang tengah duduk di kursi meja makan yang sengaja hanya ditemani beberapa lampu sudut saja."Lagian punya lampu banyak kenapa gak dinyalain? Ngirit?" Gerry menekan tombol lampu sehingga ruang makan kini menjadi terang benderang.
"Kapan pulang lo? Udah bosan di sana?" tanya Gerry dengan sinis. "Atau sudah habis uang yang dikasih papa tiap bulan?" tambahnya lagi.
"Bukan urusan lo!" sahut Vanie tidak kalah sengit. Hubungan mereka memang tidak pernah akur sejak usia mereka menginjak remaja.
"Huhggg...emang bukan urusan gua!" jawabnya dengan ketus, nyeri di pinggulnya menambah kekesalan hati pria itu. Sambil menyeret kaki kanannya, Gerry meninggalkan Vanie tanpa pamit.
"Adik kurang ajar!" dengus Vanie, selera makannya kini hilang tergantikan dengan emosi. Dengan kasar dia mendorong kursi dan meninggalkan ruang makan tanpa berniat untuk membereskannya.
"Sambutan macam apaan ini? Sudah seminggu aku pulang tapi rumah sepi sudah seperti kuburan saja." gumam Vanie. Dirinya merasa kesepian, teman yang menemaninya semenjak dia pulang ke Jakarta hanyalah Putra. Vanie tidak enak mengganggu pria itu terus menerus, sehingga akhirnya dia memutuskan untuk mulai menjalin komunikasi dengan beberapa teman akrabnya semasa sekolah. Salah satunya, Nanda. Sahabat yang asik untuk bergosip dan shopping tentunya.