Seperti biasanya, Aisyah dan Umi Maryam akan pulang saat magrib akan tiba. Rasanya hari ini begitu melelahkan sekaligus menyenangkan karena banyak pesanan yang harus mereka buat, lelah karena banyaknya kue yang harus dibuat dan senang karena rezeki dari Allah tak pernah habis menghampirinya. Keseharian Aisyah yang hanya sepeti ini tak lantas membuatnya merasa lelah atau jenuh, justru dia merasa sangat bersyukur karena bisa memiliki pekerjaan. Apalagi pekerjaan itu bisa membantu meringankan kelelahan yang Uminya alami, rasanya begitu indah jika mengerjakan suatu hal secara bersama-sama. Semua pekerjaan itu terasa lebih ringan dan lelah itu seketika sirna tergantikan dengan rasa bahagia ketika melihat senyum cerah para pembeli yang membeli kue dari mereka.
Rezeki dari Allah itu tidak ternilai harganya, tak hanya materi yang dia berikan. Tapi juga sangat banyak hal yang telah dianugerahkan Allah pada kita yang seharusnya patut disyukuri, memiliki keluarga harmonis tanpa ada kerenggangan membuat Aisyah merasa sangat bersyukur meskipun hidup sederhana dan serba berkecukupan. Banyak orang kaya yang tak merasakan kasih sayang orangtuanya karena kesibukan mereka mencari sebuah materi, yang menjadikan mereka hidup hanya ditemani dengan barang-barang mewah tanpa adanya kasih sayang dari orangtua. Tentu saja Aisyah tidak menyukai hal itu, dia sudah sangat bersyukur dengan hidupnya yang sudah sangat amat sempurna seperti sekarang. Janji Allah adalah jika kita bersyukur maka Allah akan menambah nikmat itu dan jika kita kufur akan nikmatnya maka azab-Nya sangatlah pedih.
Tok...tok...tok....
Suara ketukan pintu membuat Aisyah meletakkan pulpennya dan menutup buku diary-nya yang semula akan ia tulis sebait curahan hatinya, gadis itu beranjak menuju pintu kamarnya untuk membukakan pintu itu. Terlihat Umi Maryam datang dengan membawa nampan yang berisi s**u putih hangat, Aisyah mempersilahkan Uminya untuk masuk. Dia tersenyum karena Uminya selalu perhatian padanya meskipun usianya tak lagi kecil, melainkan sudah tumbuh menjadi gadis dewasa. Tetapi perhatian itu tetap saja Uminya berikan padanya, rasanya dia merasa sangat bersyukur dilahirkan dari keluarga yang begitu perhatian dan penuh kasih sayang seperti ini.
"Ini tadi Umi buatin kamu s**u, diminum ya?" ucap Umi Maryam sambil meletakkan segelas s**u itu diatas nakas.
"Iya Umi, terima kasih banyak. Seharusnya Umi tidak perlu repot-repot seperti ini, Aisyah sudah besar dan pastinya bisa membuatnya sendiri. Kan jadi ngerepotin Ini seperti ini." Meskipun berbicara demikian, lantas tak membuat Aisyah bisa menutupi rasa bahagianya karena mendapat perhatian dari Uminya. Meskipun usia tak lagi kecil tapi biasanya seorang anak tetap masih membutuhkan perhatian dari kedua orangtuanya juga kasih sayangnya.
"Kamu kan anak Umi, tentu saja Umi sama sekali tidak merasa repot. Kamu itu perlu banyak gizi, Umi lihat ini pipi bukannya semakin hari semakin berisi malah semakin tirus, Umi kan merasa bersalah karena kamu pasti banyak pikiran dan merasa lelah kan bekerja bersama Umi. Maafkan Umi ya? Seharusnya kamu masih bisa melanjutkan pendidikanmu, tapi kamu malah berhenti dan membantu Umi seperti ini." Umi Maryam merasa sangat sedih karena tidak bisa memberikan pendidikan yang tinggi pada putri satu-satunya ini, bukannya dia tidak mau tapi biaya hidup di kota sangatlah besar apalagi Kabir juga harus sekolah dan biayanya itu tidaklah sedikit.
Sebenarnya dia merasa tidak enak mengorbankan pendidikan Aisyah, seharusnya putrinya itu bisa menggapai cita-citanya melalui pendidikannya tapi sayang sekali dia harus berhenti atau menunda pendidikannya karena harus memikirkan keluarga. Orangtua mana yang tidak ingin melihat anaknya sukses dan bahagia? Tentu saja tujuan orangtua bekerja keras ya untuk itu, tapi sayang sekali karena ternyata itu tidaklah cukup untuk mereka. Hidup serba berkecukupan saja sudah sangat mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan, Aisyah juga terlalu memikirkan keluarga hingga dia memilih untuk tidak memaksakan keadaan.
"Umi kenapa bicara begitu? Seharusnya Umi tidak perlu memikirkan Aisyah lagi, Aisyah tidak apa-apa Umi. Aisyah sudah besar dan tidak perlu lagi mengingat hal itu lagi, Aisyah sudah mengikhlaskan semuanya. Pendidikan Kabir lebih penting daripada Aisyah, Aisyah sebagai seorang Kakak memang harus memikirkan Adiknya kan? Lagipula Aisyah sudah merasa sangat bersyukur karena Umi dan Abi sudah menyekolahkan Aisyah hingga jenjang SMA. Itu sudah lebih dari cukup untuk Aisyah, jadi Umi tidak perlu memikirkan hal itu lagi ya?" Aisyah beringsut mendekati Uminya lalu memeluk tubuh wanita yang sudah melahirkan dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang ini, begitu banyaknya jasa yang telah Uminya lakukan padanya.
"Tapi tetap aja Umi merasa sedih, karena ketidakmampuan Abi dan Umi kamu jadi tidak bisa melanjutkan pendidikanmu. Nanti kalau kami ada rezeki insyaallah kamu bisa lanjut kuliah lagi, Aisyah mau kan bersabar?" tanya Umi dan hal itu membuat bagian hati Aisyah merasa sangat terharu, Uminya sedemikian itu memikirkannya.
"Iya Umi, tapi tolong jangan terlalu memikirkan hal itu. Aisyah beneran enggak apa-apa kok enggak usah kuliah, uangnya nanti lebih baik ditabung buat pendidikan Kabir ya Mi?" Umi Maryam merasa sangat bangga sekali memiliki anak sepengertian Aisyah yang tidak memaksakan kehendaknya, dia selalu berdoa semoga saja putrinya bisa mendapatkan kebahagiaan yang tak bisa dia berikan.
"Diminum susunya ya? Habis itu langsung tidur, ini sudah malam. Ingat jangan begadang lagi kayak kemarin-kemarin, kamu sudah terlalu lelah membantu Umi mengurus toko kue." Aisyah menyengir mendengar penuturan Uminya, kok Uminya bisa tau ya kalau dia kadang suka tidur malam-malam?
"Iya Umi, tapi kalau Aisyah ingat ya?" Umi menggelengkan kepalanya mendengarnya.
"Jangan cuma didengar, tapi diingat juga. Ya sudah, Umi keluar dulu ya?" Aisyah mengangguk dan membiarkan Uminya pergi.
Gadis itu kembali menuju meja belajarnya, dibukanya buku diary miliknya kemudian menuliskan beberapa bait kata hingga tanpa sadar dia sudah mendapatkan satu paragraf.
Dear Diary
Hari ini aku senang sekali karena ternyata Kak Raihan mengingatku dan dia juga menghubungiku, rasanya senang sekali mendapat kabar dari orang yang kita sukai. Kamu tau diary? Aku juga sekaligus merasa sedih karena diary pemberian Kak Raihan malah hilang entah kemana. Nanti kalau dia menanyakan hal itu, apa yang harus aku jawab? Sepertinya akan susah ya untukku menjawab. Semoga saja dia tidak menanyakan hal itu.
Tiba-tiba bayangan Pandu menghalau segala lamunan tentang rasa bahagianya karena mendapat kabar dari Raihan, gadis itu pun akhirnya ikut menceritakan kejengkelannya didalam buku diary-nya.
Aku tuh juga kesal ya hari ini diary, kamu tau? Aku bertemu dengan orang gila yang paling menyebalkan sedunia. Kalau mengubur orang hidup itu tak berdosa, maka sudah aku lakukan sejak dulu. Habisnya itu orang sangat menyebalkan sekali, masa tadi dia ke toko kue ku tapi membawa parfum alami bernama kotoran burung? Sebenarnya dia waras atau tidak ya!? Akhirnya aku mengusirnya. Kalau bisa aku ingin dia segera enyah dari hadapanku!
Aisyah ikut merasa emosi ketika menuliskan hal itu, soalnya dia kembali mengingat kejengkelan Pandu beberapa jam lalu. Aisyah sama sekali tidak habis pikir dengan jalan pikiran pria itu, mengapa sikapnya sangat aneh dan kadang berada diambang nalar? Sangat-sangat tidak bisa jika dikatakan dia adalah orang yang waras, bayangkan saja pria aneh mana yang tiba-tiba saja menyatakan cinta pada seorang perempuan? Tentu saja hanya Pandu si pria gila seorang. Untunglah dia menyukai tipe pria seperti Raihan, sudahlah tutur katanya sopan, orangnya ganteng, perilakunya baik dan pria seperti itu benar-benar pria idaman bagi semua kaum hawa termasuk Aisyah.
* * *
Dilain tempat ada Pandu yang sedang tersenyum-senyum sambil membaca isi hati dari pemilik diary berwarna hijau lumut yang dia temukan, ternyata curhatan hati segala perasaan gadis itu diceritakan didalam diary ini. Baik itu aib-aibnya yang menurut Pandu sangat lucu dan unik serta kisah percintaannya yang kadang membuat kening Pandu mengkerut karena merasa cemburu, jika dipikir-pikir apa haknya ya dia cemburu? Dia sama sekali bukan siapa-siapa bagi gadis itu. Ah lebih tepatnya belum menjadi siapa-siapa bagi gadis itu dan sebentar lagi akan menjadi siapa-siapanya, lihat saja nanti.
Sebagai seorang pria tidak ada kata menyerah untuk menggapai cintanya, dia yakin sekali kalau Aisyah lama kelamaan akan luluh dengan cintanya. Hati wanita itu sangat rapuh dan mudah sekali terbawa perasaan, dia yakin sekali kalau Aisyah pun akan membalas perasaannya. Yang harus dia lakukan adalah selalu mencari perhatian gadis itu melalui tingkah konyolnya, masa bodoh jika dia dikatakan pria gila oleh gadis itu. Asalkan nanti yang ada dipikiran Aisyah hanya ada dirinya seorang dan tidak lagi seorang lelaki bernama Raihan yang selalu menjadi dambaan bagi gadis itu, dia mengetahuinya dari diary yang kini tengah dia baca.
Dear Diary
Aku senang sekali mendapatkan kamu diary, diary yang kini sedang aku tulis adalah diary pemberian Kak Raihan. Kamu tau diary? Dari dulu aku sudah sangat mengagumi Kak Raihan, dia orang pertama yang membuatku merasakan debaran kencang didadaku. Rasanya begitu bahagia sekali saat dia memberikan benda yang kini sedang aku gores dengan tinta hitam, siapa sih yang merasa tidak bahagia jika diberikan barang oleh orang yang disukai? Sama halnya seperti aku yang merasa kalau sedang ada pesta karaoke yang sedang berlangsung didalam jantungku, debaran itu selalu terasa saat aku berdiri beberapa jarak dari dirinya.
Sebenarnya Pandu kemarin sudah membaca bagian yang ini, tapi entah mengapa dia kembali membacanya. Dan seperti kejadian kemarin-kemarin dia merasa sangat kesal, jadi diary ini adalah pemberian dari lelaki bernama Raihan? Pantas saja gadis itu terlihat panik saat diary lusuh ini hilang. Kalau Aisyah mau bahkan Pandu bisa memberikan-nya diary yang lebih bagus dari mahal dari ini, mau diary dan pulpen yang terbuat dari emas asli? Dia mampu saja. Asalkan ya ada syaratnya sih, asalkan gadis itu bersedia menjadi bagian dari hidupnya.
"Kakak enggak nyangka loh kalau kamu suka nulis di diary," ucap Precil yang tiba-tiba masuk kedalam kamar Pandu sambil menggendong Vita.
"Bisa enggak Kak kalau mau masuk itu ketuk pintu dulu?" tanya Pandu kesal, pria itu dengan segera menyembunyikan diary itu dibalik punggungnya.
"Pakai disembunyikan segala lagi, kenapa sih? Udah ngaku aja sama Kakak kalau kamu itu suka nulis di diary, kayak anak cewek aja." Pandu merasa sangat kesal ketika membaca tulisan tangan Aisyah tadi, ditambah Kakaknya yang sekarang sangat menyebalkan.
"Ini bukan diary gue Kak, ini punya orang." Pandu berkata jujur kan? Diary ini memang milik orang, maksudnya orang yang dia cintai.
"Kalau punya orang, kok bisa diary itu ada di kamu?" tanya Precil sambil mendudukan dirinya ditepi ranjang.
"Ini gue nemu dijalan," ucap Pandu.
"Lah kenapa enggak kamu balikin itu diary-nya? Nanti orangnya nyariin loh." Tentu saja Pandu sengaja agar Aisyah mencari-cari diary ini dan ternyata diary itu ada di dirinya.
"Belum sempat," ucap Pandu singkat.
"Emang kamu tau itu punya siapa?"
"Ya taulah, orang diary itu punya orang yang-...." Pandu langsung menghentikan perkataannya, dia menatap Kakaknya yang seakan menunggu jawabannya kemudian menggaruk kepalanya sambil menyengir.
"Punya siapa?"
"Punya oranglah, kan tadi gue udah jawab." Pandu tidak mau ya kalau sampai Precil tau dia sedang mendekati seorang gadis, Kakaknya itu pasti akan ikut campur atas gadis pilihannya. Bisa-bisa Kakaknya itu menceritakan segala aibnya pada Aisyah, kalau gadis itu sudah mencintainya sih tidak masalah. Lah masalahnya kan Aisyah belum memiliki perasaan apapun padanya, bukannya mereka semakin dekat yang ada Aisyah semakin jauh untuk dijangkau karena sudah terlalu ilfeel padanya.
"Ya nama orangnya itu siapa Pandu?" Precil sudah terlanjur penasaran tapi Pandu seakan ingin main rahasia-rahasiaan dengannya.
"Eh Kakak ngapain kesini? Mana bawa Pita segala lagi," ucap Pandu mengalihkan pembicaraan.
"Ini ponakan kamu mau tidur sama Om-nya katanya, jadi malam ini Vita tidur disini ya sama kamu?" Sontak saja Pandu langsung menggeleng.
"Ih ogah, nanti kalau dia ngompol gimana? Gue enggak mau ya kasur kesayangan gue ini jadi bau pesing karena anak lo." Pandu langsung menolak mentah-mentah permintaan Kakaknya yang meminta izin agar Vita bisa tidur bersamanya.
"Dia sudah besar Pandu, enggak akan ngompol lagi. Ya kan Sayang?" Vita mengangguk sambil memasang wajah memelasnya, ah kan Pandu jadi tak tega melihatnya.
"Ya udah deh dia boleh tidur disini, tapi awas ya kalau sampai dia ngompol. Pokoknya lo harus mandiin ini kasur dan sprei gue pake kembang tujuh rupa, enggak mau tau titik!" Lebay amat sih, sebenarnya Pandu ini Adiknya siapa ya? Mendadak dia tidak mau mengakui Pandu sebagai Adiknya.
"Iya, nih Vita-nya. Jangan sampai dia nangis ya? Kalau sampai dia nangis Kakak sunat lagi kamu," ancam Precil membuat Pandu langsung bergidik.
"Iya deh sana lo keluar, jangan lupa pintunya ditutup lagi." Setelah Kakaknya itu tidak lagi menampakkan batang hidungnya, Pandu beralih menatap Vita yang berada dalam pangkuannya.
"Eh Pita rambut si keponakan tersayangnya Om, kenapa mau tidur sama Om Pandu? Apa karena Om Pandu ganteng ya?" tanya Pandu sambil mengedipkan matanya.
"Dikamar Papa dan Mama berisik, Vita jadi enggak bisa tidur." Pandu mendengus mendengarnya.
"Katanya enggak mau lagi nambah anak, kenapa itu buat anaknya sering?" gumam Pandu kesal yang tanpa sadar didengar oleh Vita.
"Buat anak? Vita mau juga Om buat anak, nanti anaknya bisa jadi teman boneka Barbie-nya Vita." Pandu menggaruk tengkuknya ketika mendengar suara Vita yang sangat antusias sekali.
"Ehm kalau mau buat anak nanti kalau Pita sudah besar ya? Buatnya nanti sama suami Pita. Kalau sekarang enggak boleh, bolehnya Pita minta sama Kak Precil eh maksudnya Mami Pita. Besok Pita minta saja dibuatin Adik sama Mama dan Papa Pita, paham?" Vita mengangguk paham, sepertinya jika Precil mendengar ajaran ngawur bin sesat dari Pandu maka pria itu pasti akan mendapatkan timpukan sayang dari sendal Kakaknya.