Part 8 - Egois

1481 Kata
"Kamu penting. Lebih penting dari egoku." - Mawar de jongh - ©©© Panca menunggu di loby gedung apartemen tempat Anestia tinggal. Dia berdiri menghadap jalanan luar yang terhalang oleh kaca besar loby. Kali ini dia harus menyelesaikan persoalan tentang Aisa. Dia mengerti bahwa Anes mungkin berhak untuk marah karena dia tidak memberitahu gadis itu, tetapi bukan berarti Anes dapat berkata kasar pada Aisa. Menurutnya itu sudah melewati batas yang diharuskan untuk marah pada gadis berjilbab itu. Lagipula Aisa tidak salah, dia yang meminjamkan ponselnya sendiri. "Hai Pan!" sapa Anes saat mendapati Panca di loby. "Maaf ganggu malem-malem." "Gapapa, kenapa?" "Lo ngomong apa aja sama Aisa kemarin?" Anes mendengus, "masih aja soal dia? Kenapa sih Pan, lo jadi belain dia terus?" "Gue gak belain siapa-siapa disini, tapi lo udah terlalu kasar sama dia." "Kasar apanya?! Oh dia ngadu ke lo? Apa yang dia bilang? Gue jahat, gue bentak-bentak dia, gue terlali egois, gitu?" "Nes, dia bukan cewe yang seperti lo pikirin. Dia baik, dan bahkan terlalu polos untuk ukuran gadis remaja kayak dia. Kenapa lo tega banget bilang dia maling didepan banyak orang?" "Gue kan bicara sesuai sama fakta yang gue liat! Apa salahnya?" "Nes..." "Lo kenapa sih, Pan? Pacar lo itu gue, bukan cewe itu! Kenapa lo jadi belain dia terus? Bahkan lo sampai dateng kesini cuma buat marah-marah sama gue. Lo suka sama dia?" "Dia udah kayak adik gue sendiri, Nes." "Itu bukan jawaban dari pertanyaan gue. Gue kenal lo cukup lama, Pan. Lo bukan tipe orang yang gampang peduli sama seseorang. Satu pertanyaan gue, kenapa harus cewe itu?" ujar Anes. Panca terdiam mendapatkan pertanyaan itu dari Anes. Sampai sekarang saja dia masih bingung. Dirinya saja masih bertanya-tanya hal yang sama seperti pertanyaan Anes. Kenapa harus gadis itu? Dia tidak tahu. "Kenapa diem? Lo sendiri gak tau kan, kenapa lo harus peduli sama cewe itu." "Gue peduli karena, dia orang yang baik dan terlalu polos sampai gue..." ujar Panca berhenti di tengah perkataannya. "Lo pengen ngelindungin dia?" tambah Anes. "Gue gak ada perasaan apapun ke dia, Nes." "Lo tau kenapa gue marah ke dia? Itu karena gue gak mau kasih celah ke cewe lain buat masuk ke kehidupan lo selain gue. Dia emang cewe biasa yang terlalu lugu, tapi dia bisa bikin lo peduli bahkan sampai belain dia di hadapan gue. Inget pertama kali kita ketemu? Lo juga ngelakuin hal yang sama kayak gini. Wajar kalau gue takut kan?" "Itu beda." "Iya emang beda, gue gak pernah liat lo se-protektif ini ke orang lain bahkan gue sekalipun. Lo gak suka gue marah ke dia, sedangkan lo gak pernah kayak gini ke gue. Lo gak pernah sepeduli ini ke gue." "Anes please..." "Kalau lo gak betah lagi sama gue, kita bisa putus Pan." "No! Gue gak pernah berpikir sampai kesitu, Nes. Gue minta maaf. Gue gak pernah punya pikiran buat pergi tinggalin lo karena cewe lain. Gue gak se-b******k itu." "Lo bisa kan jangan deketin dia lagi?" tanya Anes. "Gue anggap dia teman sama kayak yang lain." "Tapi gue gak suka!" Panca menghela nafasnya panjang, dia melihat Anes yang masih dengan wajah marahnya. "Oke, gue gak akan deketin dia lagi." jawab Panca pasrah. "Gue gak mau maksa lo. Itu semua terserah keputusan lo sendiri." "Nes, kita udah jalan sampai sekarang. Gue tau selama ini belum bisa jadi yang terbaik buat lo. Mungkin gue gak seperti yang lo harapin juga, tapi gue gak pernah bohong sama perasaan gue. Lo penting buat gue. Gak pernah sekalipun gue berniat bikin lo kecewa. Walaupun gue bukan tipe cowo romantis tapi jujur gue peduli sama lo. Gue bukan tukang selingkuh." Anestia tidak tahu harus menjawab apa lagi. Kali ini perkataan Panca seakan ditujukan kepada dirinya. Anes tahu dirinya salah, dia tahu dirinya sangatlah egois. Jujur saja, Anes masih belum bisa melepaskan Panca walaupun dia juga sudah memiliki Dirga. Dia tidak rela jika Panca bersama gadis lain dan lebih perhatian pada gadis itu dibanding dirinya. Dia salah, tapi dia juga tidak bisa untuk berhenti. Dia tahu resikonya, disini yang akan paling tersakiti adalah Panca. Lelaki yang sudah dengan tulus dan baik padanya. Lelaki yang mungkin rela berkorban agar tidak menyakitinya, walaupun lelaki itu harus menyakiti dirinya sendiri. Anes bergerak maju dan gadis itu memeluk tubuh Panca. Dia menempelkan pipi kanannya pada d**a lelaki itu. Anes tidak sanggup mengatakan kata maaf saat ini. Panca selalu memaafkan dirinya saat dia melakukan kesalahan, tapi apakah lelaki itu mau memaafkan kesalahannya yang satu ini? Dia tidak mau kehilangan perhatian Panca, tapi dia juga terlalu sulit mengakhiri hubungan salahnya dengan Dirga. "Maaf, Nes." Tangan Panca bergerak membalas pelukan Anes padanya. Dia paling tidak suka jika harus bertengkar dengan Anes. Lebih baik dia mengalah daripada membiarkan hubungannya hancur hanya karena pertengkaran tidak berarti. ©©© Pintu terbuka dengan kemalasan Panca bergerak. Hari ini dia tidak memiliki jadwal kuliah karena itu, inilah saat dia bisa malas-malasan dirumah. Aira juga sedang tidak ada pekerjaan dan tengah membuat kue yang Panca sendiri tidak tahu apa, karena setau dia, Mamanya itu tidak bisa membuat kue. Saat Panca tengah menonton televisi, suara bel rumahnya terdengar. Dengan berat hati, dia berdiri membuka pintu rumahnya. Dia melihat ke arah luar pagar yang disana sudah berdiri seorang wanita berjilbab. Panca cukup terkejut saat tahu siapa yang berada di depan pagar rumahnya. Dia berjalan menuju pagar dengan kening yang mengkerut. "Ngapain lo disini?" tanya Panca setelah membukakan pagarnya. "Tante Aira telepon, katanya aku disuruh dateng ke rumah." "Telepon? Bukannya hp lo hilang? Kok nyokap gue bisa telepon lo?" "Iya, jadi tante Aira itu telepon Ais lewat nomer Ibu." "Kok nyokap gue bisa tau nomer telepon nyokap lo?" "Kan kemarin Tante Aira yang maksa buat minta nomer Ibu waktu Aisa kesini buat minta ijin." "Kenapa gue gak tau?" "Kak Panca lagi di kamar ganti baju waktu itu." "Terus ngapain lo dipanggil kesini?" "Gak tau, ini makanya Ais juga mau tanya. Kenapa dipanggil ke sini kak?" "Ya gak tau lah! Emang gue yang panggil lo ke sini." "Yaudah kalau gitu mana Tante Aira? Biar Ais yang tanya sendiri." "Gak usah, lo pergi aja sekarang."  "Kok pergi? Ais kan belum ketemu sama Tante Aira." "Gak usah ketemu. Mendingan lo pulang aja." usir Panca halus. "Tapi Tante Aira..." "Lo gak dengar apa yang gue bilang? Pulang." Sentakan dari Panca membuat Aisa terkejut. Wajah tidak bersahabat dari lelaki itu mampu membuat Aisa bergerak mundur takut. Dalam hidup Aisa satu hal yang paling dia tidak sukai adalah bentakan dan juga tatapan benci dari seseorang. Dia mempunyai memori buruk tentang itu. "Kak Panca marah sama Aisa? Emangnya Aisa salah apa?" "Lo gak salah." "Terus kenapa Kak Panca galak banget sama Aisa?" "Ais, kita ini gak ada hubungan apapun. Lo cuma mahasiswi baru yang gak sengaja gue tolong waktu ospek, dan harusnya gue gak belagak sok jadi pahlawan waktu itu." "Iya kita emang gak ada hubungan apapun Kak. Siapa yang bilang kita punya hubungan atuh?" Panca menghela nafasnya, "gue serius, Ais. Gue minta sama lo jangan masuk lebih dari ini dalam kehidupan gue. Lo itu orang asing, harusnya gue gak pernah kenalin lo ke keluarga gue. Itu kesalahan fatal gue." "Ais gak paham." "Pergi! Jangan pernah lagi berhubungan sama keluarga gue. Lo harus tau batasan dari seorang Kakak dan Adik tingkatnya. Hubungan kita cuma sebatas itu." ujar Panca. "Tapi Ais datang karena—" "Karena nyokap gue panggil lo 'kan?! Mulai sekarang, kalau nyokap gue panggil lo, gak usah dateng. Lonitu gak ada hak buat dekat sama keluarga gue. Kehadiran lo di sini cuma menganggu gue. Jadi lebih baik sekarang lo pergi, gak usah banyak tanya lagi!" Aisa terpaku mendengar pernyataan dari Panca. Dia langsung menatap mata Panca yang terlihat jauh lebih dingin daripada sebelumnya. Tidak lama Aisa menyorot mata itu, pandangannya kemudian menunduk. Mulutnya terbuka ingin berbicara tetapi kembali tertutup. "Ais.. Ais ngerti." ujar Aisa tersenyum kecil. Aisa melihat Panca yang masih diam tidak berbicara lagi. Dia kembali tersenyum pada Panca terlihat ceria. Lagipula ini memang salahnya. "Assalamu'alaikum." Setelah mengucap salam, tanpa menunggu jawaban lagi, Aisa berbalik hendak pergi dari depan rumah lelaki itu untuk memesan ojol lagi di depan komplek perumahan Panca. Dia tidak mungkin menunggu di rumah Panca saat sang tuan rumah sudah mengusirnya. Aisa cukup tahu kondisinya saat ini. "Maaf. Maaf Ais, gue minta maaf." Tidak tahu apa yang dirasakan oleh Aisa, namun tiba-tiba dia ingin menangis. Perasaan ini tidak pernah dia rasa sebelumnya. Dia merasa sangat sedih saat Panca berubah menjadi seperti sekarang. Dia tidak suka, tapi dia tidak bisa mengatakannya secara terus terang. "Assalamu'alaikum, Kak Panca." ujar Aisa tanpa menjawab permintaan maaf dari Panca. "Wa'alaikumsalam, Aisa." jawab panca dengan jeda saat menambahkan nama gadis itu. Setelah itu, Aisa berjalan pergi meninggalkan rumah Panca. Sedangkan Panca sendiri masih terus melihat punggung gadis itu tanpa mau memalingkan wajahnya. Jantungnya masih saja terus berdebar bahkan saat yang dia lihat sudah berjalan pergi menjauh. Tangannya mulai mengepal saat sudah tidak dilihatnya sosok Aisa lagi. Dia harus menghentikan ketertarikan ini sebelum dia tidak bisa berhenti kelak. ©©© TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN