Alam aja aku cinta apalagi kamu?
- Panca Nugraha -
©©©
Panca membereskan buku yang tadi dia gunakan untuk mencatat beberapa perkataan dosen yang menurutnya kurang masuk di akalnya. Biasanya mahasiswa menggunakan buku untuk mencatat materi yang diberikan dosen, kalau Panca beda lagi. Dia menggunakan bukunya untuk menulis hasil dari dia mencari-cari kesalahan materi yang disampaikan dosen. Setidaknya pasti dia mendapatkan paling sedikit satu yang menurutnya bisa menjadi bahan debat bersama dosennya. Sampai banyak dari para dosen yang mengatai dirinya bahwa dia salah jurusan. Harusnya dia masuk ke prodi Akuntansi mengambil penjurusan audit. Cocok sekali dengan kegemarannya yang suka mencari-cari kesalahan orang.
"Pan, lo tau gak? Lo tuh udah kayak malaikat Atid. Sukanya catat kesalahan orang. Gue yakin, itu buku isinya kesalahan-kesalahan dosen Universitas semua kan?" ujar Rifki jengah.
"Kalo jadi malaikat Atid buat lo, gue nyerah Rif. Dosa lo kebanyakan, gak sanggup gue catatnya." sahut Panca sambil terkekeh.
"k*****t lo!"
Patra yang duduk di kursi depan Panca ikut tertawa. Dia memutar tubuhnya menghadap kedua sahabatnya itu .
"Oh gue jadi tau sekarang, kenapa lo kalo jalan tuh lebih condong ke kiri. Ternyata karena dosa lo lebih banyak daripada amalan lo, Rif?" tambah Patra.
"Ah sialan lo pada! Mending gue ke tempat Saka Buana aja duluan daripada diledekin mulu sama lo berdua!"
Rifki pergi menggendong tas ranselnya keluar dari kelas. Hari ini Panca dan ketiga temannya itu memang akan menghadiri perkumpulan anak-anak Pecinta Alam di kampusnya yang di beri nama Saka Buana. Mereka akan membahas mengenai perekrutan anak baru yang berminat masuk ke dalam kelompok mereka. Kegiatan yang dilakukan oleh Saka Buana biasanya bukan hanya sekedar adventure saja. Terkadang mereka melakukan kegiatan membersihkan alam seperti pinggir pantai, atau taman kota, dan lainnya. Mereka juga sering memberikan semacam sosialisasi pada anak kampus lainnya untuk pentingnya menjaga kebersihan lingkungan di sekitar mereka. Pentingnya melestarikan hutan dan juga makhluk hidup di dalamnya.
Kalau kegiatan travelling sendiri, mereka sering mengadakan acara naik gunung, berkemah di salah satu spot wisata seperti dekat dengan air terjun, contohnya saja bulan lalu mereka mengadakan kemah di Baturaden. Tempatnya asri dan udaranya pun sejuk sekali, bagi orang yang suka dengan alam mungkin itu adalah hal yang menyenangkan namun bagi orang yang kurang suka kegiatan ini mungkin akan merasa tidak nyaman tidur di tengah hutan luas seperti itu.
"Ih dasar ngambekan!" ujar Patra sebelum Rifki benar-benar keluar.
"Udah! Yuk susul tuh bocah ngambek, lagi pms kali dia." tambah Panca menggendong ranselnya di salah satu bahu.
"Eh ngomong-ngomong, Anes kemana? Biasanya ngintilin lo mulu, takut lo di garong anak maba." tanya Patra berjalan disamping Panca.
"Gak tau, katanya sih ada urusan sama anak tim basketnya." jawab Panca santai.
"Lo sama Anes tuh kayak gak pacaran yah? Mana ada orang pacaran panggilannya masih lo-gue, jarang komunikasi, terus mesra? Boro-boro gue liat lo mesra sama dia. Justru kalian keliatan kayak Kakak-Adek tau gak?"
"Emang apa salahnya? Gue bukan orang alay yang tiap menit, detik harus dempet-dempetan, ngintilin pacarnya kayak anak ayam ke induknya. Terus kalo gak ketemu sehari berasa gak ketemu setahun. Alah lebay! Kayak gue gak punya kerjaan lain aja harus mikirin dia mulu."
"Ck ck! Gue kalo jadi Anes pasti bakal ngerasa ngenes banget dah. Pacarnya gak ada romantisnya sama sekali. Punya pacar tapi berasa kayak gak punya, mending jomblo aja sekalian. Biarlah jomblo tapi gebetan segudang, daripada pacar satu ada wujudnya tapi gak ada gunanya. Kasih perhatian gitu loh! Cewek itu kayak burung merpati, butuh perhatian nanti kalo gak diperhatiin bisa kabur. Masa harus gue ajarin, Pan?"
"Brisik lo! Sok nasihatin gue, percintaan lo aja masih belum bener. Itu Dini udah ditembak belum? Digantungin mulu, lo pikir jemuran?!" jawab Panca memukul Patra telak.
Lelaki itu meringis mendengar jawaban Panca yang tepat sasaran. Patra menggaruk tengkuknya tidak gatal sambil cengengesan tidak jelas.
"Lo mah kalo ngomong ngena banget dah. Langsung mati kutu gue. Pantes sih, dosen banyak yang gak mau berurusan sama lo. Mulutnya tajem, kayak pisau baru diasah."
Panca menggelengkan kepalanya jengah, dia sudah biasa mendengar omongan besar Patra. Lelaki itu memang banyak omong tapi lebih sedikit action. Walau begitu, Panca menyukai sifat Patra yang setia dan tidak lemes alias tidak suka membocorkan rahasia dari teman-temannya. Mungkin lelaki itu banyak omong tapi untuk urusan hal pribadi, dia lebih banyak diam dan tidak ikut campur. Itu yang disukai Panca, dan sifat humor-nya juga membuat Panca betah berteman dengan Patra sampai sekarang.
Panca menghentikan langkahnya saat melihat Rifki di depan sana tengah berbicara dengan seorang gadis berjilbab abu-abu. Dari posisinya sekarang, Panca bisa melihat dengan jelas wajah gadis itu yang saat ini tengah tersenyum menanggapi Rifki yang masih berceloteh. Patra yang sadar kalau Panca berhenti, menoleh ke samping bingung. Kemudian dia melihat pandangan Panca yang mengarah ke depan tempat Rifki berdiri.
"Itu... Rifki sama si cewek bidadari polos itu kan? Ngapain tuh bocah? Hmm gue mencium bau-bau modus nih."
Perkataan Patra sama sekali tidak Panca tanggapi. Entah apa yang terjadi pada dirinya, tapi dia merasakan hawa di sekitarnya menjadi lebih panas. Dia mengerutkan kening lebih dalam melihat interaksi dari temannya bersama gadis yang dia ingat bernama Aisa. Panca melangkah mendekati mereka berdua diikuti Patra.
"Eh ada Mas yang kemarin." ujar Aisa seketika saat melihat Panca.
"Udah gue bilang jangan panggil gue Mas! Susah banget ngomong Kak Panca?" jawab Panca tidak suka.
"Hehe oh iya, Kak Panca maksudnya. Jangan galak begitu, Kak. Nanti tuanya kecepatan loh, mau? Senyum dong kayak Aisa, tambah pahala tau." sahut Aisa tanpa tersinggung dengan kalimat sinis Panca.
"Tuh Pan! Senyum, jangan emosi mulu. Ntar cepet tua loh!" ujar Rifki sambil menahan tawa.
"Bacot! Ngapain dia disini?" jengah Panca.
"Mau minta formulir, dia pengen gabung ke Saka Buana katanya. Gak nyangka ternyata kecintaan kita ke alam bisa samaan gini yah? Apakah ini pertanda?" ujar Rifki.
"Pertanda ajal lo udah dekat maksudnya?" celetuk Patra lalu terbahak sendiri.
"Bang... Bang tut lo! Pertanda masa jomblo gue bakalan berakhir lah!" jawab Rifki tidak jadi mengumpat karena Aisa.
"Ih Kakak kentut? Gak sopan Kak Rifki, lagi ngomong sama orang gini kok kentut sih?" protes Aisa.
"Eh bukan gitu maksudnya, Neng. Aduh begimana yak...?"
Panca tidak bisa tidak tertawa, wajah cemberut Aisa terlihat sangat menggemaskan persis seperti anak kecil. Ditambah wajahnya memang tidak memakai make up sama sekali. Kenapa Panca jadi gemas sendiri seperti ini?
"Makanya, jangan deket-deket sama Rifki. Dia orangnya suka kentut sembarangan. Apalagi kalo habis makan telor, suka bunyi kadang." ujar Panca memprovokasi.
"Apaan sih lo, Pan? Jahat amat sih fitnah-fitnah gue kayak begitu."
"Emang fakta! Tanya aja Patra, iya kan?"
Patra yang tertawa hanya menganggukkan kepalanya. Apa yang Panca katakan memang bukan omong kosong belaka. Diantara teman-temannya yang lain, Rifki adalah rajanya kentut. Dia bisa membuang gas itu dimana saja, bahkan di kelas sekalipun. Bahkan waktu makan di kantin saja pernah, sampai bunyinya terdengar cukup keras. Panca dan yang lainnya saja sampai tidak nafsu lagi menghabiskan makanan mereka karena bau yang dihasilkan dari gas milik Rifki. Sebelas-dua belas dengan kaos kaki milik Panca sebenarnya. Sama-sama berpotensi menghilangkan kesadaran orang yang menciumnya terlalu lama.
"Lo mah gitu! Baru mau pdkt udah dijatohin duluan. Pada gak seneng liat gue bahagia kayaknya yah lo semua?"
"Kak? Jadi ngasih formulir buat Ais gak? Aisa mau cepetan pulang, ada pengajian di rumah soalnya." ujar Aisa meminta formulir pendaftaran.
"Oh iya, Pan formulirnya mana? Kasih nih ke dia satu."
"Pendaftarannya kan belum dibuka, Rif. Lo gimana sih?" ujar Panca.
"Gapapalah, khusus buat calon gebetan gue nih."
"Alah gebetan! Kayak Aisa mau aja sama lo."
"Mau dong pasti! Iya kan, Ais?"
"Enggak!" jawab Aisa tanpa beban sama sekali.
"Sukurin! Hahaha..." gelak Patra puas.
"Tulis aja nomer hp lo disini. Nanti kalo pendaftaran udah dibuka, gue kabarin."
Panca berujar sambil menyerahkan ponselnya ke hadapan Aisa. Gadis itu menerima ponsel Panca tanpa menyentuh tangan lelaki itu, lalu mengetikkan nomer ponselnya. Patra dan Rifki yang melihat itu langsung menoleh ke arah Panca mencari jawaban namun lelaki itu tidak berkata apa-apa.
"Udah! Tadi Ais masukin pake nama Aisa. Jangan lupa kabarin ya Kak?" ujar Aisa mengembalikan ponsel lagi tanpa menyentuh Panca.
"Hm! Nanti namanya gue ganti jadi boncel." jawab Panca sengaja.
"Kok boncel lagi sih? Aisa Kak, bukan boncel." protes Aisa.
Panca tersenyum kecil, "iya bawel lo! Pergi sana! Katanya ada pengajian."
"Yaudah, Aisa pamit. Assalamu'alaikum Kakak sekalian."
"Wa'alaikumsalam." ujar mereka serempak.
"Ini perasaan gue atau lo keliatan lebih care ke dia dari tadi?" tanya Patra.
"Care apanya?"
"Beda aja! Gimana sih jelasinnya?"
"Lo gak suka sama dia kan, Pan?" tanya Rifki.
"Gak lah! Lo mau liat gue dilempar bolak-balik bola basket sama Anes? Cari mati kalo gue selingkuh dari dia. Lagian cewek kayak dia gitu udah gampang ketebak, gak akan suka-sukaan apalagi pacaran. Sentuhan aja gak mau, berduaan apalagi?" jelas Panca.
"Tapi tadi sama gue mau berduaan?" ujar Rifki bangga.
"Lo gak liat sekeliling lo masih banyak orang gini? Berduaan dari mananya?"
"Dasar pede!" ejek Patra.
Panca meninggalkan Rifki dan Patra memasuki ruangan yang sudah terisi anak-anak Saka Buana termasuk Dani juga disana. Panca langsung duduk di salah satu kursi sebelah Dani setelah bertos ria dengan lelaki itu. Panca meraba dadanya yang masih terdapat sisa debaran jantungnya. Masih seperti kemarin, ternyata jantungnya masih belum sembuh ketika melihat gadis itu tersenyum bahkan semakin menggila lagi saat sedang cemberut menggemaskan. Fix dia butuh periksa ke dokter spesialis jantung setelah ini.
©©©
TBC