Lorong kampus yang biasanya riuh kini terasa lebih sepi. Yolanda berdiri di dekat lobi, pandangannya mengarah ke pintu keluar. Ia sedang menunggu Zahra, yang ia lihat sedang berjalan ke arahnya dengan raut wajah seperti biasa—tenang, bahkan terlalu tenang. “Zahra!” panggil Yolanda, melangkah cepat menghampiri. Zahra berhenti, sedikit menoleh dengan ekspresi datar. “Ya?” jawab Zahra singkat, menunggu Yolanda bicara. Yolanda menarik napas dalam-dalam, mencoba mengontrol nada suaranya. “Aku mau tanya soal Imah. Kamu tahu di mana dia? Aku ke apartemennya kemarin, tapi tidak ada jawaban.” Zahra mengerutkan kening, berpura-pura tidak mengerti. “Imah? Kenapa tanya aku? Aku tidak tahu dia di mana,” ujarnya dengan nada datar, seperti ingin cepat menyelesaikan pembicaraan. “Jangan pur

