Gadis Naif

1666 Kata
“Farfalla hilang, pantas saja tadi dia tidak masuk sekolah,” lanjutnya. Tari mendengkus kesal, sudah hampir delapan belas tahun, tapi suaminya tidak berhenti mengurus anak wanita itu. “Kamu jangan kesal seperti itu,” ucapnya. “Bagaimana aku tidak kesal, Mas. Ini sudah lama sekali, sudah bertahun-tahun Mas mengurusnya. Atau jangan-jangan Mas juga….” “Ssttt… aku tidak mau mendengar ucapan mu. Kamu pasti salah sangka terus.” Yunus memotong ucapan Tari, istrinya. Tari menampilkan wajah cemberut, dulu… dulu sekali ia masih bisa maklum jika Yunus sering membantu wanita dan anak perempuannya itu. Wanita yang sampai hari ini tidak Tari ketahui namanya. Bantuan itupun Yunus lakukan secara diam-diam tanpa sepengetahuan Tari dan Tari pikir, Yunus sudah tidak melakukannya lagi karena sudah beberapa tahun terakhir ia tidak pernah lagi mendengar nama anak itu keluar dari mulut Yunus. Ternyata Tari salah, Yunus masih membantu dan mengkhawatirkannya. “Paling, besok dia juga masuk sekolah,” ketus Tari sambil merebahkan diri di samping Yunus. Wanita itu menarik selimut dengan kasar dan tidur membelakangi suaminya. Yunus memperhatikan Tari dengan sudut matanya, dia merasa bersalah pada istrinya itu, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Tari dan anak-anak mereka adalah tanggung jawabnya, dan Farfalla juga tanggung jawabnya. Yunus tidak boleh mengabaikan mereka. “Aku lelah.” Tari mengedikkan bahunya saat Yunus mencoba untuk menyentuhnya. “Kamu bukan lelah, tetapi kamu sedang kesal padaku,” ucap Yunus. “Aku tidak suka kalau Mas terus mengurusnya,” terang Tari. “Mas tidak terus mengurusnya, hanya sesekali saja saat mereka membutuhkan bantuan.” Tari mendecih, di saat mereka berdua di dalam kamar, Yunus masih saja membela mereka. Kemudian ia semakin merapatkan selimutnya dan memaksa kedua matanya untuk terpejam. Ia malas berdebat karena ia tidak akan pernah menang dengan keinginan suaminya yang selalu ada untuk wanita itu. “Maaf.” Yunus berbisik di telinga Tari. Pria itu menempelkan tubuhnya pada punggung istrinya. Rasa hangat mulai menjalar seiring dengan rintik hujan yang mulai turun membasahi bumi malam itu. “Setelah dia tamat SMA, mungkin dia bisa mandiri sehingga dia tidak membutuhkan bantuan kita lagi.” Tari kembali mencebik, ucapan Yunus terasa begitu lucu di telinganya. Bantuan kita? Selama ini Tari tidak pernah membantu selain memeberikan kerelaan pada Yunus. “Berapa lama lagi Mas meminta aku untuk bersabar?” “Satu tahun lagi.” “Mulut Mas tidak bisa di percaya untuk gadis itu,” sentak Tari. Yunus membuang nafas nya tepat di telinga Tari, hembusan nafas Yunus tersebut membuat wanita itu sedikit meremang. Tari sangat mencintai Yunus, meski usia pernikahan mereka sudah berjalan lima belas tahun tetapi mereka masih mesra layaknya pengantin baru. Mereka hampir tidak pernah bertengkar karena Yunus adalah suami yang sangat pengertian dan Tari adalah istri yang penyabar. Satu-satunya masalah yang sering membuat mereka bertengkar adalah Farfalla. “Aku sedang tidak ingin.” Tari kembali menolak Yunus saat tangan pria itu telah menyusup ke dalam bajunya. Namun Yunus tidak mendengarkan penolakan Tari, ia terus saja melakukan apa yang di inginkannya hingga akhirnya Tari tidak bisa lagi menolak. Sentuhan Yunus di titik terpeka tubuh Tari membuat wanita itu kembali pasrah dengan semua permintaan suaminya. “Aku mencintai mu. Hanya mencintai kamu dan anak-anak kita,” ucap Yunus yang sudah beranjak pindah ke atas tubuh Tari. * Farfalla berteriak senang saat mereka berdua memasuki kamar kost Carla. Dia tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan nya. Sepulang bekerja tadi, ia tidak berhenti berceloteh dan Carla membiarkan begitu saja Farfalla bersuara tanpa henti di telinganya. “Aku sangat bahagia, Kak,” ujarnya sambil merebahkan diri di kasur Carla. Kedua tangannya ia rentangkan, matanya menatap langit kamar dengan penuh binar. “Aku sangat bahagia,” ujarnya lagi. “Kamu sudah berkali-kali mengucapkan kata itu,” ucap Carla yang sedang membuka pakaian nya dan mengganti dengan baju rumah yang lebih ringan untuk ia pakai. “Ganti baju dulu dan makan sedikit sebelum tidur. Kita akan tidur dengan nyenyak kalau perut kita terisi,” lanjut Carla lagi. Carla benar-benar memperhatikan Farfalla, ia memperlakukan Farfalla seperti adik nya sendiri. Dan rasa sayang yang di tampilkan Carla itulah yang membuat Farfalla jatuh cinta dan tidak mau meninggalkan Carla. Ia rela hidup dengan kesederhanaan, berdua di kamar kost Carla yang tidak terlalu besar karena sebenarnya Farfalla juga tidak pernah hidup dalam kemewahan. Farfalla beranjak dari kasur karena Carla sudah membawa dua piring dan sendok untuk mereka berdua. Tadi sebelum pulang ke rumah, Carla mampir di warung nasi uduk untuk membeli makanan buat mereka berdua. “Kak, nanti kalau aku sudah gajian… kakak bisa memegang uang gajiku,” ucap Farfalla. Ia merasa tidak enak hati setelah dua hari ini, makannya bergantung pada Carla. Carla menghentikan gerakan tangannya sebentar saat Farfalla berkata. Kemudian ia melanjutkan lagi membuka bungkus nasi uduk miliknya. “Gajimu adalah punya mu, kakak tidak punya kewajiban untuk memegangnya,” jawab Carla. “Tidak, aku mau kakak yang memegangnya. Aku hanya minta separuhnya untuk membeli kebutuhan ku.” Carla tersenyum kecil. Farfalla masih kecil, masih anak SMA yang baru mulai bekerja. Mengingat Farfalla masih sekolah, ada rasa sesal di hati Carla telah membawa gadis itu ke tempat kerjanya. “La.” “Hmmm, ada apa Kak?” “Kamu serius tidak ingin melanjutkan sekolah lagi?” “Aku sangat serius.” “Hari ini, kamu sudah bolos dua hari. Jika kamu mau, kamu masih bisa berubah pikiran. Aku bisa mengantarkan kamu pulang ke rumah dan masih bisa ngebut untuk mengantarkanmu ke sekolah.” Farfalla menghentikan kunyahan nya, ia menatap serius pada Carla. “Aku tidak mau lagi sekolah. Aku bisa mengambil Paket C nanti jika aku butuh ijazah SMA,” ucap Farfalla santai. Carla kembali diam, sebagai seorang teman yang sudah di anggap kakak oleh Farfalla ia hanya bisa memberi saran. Semua keputusan ada di tangan Farfalla, Carla hanya tidak mau gadis itu akan menyesal seperti dirinya. “Bekerja itu berat, tidak seringan yang kamu pikirkan. Apalagi bekerja di tempat kita bekerja sekarang,” ujar Carla pelan. “Aku menikmatinya. Tugasku hanya mengantar minuman pada tamu yang datang. Tidak begitu sulit.” Kamu hanya belum tahu, La. Kamu belum melihatnya. Nanti akan sampai di suatu malam kalau kamu akan bekerja dengan sangat berat. Tidak hanya mengantarkan minuman pada tamu yang datang tetapi juga melayani mereka. “Ngomong-ngomong… aku tidak melihat kakak tadi. Kakak kemana saja?” Carla tersenyum kecil, lidahnya kelu. Ia tidak pandai menjelaskan pada Farfalla kemana ia pergi tadi. Carla sudah terbiasa tutup mulut pada siapapun tentang pekerjaan plus-plus yang ia lakoni. Itulah yang Carla takuti, Farfalla masih terlalu muda untuk berkecimpung di dunia itu. Ia takut akan bermasalah nanti karena ia telah membohongi Rudolf tentang usia Farfalla yang sebenarnya. “Tidak kemana-mana.” Carla langsung beranjak untuk membuang bungkus nasi uduk yang telah kosong. Ia mencuci ke dua tangan dan kembali ke tempat Farfalla. “Ganti baju mu dan tidurlah,” perintahnya. Farfalla mengangguk, ia memasukkan ke mulut suapan terakhirnya dan melakukan apa yang Carla minta. Tidurnya kali ini akan menjadi tidur pertama yang sangat indah bagi Farfalla, matahari sudah mulai bersinar terang biasanya ia sedang bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah tetapi pagi ini ia sudah melakukan hal lain yang bertolak belakang dengan kebiasaan nya itu. Farfalla tersenyum kecil, satu sudut bibirnya terangkat ke atas. Carla sudah terlelap di sampingnya. “Mama… mama lihat kan? Aku bisa hidup tanpa mama. Aku sudah bekerja dan aku bisa mendapatkan uang dengan usaha ku sendiri. Tidak seperti mama yang sampai hari ini masih menjual tubuh untuk mendapatkan uang.” Kemudian Farfalla mulai memejamkan mata. Ia tidak sadar takdir seperti apa yang akan ia jalani ke depan nanti. Farfalla hanya seorang gadis yang naif, yang berfikir dengan perasaan tanpa mempertimbangkan sesuatu dengan matang. Kedua gadis itu sudah terlelap di saat orang-orang mulai terbangun untuk menjalankan kehidupan yang sebenarnya. * Yunus menutup buku absen miliknya setelah memanggil satu persatu siswa yang sedang ia ajar. Pagi ini, ia masuk ke kelas Farfalla dan gadis itu masih berstatus tanpa keterangan. Ini sudah dua hari ia tidak masuk dengan keterangan alfa. Dan jika sudah masuk hari ke tiga bisa jadi gadis itu nanti akan mendapat skorsing dengan ketidak hadirannya yang berturut-turut itu. Yunus membuang nafasnya, masalah uang SPP yang masih ada tunggakan dua bulan masih belum bisa mereka selesaikan, di tambah dengan masalah kehadiran yang tanpa keterangan. Apa yang sedang menimpa Farfalla dan ibunya? Habis mengajar nanti, Yunus akan menemui wali kelas Farfalla dan membicarakan hal ini. “Saya tidak bisa menghubunginya.” Siska meletakkan ponselnya di meja. Setelah mendapatkan laporan dari Yunus kalau anak didiknya tidak hadir selama dua hari. “Uang SPP nya masih menunggak dua bulan, apa karena masalah ini dia tidak masuk?” Siska menerka-nerka, ia menatap Yunus untuk menerima jawaban. “Bisa jadi,” ungkap Yunus tidak yakin. Mengenai uang SPP padahal Yunus sudah memberikan jumlah yang sesuai pada Arinee malam itu, ia juga menambahkan sedikit untuk biaya makan mereka. Tapi Yunus hanya menerima uang tersebut separuhnya, dan sisanya Yunus tidak tahu di pakai untuk apa. “Aku baru menemukan anak dengan kasus seperti ini. Tidak pernah anak-anak yang bersekolah di sini terlambat atau macet dalam membayar uang SPP.” Siska menegeluarkan buku besar miliknya dan mencari nama Farfalla. Sebagai wali kelas baru, ia belum mengenal semua latar belakang keluarga anak didiknya. “Hanya tertera ibunya. Apa ayahnya sudah meninggal?” tanya Siska. Yunus yang duduk di depan Siska terlihat sedikit salah tingkah, tadi ia bermaksud menyampaikan hal ini pada wali kelas Farfalla supaya wali kelasnya ini bisa mencari tahu alasan Farfalla tidak masuk sekolah, bukan mencari tahu tentang ayahnya. “Maaf Bu Siska, saya permisi dulu. Masih ada pekerjaan yang harus saya selesaikan,” pamit Yunus. “Ya, terima kasih telah memberi tahu saya,” jawab Siska tanpa sedikitpun menaruh rasa curiga pada Yunus. Sudah hal biasa jika guru mata pelajaran menghubungi wali kelas jika ada masalah yang terjadi pada anak didik mereka. Siska terus membaca profil Farfalla, siang ini… jika ia masih belum bisa menghubungi orang tua Farfalla maka ia akan mendatangi rumah gadis itu untuk mencari tahu langsung apa yang sedang terjadi yang membuat Farfalla tidak masuk sekolah dengan status tanpa keterangan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN