Ini sudah 2016 dan sebentar lagi usianya sudah mau 29, seorang perempuan most wanted seperti Rengganis Maura Halim atau lebih terkenal dengan nama Ranis Maura itu masih saja jomblo? Demi apa coba? Banyak eksmud alias eksekutif muda yang sudah mengantre demi mendapat perhatian dan cinta dari Ranis.
Wajah Ranis itu masuk dalam kategori manis sehingga membuat siapa saja yang memandangnya tidak akan pernah bosan. Bola matanya bundar sempurna, iris matanya berwarna hitam pekat, bulu matanya lentik, hidung tidak terlalu bangir tapi cukup mancung, pas lah dengan pipinya yang cubby namun dagunya agak lonjong. Kulitnya kuning langsat, tubuhnya tinggi semampai, membuat Ranis sangat cocok mengenakan pakaian apapun.
Pekerjaan? Jangan ditanya, sudah mapan sebagai editorial di Famous Magazine, majalah mingguan yang lagi naik daun dalam kurun waktu 7 tahun terakhir di tanah air ini. Kadang dia juga menjadi penulis rubrik fashion di Famous, masih aktif di blog fashion yang dibuatnya sejak 4 tahun yang lalu, juga punya penghasilan tambahan pula hasil dari endorse di sosial media i********:, istilah kekiniannya bisa dikatakan Ranis tuh selebgram. Apa lagi coba yang kurang? Secara finansial semua sudah terpenuhi. Hidupnya sudah bahagia dan indah menurut Ranis. Ranis mencintai dunia fashion, Ranis bekerja sesuai dengan passion nya. Ranis sangat mencintai hidupnya, menyayangi teman, saudara dan keluarganya.
Namun sayang ada satu ruang kosong di hatinya, serasa ada separuh jiwanya yang hilang. Dan sampai di detik ini Ranis masih membiarkan ruang di hatinya itu kosong.
Kadang Ranis juga berpikir, haruskah dia mencari belahan jiwanya? Ataukah ia cukup menanti saja kehadiran belahan jiwanya itu? Pertanyaan seperti itu semakin sering muncul seiring bertambahnya usia Ranis. Belum lagi kegelisahan dan mimpi buruk yang selalu hadir disetiap menjelang hari ulang tahunnya. Bukan masalah bertambahnya umur dan belum memiliki pasangan hidup, bukan sama sekali. Dia selalu gelisah karena kejadian memilukan itu terjadi tepat di malam ulang tahunnya. Sejak saat itu lah Ranis selalu merasa separuh jiwanya telah pergi dan juga seolah dihantui oleh mimpi buruk selama hampir 7 tahun ini.
(-)
"Saya akan menghipnotis kamu. Ini sesi teraphy terakhir kita ya, Ranis. Saya akan mengirimkan sugesti-sugesti pada Ranis. Setelah ini Ranis akan lupa pada saya, pada yang Ranis alami selama 5 tahun ini. Ranis juga sudah tidak perlu minum obat-obatan terkutuk itu dan tidak ada lagi sesi teraphy seperti ini. Semuanya akan kembali normal dan berjalan sebagaimana mestinya." Pria berwajah sabar dihadapan Ranis itu mengatakan semua yang diucapkannya dengan lembut namun tetap terdengar tegas.
"Tapi mas, kenapa harus membuat Ranis lupa sama Mas Bima?"
"Itu memang bagian dari teraphy ini, Nis."
"Ranis nggak mau kalau harus lupa sama Mas Bima." Ranis mulai tidak terkendali.
"Saya mau lihat Ranis sembuh total.Selain itu saya juga penginnya kamu mengenal saya sebagai orang baru, bukan sebagai psikiater kamu. Saya pengin pertemuan kita selanjutnya nanti lebih berkesan daripada ini," ucap laki-laki itu dengan tatapan teduhnya.
"Aku nggak mau kehilangan Mas Bima." Ranis mulai menangis.
"Sshh...Sekarang kamu rileks ya."
"Enggak mau..." Ranis memekik saat Bima menekan bahunya pelan.
"Ranis pengin sembuh tidak?"
Akhirnya Ranis hanya mengangguk lalu tersenyum getir di tengah tangisannya. Bima mengangkat dagu Ranis lalu mengusap aliran air mata di pipi putih gadis itu dengan ibu jarinya. Bima mengecup pelan kening Ranis singkat namun dalam, begitu saja sudah membuat perasaan Ranis menghangat.
Ranis menatap manik mata kecoklatan milik Bima. Kemudian tanpa ada yang memerintah wajah keduanya saling mendekat sehingga membuat kedua bibir mereka bersentuhan. Perlahan Bima mengulum dengan lembut bibir berwarna peach milik Ranis. Ciuman itu semakin dalam, Ranis membuka mulutnya dengan sukarela dan membuat lidah Bima bisa menerobos masuk dengan mudah. Jari-jari besar Bima sudah berada di kepala bagian belakang Ranis dan menyisir rambut lurus gadis itu, sedangkan jemari Ranis memilin ujung kemeja Bima.
Ketika keduanya saling terengah dan merasa membutuhkan oksigen, Bima melepas bibirnya yang terpagut. Setelah memberikan kecupan singkat, Bima memeluk tubuh Ranis, lalu mulai membisikkan rangkaian sugesti di telinga gadis itu dan berakhir dengan untaian kata cinta dari Bima.
"Saya mencintai kamu, Rengganis."
(-)
Seketika Ranis terbangun karena tubuhnya merasa terguncang hebat. Saat membuka mata dia melihat office boy kantor sedang membawa nampan kosong, lalu menyapa Ranis.
"Kopinya udah nih Bu? Mau aye bikinin kopi baru kagak?"
Ranis masih berusaha mengumpulkan sukmanya yang terpencar. Setelah sadar sepenuhnya dia mendudukkan tubuhnya di sofa tempat dia berbaring tadi.
"Jam berapa sekarang, Din?" Jemari lentiknya merapikan rambut sebahunya yang sedikit kusut.
"Jam enam. Begimane? Mo aye bikinin kopi lagi kagak nih?"
"Nggak usah deh Din. Saya sudah mau pulang."
"Masih hujan noh bu," tunjuk Udin sang OB ke jendela kaca di ruangan Ranis yang masih basah oleh aliran air hujan. Ranis beranjak dari duduknya lalu melangkah menuju kaca jendela itu.
"Saya sudah lama ya, Din, ketiduran di sofa?"
"Kayaknya sih gak sampek sejam bu. Tadi Ibu ngigo, nyebut-nyebut nama gitu. Mas siapa ye tadi? Ah iya Mas Bima."
"Mas Bima? Siapa itu?"
"Yaelah, mane aye tau. Pan nyang mimpi Ibu."
"Ya udah, sana deh kamu balik ke pekerjaan kamu."
"Aye ini mau pulang bu. Tapi kemari dulu, takutnya ibu butuh sesuatu."
"Nggak ada, kamu pulang aja."
"Baik bu."
OB itu pun akhirnya meninggalkan ruangan Ranis. Ranis menggelengkan kepalanya sembari melihat pemandangan kota Jakarta yang tengah diguyur air dari langit petang ini, melalui jendela kaca ruangannya di lantai 15.
"Geleng kenapa, Nis?"
"Ah, elo Mir. Kapan nyampeknya?"
"Elaah... Udah 10 menit gue di sini. Lo ngelamunin paansi?"
"Masalah kerjaan, biasalah."
"Mas Bima siapa, Nis. Pacar lo?"
"Nggak tau siapa? Yuk pulang, jadi ikut ke rumah Mas Rey?"
Miranda hanya tersenyum tipis, lalu Ranis mengamit lengan sepupu sekaligus sahabatnya itu untuk keluar dari ruangannya.
Sejak kakaknya menikah, Ranis memang memutuskan untuk tinggal bersama keluarga kakak laki-lakinya. Bukannya apa, kakaknya itu sering sekali bepergian ke luar kota untuk urusan pekerjaan dan istri kakaknya itu tidak mau tinggal di rumah sendirian, meskipun ada asisten rumah tangga yang mau diajak tinggal bersama saat Rey keluar kota. Karena tidak tega akhirnya Ranis pun bersedia untuk tinggal di rumah itu, dengan syarat kedua kakaknya tidak boleh mencampuri urusan pribadi Ranis.
---
Mobil Swift putih milik Ranis merayap pelan membelah jalanan ibukota petang ini. Entah berapa ratus unit mobil harus bertemu di satu poros ibu kota, kendaraan dari berbagai penjuru seolah berkumpul menjadi satu di sini, berkonsentrasi penuh di balik kemudi dengan satu tujuan yang sama yaitu ingin segera sampai di rumah masing-masing.
"Macet mak. Hayati lapar ini..."
"Perut lo Nis. Dari dulu nggak pernah berubah. Gampang banget lapar, tapi badan lo ya segitu-gitu aja dari dulu. Bikin ngiri makhluk berkromosom Y di jagad ini deh."
"Lebay lo!"
Ranis menyandarkan kepalanya di bantalan kepala jok mobil. Audio di mobilnya sedang memutar lagu milik Norah Jones yang berjudul Seven Years.
Pelan bibir Ranis mengikuti lirik lagu yang sedang terputar, sesekali jemarinya mengetuk roda kemudi di hadapannya. Miranda hanya tersenyum mendengar ada suara serak lainnya selain Norah Jones di mobil ini.
"Spinning, laughing, dancing to
Her favorite song
She's a little girl with nothing wrong
And she's all alone
A little girl with nothing wrong
And she's all alone"
"Kayaknya lo menghayati lagu ini banget? Gue sering denger lo muter lagu ini.
"Paansi? Cuma nyanyi doang."
"Gue denger Aditya balik ke Indonesia, Nis."
Hening, tak ada jawaban dari Ranis menanggapi pertanyaan atau kah pernyataan dari sepupunya itu. Aditya yang dimaksud Miranda adalah Kevin Aditya. Laki-laki itu memang sudah tidak pernah menampakkan batang hidungnya lagi semenjak hari pernikahan Kakak mereka 3 tahun yang lalu.
"Sudah sampai mbak. Trayek angkot cuma sampe sini ya. Silahkan di cek bawaannya, jangan sampai ada yang ketinggalan!"
Spontan Miranda menoyor kepala sepupunya itu yang berlagak sudah seperti sopir angkutan umum sedang mempersilakan penumpangnya turun.
Ranis tertawa renyah dan khas dengan suaranya yang sedikit serak. Ranis sedang berusaha menetralisir hatinya agar tidak terbawa perasaan saat Miranda menyebutkan nama itu.
Namun Ranis masih saja tetap tertawa melihat ekspresi jijik di wajah Miranda yang menurutnya lucu itu. Tawanya seketika terhenti saat menyadari ada mobil asing sudah terparkir persis di depan garasi rumah Rey. Sepertinya tamu itu sudah agak lama berada di rumah, karena kalau cuma bertamu sebentar biasanya mobil hanya parkir di depan pagar rumah. Akhirnya Ranis memilih sedikit membelok dan menepikan mobilnya di depan pagar rumah.
"Mas Rey kayak lagi ada tamu, Nis."
"Iya, yuk masuk. Lapar gue. Semoga kak Luna masak enak malam ini."
Ranis yang sudah terbiasa dengan rumah ini langsung masuk melalui pintu gerbang yang tidak digembok, hanya tertutup sempurna saja. Miranda turut mengekori di belakangnya.
Meskipun Ranis penghuni rumah ini, dia memiliki tingkat sopan santun yang sangat tinggi. Ranis selalu menekan bel jika melihat pintu rumah dalam keadaan tertutup rapat. Dia langsung masuk hanya jika pintu rumah terbuka atau dia sudah membawa kunci sendiri saat rumahnya Kakaknya itu benar-benar kosong. Ranis memang seribet itu soal tata krama masuk rumah selain rumah pribadinya atau rumah orang tuanya.
Ranis menekan bel untuk yang kedua kalinya, tapi tidak muncul tanda-tanda ada orang yang akan membukakan pintu untuknya. Tepat ketika bel ditekan untuk yang ketiga kalinya seorang pria bertubuh tinggi dan tegap membukakan pintu untuk Ranis. Setelah pintu terbuka sempurna, Ranis melihat siapa yang membukakan pintu untuknya. Aroma Acqua Di Gio menyeruak hingga rongga hidungnya. Parfum ini bukan milik Reynaldy. Pandangan Ranis beredar dari ujung kaki sampai mata sosok yang tengah berdiri tepat di hadapannya. Saat mata mereka bertemu, keduanya hanya saling tatap untuk sepersekian menit dan tersadar mendengar teriakan suara perempuan dari dalam.
"Siapa yang datang, Dit? Ranis ya?"
"Gue duluan ya," bisik Miranda pada Ranis. Gadis itu tidak menyahut. Matanya terus menatap tajam ke arah mata laki-laki di hadapannya ini.
"Hai," laki-laki itu menyapa Ranis dengan ramah. Tidak ada tanda-tanda dia ingin beranjak dari tempatnya berdiri saat ini. Senyum termanis sengaja dia ukir di wajah tampannya, dengan harapan Ranis akan membalas senyuman itu.
"Ngapain kamu di sini?" Ranis justru menanggapi senyum itu dengan pertanyaan sarkas.
"Ini rumah Kakakku juga kan? Lupa kamu?" Aditya mencoba menahan senyumnya saat melihat perubahan drastis pada ekspresi wajah Ranis. Meski sedang marah, wajah Ranis tetap menggemaskan di mata laki-laki itu.
"Aku mau lewat!" Ranis benar-benar menggertak Aditya.
"Seingatku Rengganis Maura Halim itu orangnya punya tingkat kesopanan yang amat tinggi dan terkenal karena keramahan kamu deh. Kenapa sekarang jadi antipati gini sama orang?"
"Hanya sama orang kayak kamu aku jadi gini!" jawab Ranis dingin.
Laki-laki itu memberi ruang pada Ranis untuk masuk ke dalam rumah. Tanpa menoleh sedikit pun, Ranis terus berjalan menuju ke dalam rumah.
Ranis langsung menuju dapur dan berdiri tepat di belakang kakak iparnya yang sedang membereskan dapur bekasnya memasak.
"Seharusnya kak Luna bilang kalau dia mau kesini." Wajah datarnya benar-benar mengisyaratkan bahwa dia sangat tidak nyaman dengan situasi seperti ini.
"Ranis kok gitu amat ngomongnya sama kak Luna. Kalau capek, mandi trus solat gih. Jangan semua orang kena dampratan kamu nduk, karena suasana hati kamu lagi nggak enak."
Reynaldy menyahuti ucapan Ranis dengan penuh kelembutan pada adik semata wayangnya. Tidak bermaksud membela istrinya, hanya mengingatkan Ranis bahwa saat ini dia sedang berbicara dengan siapa.
Ranis berlalu meninggalkan dapur tanpa sepatah katapun. Kedua kakaknya hanya saling pandang dan menggeleng lemah melihat kelakuan adiknya.
"Nggak makan dulu, Ranis? Kak Luna masakin ayam pedas kesukaan kamu loh."
Ranis hanya menggeleng. Seketika moodnya berubah drastis saat menemukan laki-laki itu berada di rumah kakaknya. Seandainya saja ini adalah rumahnya sendiri atau minimal rumah orang tuanya, sudah pasti dengan senang hati Ranis akan mengusir laki-laki itu. Laki-laki yang sudah dia coret dari daftar laki-laki yang pernah Ranis kenal dalam hidupnya.
Ranis cukup lelah memikirkan pekerjaannya, ditambah dengan kehadiran orang yang tak dia harapkan, membuat tubuh Ranis lemas dan tertidur begitu saja di dalam kamarnya, melewatkan acara mandi dan makan malam yang sangat didam-idamkannya selama perjalanan pulang kantor tadi. Biarkan sajalah, pikir Ranis, toh nanti tengah malam dia akan terbangun dengan sendirinya karena lapar. Yang Ranis butuhkan saat ini hanyalah tidur, agar bisa meletakkan sejenak beban hidupnya hari ini.
---
To be continued...
^vee^