Ramalan Tarot

1661 Kata
Ucapan selamat silih berganti diberikan pada Kak Stefan. Hari ini tepat diusianya yang ke 29 tahun Kak Stefan bertunangan dengan pacarnya bernama Silvi. Katanya mereka akan segera menikah tapi entahlah Kak Stefan mau tunangan dulu untuk menghargai kejombloan gue. Cih, sok perhatian padahal gue cuma jadi alasan dia gak nikah sama pacarnya. Kak Silvi gadis yang cantik, bertubuh langsing mantan duta Putri Kampus di Universitasnya dulu. Selain cantik dan pintar konon katanya Kak Silvi juga pandai masak dan nyanyi. Sungguh sempurna tunangan kakak gue yang satu ini. "Nyet, sini jangan jauh-jauh. Entar dituduh minder lho," teriak Kak Stefan saat gue asik makan kue dipojokan. Kakak gue yang satu ini memang kurang berakhlak kepada adiknya. Lebih sering adu mulut dan bikin kesal. Nama panggilan gue sering diubah-ubah sama dia. Mulai dari Nyet, Nat, sampai Mblo dan mungkin akan bertambah lagi. Apa pun panggilannya intinya dia manggil gue. Langkah kaki gue terasa berat saat melangkah mendekati mereka yang sedang berfoto memamerkan cincin. Sebenarnya gue pengen rebahan di kamar sambil nulis puisi galau tapi acara yang gak penting ini memaksa gue buat ikut merayakan pertunangan Kak Stefan dan Kak Silvi. Selamat, ucap gue tepat di depan wajah Kak Stefan. "Terima kasih adik kakak tercinta, nah sekarang bisa bantu kakak buat foto dengan keluarga? Please." Tuh, kan. Gue tersisihkan lagi. Seharusnya kalau foto keluarga harus ada gue juga di sana tapi gue gak dianggap. Walau malas dan enggan buat fotoin Kak Stefan tapi gue tetap nurut. Ambil kamera di atas meja dan bersiap memfoto mereka. Semua demi menjaga kredibilitas sebagai adik penurut, comel dan baik hati. Jepret Jepret Jepret Tanpa mikir angel dan fokus kamera gue langsung foto mereka supaya kerjaan gue selesai. Masalah hasil urusan belakangan karena gue gak dituntun membuat hasil yang bagus. "Kok nge-blur sih?" protes Kak Stefan. "Kan di suruh fotoin aja gak disuruh buatin foto yang bagus." "Tapi lo bisa fotoin yang bagus, kan Kanaya?" Kak Stefan melotot. Kalau sudah nyebut nama asli itu artinya dia kesal.Gue buru-buru kabur dari hadapannya sebelum diseruduk. Suasana rumah yang rame buat gue kurang nyaman. Gue butuh hiburan yang menarik buat ngobatin hati yang galau. Ponsel gue berdering lagu doraemon berkumandang dengan lantang sampai gue sadar banyak pasang mata yang menatap. Buru-buru gue terima panggilan itu yang ternyata dari Santi. Sahabat karib gue yang punya selusin mantan. Gue sering sebut dia kolektor mantan. Tidak terhitung berapa jumlah cowok yang nempel sama dia. Sampai-sampai dia bingung buat milih si A, si B atau si C buat dijadiin pacar. "Halo San, kenapa lo nelpon gue?" "Lo di mana Nat? " "Gue? Di jalan?" 'Iya, jalan mana?" "Di jalan yang bernama kehidupan. Kenapa tanya-tanya?" "Lo bisa ke rumah gue gak? Pengen curhat nih." "Bisa. Tunggu ya, gue otw." Panggilan terputus. Cepat-cepat gue pergi dari rumah setelah mengambil tas dan dompet di kamar. Butuh waktu lima belas menit sampai akhirnya ada angkutan umum yang lewat. Gue segera masuk sebelum diserobot emak-emang yang ngantri. Angkot merah dengan fasilitas full AC alam ini terasa sesak. Berkali-kali gue terhimpit dari penumpang yang over load. Ini namanya diskriminalisasi penumpang. Sudah tahu sesak masih saja si kenek nyari penumpang. Mata duitan. Setelah ribuan lampu merah terlewati akhirnya gue sampai di rumah Santi. Teman gue dari kecil. Bisa dibilang dari embrio kita sudah temenan. Sudah kayak anak kembar, ke mana-mana selalu bersama. Gak pernah pisah. Sejauh apa pun gue pergi bayangan dia selalu menghantui. Memang setan si Santi. "Santi Santi!" Teriakan gue berhasil mendapat sabetan sandal swallow. Beruntung gue bisa menghindar dengan cepat. Ternyata Radit, tetangganya Santi pelakunya. Kami memang seumuran dan satu universitas dulu tapi sekarang entah kenapa dia dendam sama gue. Tidak ada angin tidak ada hujan Radit terus mencari gara-gara saat gue main ke rumahnya Santi. Tipe-tipe nyari perhatian. "Berisik! Gak lihat itu tinggal pencet tombol bel," teriaknya sambil menyiram tanaman. Mata tajamnya tidak henti-henti menatap gue dari atas sampai bawah. "Balikin sandal gue." "Idih, minta di balikin. Sini cari kalau bisa." Gue masukin sandal hitam yang bagian tumitnya sudah berlubang ke dalam tas. Radit mematikan kerannya sebelum menghampiri gue. Beruntung si Santi membuka pintunya sebelum Radit sampai. "Kenapa sih, Nat?" "Si Radit minta sandal." Gue keluarin sandal Radit dari tas. Santi mengambilnya lalu membuang sandal itu ke tong sampah. "Sandal jelek gitu masih juga di pakai." Baru saja Santi selesai bicara pintu rumah diketuk diiringi suara Radit yang meminta kembali sandalnya. "Sudah masuk ke kamar gue. Jangan tanggepi si Radit. Siapa suruh sandalnya dilempar," ujar Santi. Gue cuma bisa nurut sama yang punya rumah. Sampai di kamar Santi gue gak bisa nahan diri buat rebahan. Perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan membuat gue hampir tertidur kalau saja si Santi gak curhat. "Gue habis putus sama Gio. Dia ternyata sudah punya pacar terus pacarnya gak cuma satu. Nyesek gak sih, Nat?" Mendengar kata putus dari Santi adalah hal biasa buat gue. Telinga gue sudah kebal dengar yang seperti itu. Gio adalah teman semasa kuliah dulu. Dari track record-nya gue sudah mencium bau-bau buaya darat dari sikap si Gio. Tapi yang namanya cinta t*i kucing rasa coklat tetap saja Santi terima dia jadi pacar. Jadi yang salah bukan Gio tapi Santi yang asal terima cowok tanpa pandang bulu ketek. "Terus masalahnya apa? Wajah lo gak kelihatan frustrasi. Happy-happy saja." Santi tersenyum lebar. Ia bahkan memainkan ponselnya." Nih." Santi memperlihatkan room chat seorang cowok. Sepertinya gue gak kenal sama cowok ini. "Lo punya gebetan baru?" Santi mengangguk." Habisnya si Gio sudah buat hati gue merana. Pokoknya patah hati. Ya, sudah gue terima aja cowok yang baru chat gue." "Gila lo San. Baru putus beberapa jam sudah punya pacar baru. Semudah itukah hati lo berpaling? Sekarang siapa lagi tuh cowok?" Santi duduk di samping gue sambil mesem-mesem. Perasaan gue gak enak pas nyium bau telor busuk. "Lo kentut ya?" tanya gue sementara Santi hanya tersenyum. Tuh, kan, benar perasaan gue gak enak kalau dia pindah tempat duduk. Gue terlalu hafal sama tingkah lakunya yang unik bin ajaib, tapi anehnya masih ada saja orang yang mau pacari dia. Heran pakai mantra apa nih orang. "Nat, bantuin gue, ya." "Bantuin apa? Lo, kan sudah punya pacar baru lagi." "Itu, si Jovan terus ngejar gue belum lagi si Bagus ngajak balikan sementara gue sudah punya pacar . Gue harus gimana dong?" "Pacari saja semuanya. Ribet banget." "Enggak, ah. Entar makin ribet. Kalau lo jadi gue, lo bakalan milih siapa? Jovan, Bagus atau Bram?" Mendengar tiga nama itu entah kenapa membuat jantung gue kesel dan hati gue berdebar. Dunia gue tiba-tiba terbalik. Belum pernah gue membayangkan punya tiga cowok. Apalagi cowok jenis beginian. Si Jovan yang cerewet melebihi ambang batas kecerewetan wanita, si Bagus yang otoriter sering memaksa dan si Bram hm... gue nggak tahu dia seperti apa kalau dilihat dari fotonya kelihatan polos semoga saja gak b***t. Dari pada membayangkan pacaran sama ketiga makhluk Tuhan ini lebih baik gue milih jomblo. "Pilih yang buat lo nyaman jangan cuma ganteng doang tapi gak ada nyali, jangan cuma bernyali aja tapi dompet tipis, jangan cuma dompet tebal aja tapi tampang gak ada. Semua butuh keseimbangan biar gak berat sebelah." Santi mengangguk, "Gue jadi tahu apa penyebab lo jomblo sampai detik ini." "Emang apaan? Gue juga pengen tahu." "Lo itu orangnya pemilih. Harus sesuai dengan kriteria dan segala macam syarat cowok idaman lo. Coba deh Nat lo lupain masalah kriteria cowok impian lo itu karena gak semua cowok bisa sempurna kayak keinginan lo. Coba pacaran sekali terus pahami karakter cowok lo gue yakin lo bakalan bisa jatuh cinta," ujar Santi dengan panjang kali lebar kali tinggi. "Masalahnya bukan itu, San. Gue emang gak ada pilihan dari dulu. Gak ada yang deketin, gak ada teman cowok juga. Lo tahu gue kayak gimana." Lagi-lagi Santi mengangguk. Penyakit jomblo kronis memang tidak bisa dianggap sepele. Efek sampingnya pun luar biasa. Mulai dari gak nikah-nikah, kesendirian, diejek perawan tua dan dibilang sok jual mahal padahal jadi jomblo itu tidak dosa. Tekanan batin dan pengaruh sosialnya pun tinggi, tapi gue yakin setiap orang yang berkembang dari zigot terus menjadi janin kemudian balita hingga berkembang jadi manusia dewasa punya pasangannya masing-masing. Gue cuma bisa berharap Tuhan segera mempertemukan gue sama belahan hati gue, biar hati ini gak retak melulu kayak semen kering. "Lo sudah pernah diramal belum, Nat?" Kali ini Santi kembali meraih ponselnya yang tadi sempat di- charger. Entah apa yang sedang dicari sama Santi yang jelas itu berhubungan sama curhatan gue. "Belum. Masih percaya sama ramalan?" "Dicoba saja, ambil sisi positifnya dan buang sisi negatifnya. Siapa tahu jodoh lo sebenarnya dekat dari sini." Santi duduk di samping gue. Dia asik mencari sesuatu di mesin pencarian. Setelah loading cukup lama yang bermodalkan pulsa save akhirnya sebuah situs online berhasil ia buka. Santi memasukkan tanggal lahir gue dan mulai menekan tombol submit. Gak butuh beberapa lama beberapa kartu muncul di layar ponsel. "Nih, lo pilih satu kartu. Terus kita lihat gimana ramalan jodoh lo." Gue cuma nurut apa yang Santi katakan. Setelah kartu terbuka Santi pun membaca lamaran itu. "Kartu Temperance menandakan hal positif dalam percintaan. Bagi yang single kamu bahagia dengan kehidupanmu sekarang. Punya kekasih atau tidak kamu tetap bahagia. Temperance menunjukkan ada seseorang yang mencintaimu apa adanya." Santi terdiam. Kami saling berpandangan sebentar lalu mulai membaca lamaran itu lagi. "Adanya ketertarikan antara kamu dan dia yang mempunyai kepribadian yang berbeda. Jika kamu menginginkan pasangan, pastikan kamu siap untuk itu. Sepertinya, kamu terlalu mencurahkan energy, waktu atau juga uang untuk hal lain seperti keluarga, karir atau teman-teman. Jika kamu sudah mencurahkan energimu untuk percintaan maka seoulmate-mu akan datang dengan sendirinya." Kami diam sejenak lalu tiba-tiba Santi memekik. "Eh, salah buka kartu. Harusnya kartu utama yang dipojok kanan atas." Santi langsung membuka kartu itu dan membacanya. "The Hermit. Kamu masih ingin sendiri. Berpacaran bukan prioritas-mu saat ini. Jika kamu mendambakan pasangan nampaknya kamu masih akan sendiri untuk waktu tertentu. Kartu ini menyuruhmu untuk mengatasi rasa sepimu terlebih dahulu. Jika kamu bisa bahagia tanpa kekasih, cinta akan datang sendirinya." Santi menepuk pundak gue, tatapannya sendu lalu berkata, "Mungkin lo emang ditakdirkan untuk jomblo sementara waktu, Nat." *** 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN