TIGA : Fifty Percent For Nostalgic Moments

1236 Kata
Aku duduk di halte, menunggu seseorang yang tadi menghubungi untuk mengajak makan malam. Hari ini aku pulang agak larut, tahu jika yang ditunggu selalu pulang lebih malam karena harus menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham dilanjut menyiapkan data untuk sidang salah satu klien bermasalah. Malam ini rasanya sedikit berbeda. Entah kenapa lampu-lampu di sekitaran Gedung berpendar lebih terang, dengan kerumunan yang lebih riuh dari malam-malam lain. Tapi mungkin, ini hanya perasaanku saja.  Aku menikmati kesendirianku di keramaian orang yang berlalu-lalang untuk pulang. Kendaraan online mengumpul di satu titik, menunggu untuk diusir mobil keamanan yang selalu berpatroli di sekitar daerah SCBD. Takut menghambat jalan, katanya. Aku sudah hapal, karena sekarang aku pulang sendiri menggunakan kendaraan online jika tidak membawa mobil. Berbeda dari hari-hari terdahulu yang masih mengandalkan Arya.  “Udah lama?” tanyanya dalam balutan kemeja yang masih rapi.  Aku menggeleng. Ia berjalan mendahului dengan aku yang mengekor, dan berdiri di samping kanan untuk membantuku menyeberang jalan. Hari ini kami makan malam di tempat kesukaan kami. Pho24 tempat makan paling praktis ketika kepala rasanya ingin meledak karena pekerjaan yang menggunung. Kali ini kami menaiki eskalator bukannya lift. Aku menikmatinya, menghabiskan waktu agak lama bersama Arya yang membuatku rindu masa-masa saat kami masih bersama.  Siang tadi, ada satu pesan dari Arya yang masuk ke handphone­-ku. Ia ingin bicara katanya, meski aku sudah bisa menebak apa yang akan dikatakannya. Aku setuju. Tanpa memberi tahu siapa pun, aku menunggu Arya di halte Bursa Efek. Sebenarnya aku bisa saja datang lebih dulu ke restoran tempat kami janji akan bertemu, tapi aku ingin menikmati waktuku sendiri meski hanya sebentar saja. Mengingat potongan kenangan yang bermain di tempat itu. Kami sampai. Untungnya keadaan restoran tidak terlalu ramai. Kami memilih untuk duduk di dalam, dipojok ruangan agak ruang privasi lebih terjaga di open-space kecil seperti ini. “Kamu pesen Tai Cin sama lemongrass tea kayak biasa?” tanya Arya. “Iya.” Jawabku. “Oke.” Ia memanggil waitress dan memesan makan malam, pesanannya pun masih sama, dengan potongan tendon sapi. Berbeda denganku yang berisi shabu-shabu dan well-done beef. Arya menatapku setelah pesanan telah dipesan. Ia tersenyum canggung dan menjalin jari jemarinya di atas meja, satu gestur Arya ketika ia ingin berbicara serius. Aku menegapkan badan, siap untuk pembicaraan apa pun yang akan dilontarkannya. “Bi, ada satu hal yang mau aku tanyain ke kamu. Tapi mungkin setelah selesai makan, ya. Biar kita sama-sama kenyang dulu dan bisa berpikir lebih baik.” Aku tertawa, “Ya, pertanyaan apa pun yang bakalan kamu tanyain ke aku nggak akan ngaruh sama perut aku.” “Tapi aku laper.” “Oke, aku ngalah.” “Emang kamu udah makan malam?” “Belum, tadi cuma minum kopi aja.” “Aku denger kantor kamu mau kerja sama sama Ruido Blanco?” Aku mengangguk, “sekali lagi meeting langsung teken kontrak.” “Prospek mereka bangus, semua laporannya sehat.” Aku mendengus karena tak sabar dengan basa-basi ini. “Ya, jangan bahas kerjaan.” “Oke kalau gitu.” Kami diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Kapan terakhir kali kami saling diam seperti ini, ya? Apa saat pendekatan dulu? Rasanya setiap bersama Arya selalu saja ada bahan pembicaraan yang membuat kami dapat berkomuikasi dengan baik. Tapi kenapa semuanya bisa berubah kembali ke nol seperti dua orang asing yang tak ingin mengutarakan banyak hal karena takut yang lain terluka. Untungnya pesanan kami datang, jadi kami tak perlu sibuk sendiri di kecanggungan yang merayap pada diri masing-masing. Arya menggeser piring sayurnya padaku, aku mengambilnya dan menuang semua isinya ke mangkuk. Arya si pemilih makan, dan tidak suka sayur. Berbeda denganku yang cinta sekali dengan sayur dan buah-buahan. Oh, ini salah satu perbedaan kami, tapi, ini kan saling melengkapi. “Habis ini mau beli éclair?” tanyanya. “Tergantung pembicaraan kita nantinya. It’s about how we spilt after, kan?” Arya mengangguk paham, ia tersenyum. Ia menyelesaikan makannya lebih cepat dariku, memang selalu seperti itu. Ia menaruh kotak permen mint setelah ia menikmatinya beberapa butir. Aku jadi ingin tertawa, inilah mengapa saat kami sedang berciuman selalu ada bau dan rasa mint yang membuat nyaman. “Jadi mau nanya apa?” aku menatap Arya sambil masih menikmati makan malamku. “Kamu belum selesai makan.” “Yang tadi lapar kan kamu. Dan bukannya bagus begini? Kalau jawaban kita nggak merugikan satu sama lain kamu bisa nunggu aku selesai dan kita ke Starbucks bawah, kalo nggak, kamu bisa pergi duluan.” “Kenapa kamu selalu minta ditinggal, sih, Bi?” “Karena nyamannya begitu.” Arya seperti ingin mengeluh, namun ia tahan. “Aku mau tanya ke kamu sekali lagi. Setelah temen-temen kamu sepertinya nggak suka liat aku tempo hari, kayaknya kamu udah cerita hubungan kita. Bi, apa kamu mau nikah sama aku?” Crosscheck, satu cara khas Arya dalam menentukan hal-hal penting yang ada dalam hidupnya. Mulai dari membeli barang elektronik, sampai masalah perasaan seperti ini. “Kenapa kita nggak bisa kayak dulu aja, Ya. Kita pacarana aja.” “Dan nggak kemana-mana?” aku mengangguk, “kamu mau kita jalan di tempat. Sampai kapan?” “Sampai aku siap.” “Kapan? We just walk in a circle, Bi. We know it.” Suaranya membuatku diam. Aku cinta Arya, itu bukan sesuatu yang bisa diperdebatkan. Tapi mencintai sampai ingin menikahi belum ada dalam pedoman hidupku. Dan aku suka ketika Arya mengatakan sebuah fakta yang biasanya bisa membuatku diam dan menyadari kebodohanku sendiri. Tapi kini, apa yang ia sampaikan rasanya kenapa sakit ya? “Semakin lama kamu mengulur waktu, semakin aku sadar kalau kamu nggak serius sama hubungan kita, Bi.” “Kamu bisa pergi kalau kamu nggak puas sama jawabanku.” Arya bangkit dari duduknya dan membayar bill. Ia tidak menengok dan menjauh. Aku mendorong mangkuk menjauh karena sudah tidak bernafsu untuk meneruskan makan. Aku ingat pertemuan pertamaku dengan Arya. Saat itu aku si anak baru mengikuti Program Pelatihan Lanjutan untuk salah satu sertifikasi yang harus di ambil sebagai modal menjadi broker. Saat itu aku sedang menunggu Mila di lorong toilet, aku enggan masuk karena toilet lumayan penuh di jam makan siang. Aku yang sibuk dengan handphone tak sengaja menabrak seseorang ketika ingin berjalan menuju ruang sebelah, niatnya untuk mengecek orang-orang yang sedang makan siang. Itu Arya, yang dengan paniknya mengambil handphone milikku yang terjatuh. Ia mengeceknya berkali-kali, takut jika ada yang retak atau bahkan rusak. Aku hanya tersenyum kecil, mengangap lucu tingkah lakunya itu. Ketika ia memberikannya padaku, aku cukup terkesiap. Pria ini, yang suka ku liat di acara ini yang suka ku liat di acara talkshow yang seringnya membahas market. Bohong jika paras bukan hal pertama yang membuat seseorang menarik. Saat itu aku tahu jika penampilanku cukup presentable, tapi Arya lebih presentable lagi. Ia mengembalikannya setelah ia selesai membolak-balikkan handphone milikku. “Maaf, ya. Semoga nggak kenapa-napa.” Katanya agak ragu. “Nggak pa-pa aku yang meleng kok tadi.” “Maaf, ya.” Aku tersenyum, dan kami berpisah. Pertemuan kedua terjadi saat kami bertemu tak sengaja di Restoran Sederhana. Aku sedang berada di pojok ruangan, menikmati makananku sementara memisahkan diri dari para bos. Arya menghampiri, dan menyapa. Saat itu aku kaget karena ia masih mengenaliku. Kami bertukar kontak, dan beberapa kali bertemu sebelum akhirnya ia bertanya tentang statusku. “Bi,” ia menaruh kantung kertas ke atas meja, “at least, kita pisah dengan baik, ya.” Ia mengecup pipiku, “hati-hati pulangnya.” Dan ia pergi. Air mataku menetes.   -Continue-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN