Part 2 Langit Putra Yamaguchi

1454 Kata
Pov Author “Apaaa!!!” teriak pria dingin itu sambil meremukkan kertas notes yang ditinggalkan Biru. “b******k, ia sangka aku pria panggilan. Dasar wanita sial, aku akan menemukanmu dan akan kubuat perhitungan karena meremehkanku, Langit Putra Yamaguchi!” teriakan Langit memenuhi seisi ruangan yang ia tempati. Reno, asisten Langit hanya berdiri tak bergeming karena ketakutan melihat amukan dari bos mudanya. “Kau! Kau! Kau kan yang mencari w************n itu! Cepat cari dia! Atau kau kupecat dan kupastikan takkan ada perusahaan manapun yang akan menerimamu!” perintahnya dengan arogan kepada Reno. “Maafkan saya Tuan, sebenarnya tadi malam ada sedikit kesalahan. Dan inilah yang terjadi!” jelas Reno tanpa menatap Langit. “Apa maksudmu?” jelaskan dengan sedetailnya kenapa wanita berengsek itu meremehkanku?” hardik Langit pada Reno dengan melemparkan kotak tisu ke arah Reno. Beruntung Reno segera menghindar dari lemparan tersebut, karena jika tidak, maka kening Reno akan terluka. “Di- dia bukan wanita panggilan Pak! Dia, juga sebernarnya mencari pria panggilan, tapi pria itu tak datang karena sakit. Dan wanita yang Bapak pesan juga tak datang karena kecelakaan. Akhirnya saya sepakat dengan teman saya untuk mempertemukan Bapak. Saya siap dimarahi, tapi jangan pecat saya Pak!” jelas Reno sambil memohon pada Langit. “Jadi, siapa dia? Wanita yang berani menhinaku itu?” tanya Langit dengan nada yang mulai melunak. “Sa- saya juga tidak tau Pak! Jika Bapak penasaran, saya akan mencari informasi tentang wanita tersebut pada Arya, teman saya!” jelas Reno dengan terbata-bata. “Bodoh! Cepat temukan wanita itu!” teriak Langit *** Pov Biru Setibanya di Jakarta, aku segera bergegas pulang karena bunda menyuruhnya untuk cepat pulang. Entah apa yang difikirkan bunda, sudah jelas aku wanita dewasa yang sudah bukan anak-anak. Akan tetapi perlakuannya padaku seperti anak Tk yang berumur lima tahun. Hal ini tentu karena  ulahku sendiri yang salah memilih pasangan hidup. “Assalamu’alaikum Bun! Biru pulang!” teriakku sambil menyeret kopernya tergesa-gesa dan segera masuk ke kamar bunda yang sedang duduk di balkon kamar. Wajah bunda yang mulai keriput tak menghilangkan guratan wajah cantiknya.tak salah jika ayah lebih memilih bunda diantara banyak wanita di luar sana. “Wa’alaikumsalam! Udah pulang? Tumben? Heran deh Bunda, bukankah seharusnya Biru pulang dua hari yang lalu ya? Kemaren Bunda ketemu Kayva di rumah sakit. Kok lama banget di Singapur? Ngapain kamu?” seperti itulah bunda selalu cerewet dengan perhatiannya. Ia takut jika aku kembali salah langkah. Apalagi bunda juga sudah bertemu dengan teman-temanku yang sudah pulang dari Singapur beberapa hari lalu. Rasa cemas kembali hinggap di dadanya. “Biru capek Bun! Pengen liburan, apalagi masalah rumah sakit dan kerjaan. Lagi pula kan Biru gak ngapa-ngapain kok Bun, cuma ketemuan sama Gina kok Bun,” ujarku dengan wajah memelas. Beruntungnya tadi sebelum sampai rumah aku sudah menutup bekas kissmark di leherku dengan foundation sehingga bunda tak dapat melihatnya. Bayangkan saja jika bunda melihatnya, maka sudah habislah aku sekarang. Bisa saja aku akan diusir tanpa diakui anaknya lagi. “Kok gak bilang sama Bunda dan Ayah? Kamu tuh anak perempuan satu-satunya bagi Ayah dan Bunda. Kalau kamu kenapa-kenapa, Bunda bisa gila Nak!” ucap bunda memelukku. “Bun, kok ngomong gitu sih? Tenang aja Bun, Biru bisa jaga diri kok. Cukup sekali Biru ngelakuin kesalahan fatal. Kali ini gak kan lagi kok Bun,” balasku sembari memeluk erat bunda. “Ok, kalau begitu! Berarti besok jam tiga sore bisalah ketemu sama anak temen Bunda di cafe Lewah punyanya Tante Lina?” tanya bunda, kebetulan besok memang hari minggu dan aku sedang libur kerja. “Bunda!” teriakku sembari melepas pelukan Bunda. Sudah kuduga Bunda pasti ada maunya. Sudah berulang kali ia selalu menjodohkanku dengan anak teman-temannya. Tapi tak ada yang kutemui, aku masih takut untuk menjalin suatu hubungan lagi. Biarlah aku kembali menata hatiku, entah sampai kapan. Tapi aku yakin suatu saat hatiku akan kembali mencair dan menautkannya pada seseorang. “Kalau kamu gak pergi, maka Bunda akan ngaduin kamu sama Ayah karena udah bikin Bunda nangis. Kamu tahukan Ayah paling benci sama orang yang udah bikin Bunda nangis, walaupun itu anak-anaknya!” ancam Bunda Alya dengan mata kirinya yang menyipit tanda ingin menantangku. “Bunda!” kembali aku berteiak. “ Bunda jahat, beraninya ngancem terus. Biru bosan! Udah, ngadu aja sama Ayah! Biru gak takut!” bantahku dengan kesal. Aku berniat pergi melangkah pergi, dan sempat kulihat dari ekor mataku Bunda mulai menangis dan mengeluarkan gawainya. Sepertinya ia akan merekam dirinya yang sedang menangis atau melakukan video call dengan Ayah yang ku ketahui Ayah sekarang sedang di Padang karena urusan pekerjaan. “Ayah! Biru jahat Yah!” tepat dugaanku, Bunda melancarkan aksinya dengan merekam dirinya sendiri. Cih, seperti anak kecil saja. Segera ku rebut gawai Bunda dan menghapus rekamnanya. “Biru! Balikin handphone Bunda!” ucap Bunda yang berusa merebut gawai yang berada di tanganku. Beruntung tinggi badanku sekitar 170 cm sedangkan Bunda sekitar 150 cm, tentu saja Bunda kesusahan mengambil gawai yang telah kurebut. “Janji dulu, gak istilah ngadu sama Ayah! Baru Biru balikin handphone Bunda, gimana?” tawarku yang membuat kesepakatan. “Heh, gak akan! Ambil aja handphone Bunda, ntar tinggal telfon Bani suruh beliin Bunda handphone baru,” ucap Bunda sambil membuang muka dan segera melipat kedua tangannya di depan d**a. Ya, satu lagi pria yang selalu melindungi Bunda. Bani, adikku yang selalu manja denganku tapi selalu dingin di mata orang-orang. Dia memilih menjalankan bisnis yang Ayah rintis dari muda, sedangkan aku memilih menjadi Dokter sesuai pekerjaan Ayah. Ayah adalah seorang Dokter sekaligus pengusaha di bidang properti yang termasuk disegani dikalangan pengusaha, karena sifatnya yang ramah dan dermawan. “Bani, Bun? Ok, kita lihat dia lebih milih Biru atau Bunda! Biru yakin dia akan milih Biru,” ucapku menyombongkan diriku pada Bunda. “Anak-anak Bunda, gak sayang Bunda. Gak tiap hari Bunda minta tolong, Cuma sekali ini aja kamu temuin dia, setelah itu Bunda gak nuntut apa-apa lagi. Apa sih susahnya ngabulin permintaan Bunda!” buliran bening mulai jatuh dari pelupuk mata bunda. Aku termasuk orang yang tak tahan melihat Bunda menangis, akhirnya luluh dan menghampiri Bunda dan memeluknya. Rasa bersalah menyelimuti hatiku dan membuatku menyetujui permintaan Bunda. Aku lengah dan Bunda berhasil merebut gawai yang kupegang,” yes! Kamu udah janji lho, besok jam tiga jangan lupa sayang!” ucap Bunda kegirangan. “Bunda drama ya!” ucapku sengit karena merasa dipermainkan. “Pokoknya udah janji. Sekarang kamu istirahat dulu, atau mau makan siang dulu!” ujar Bunda dengan santainya. Aku tertipu dengan air mata Bunda. Di rumah ini memang tak ada yang tahan jika Bunda menangis. Ayah memang berkali-kali menasehati kami agar tak menyakiti Bunda karena masa lalu Bunda yang kelam. Aku dan Bani akan merasa durhaka atas pengorbanan Bunda pada kami, sedangkan Ayah akan merasa bersalah jika orang yang sangat di cintainya menangis. “Ih Bunda, udah tua masih aja ngebohongin anaknya! Herman deh!” ucapku sambil berlalu. Hatiku masih kesal karena kali ini aku kalah dari Bunda. “Herman! Herman! Heran keleus!” celetuk Bunda. “Kamu mau makan dulu gak? Biar Bunda siapin?” teriak Bunda di belakangku. “Gak laper! Biru udah kenyang karena kebohongan Bunda!” ucapku tanpa melihat ke arah bunda. Aku memang masih kenyang karena di pesawat aku sempat makan bekal yang ku bawa karena tak sempat makan di Singapur. *** Kulangkahkan kakiku dengan malas, jika tak ingat Bunda yang selalu mendesakku maka lebih baik aku menikmati tidur siangku. Suara alunan musik yang merdu membuatku ikut menyanyikan lirik lagu yang ku dengar. Aku yang sengaja terlambat datang ke cafe, malah aku yang harus menunggu lebih lama. Kusangka pria yang dijodohkan denganku sudah datang, ternyata hanya aku yang terduduk sendiri di sudut cafe. Aku datang sekitar jam 3.30 sengaja aku memilih telat tiga puluh menit, hingga tiga puluh menit kemudian. Tak tampak batang hidung pria itu. “Arrggggh! Sialan apa dia mempermainkanku?” ucapku sambil mencabik-cabik tisu yang di hadapanku. Dert! Dert! Getaran gawaiku membuyarkan lamunanku. “Halo, Assalamu’alaikum sayang! Kamu masih di sana?” nada suara Bunda terdengar menyesal. “Wa’alaikumsalam, ya Bun. Kan nungguin calon mantu Bunda!” jawabku ketus. “Sayang, maafin Bunda ya! Anaknya tante Dinar gak bisa datang. Karena masih ada urusan di Singapur!” ucap Bunda. “What! Bunda kok nggak bilang dari tadi, udah setengah jam lho Biru nungguin. Pegawai tante Lina aja dari tadi lihat-lihat Biru. Di sangkanya cewek cantik sendirian aja di sini. Seharusnya Bunda bilang dong! Ih, kesel!” ucapku sambil meremas kedua tanganku. “Ya sayang, Bunda juga baru dapat info dari tante Dinar kalau anaknya gak bisa datang ke sana. Padahalnya seharusnya kemaren dia sudah sampai di Jakarta. Tante Dinar lupa ngabarin Mama karena mereka juga lagi ada acara pesta pernikahan di Bandung. “Ya udah, Biru pulang,” ucapku kesal. Tapi aku penasaran, siapa pria b******k yang seenak hatinya membatalkan pertemuan kami. Bukankah biasanya aku yang selalu tak datang. Awas kau pria sombong. Belum lihat kau wajah cantik, bodi aduhai milik Biru, umpat batinku sambil melenggang pergi meninggalkan cafe. *** Pov Author “Jadi bagaimana? Apa kau sudah temukan wanita sialan itu?” bentak Langit pada bawahannya. “Maaf Pak! Aryo saja tak bisa saya hubungi,” ucap Reno memelas. “Tak berguna!” ucap Langit sinis. “Maafkan saya Pak. Dan Pak, Nyonya besar sudah meminta anda untuk pulang. Bukankah seharusnya kita pulang dari kemaren. Bisa saja wanita itu sudah pulang ke Indonesia Pak. Kita cari lagi dia di Indonesia Pak!” ucap Reno. Ada benarnya yang di ucapkan Reno, maka dari itu membuat Langit segera meninggalkan hotel dan berharap menemukan wanita yang sudah menghinanya. Akan ku buat perhitungan dengannya, ucap batin Langit.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN