Malam inagurasi berlangsung meriah, semua mahasisiwa larut dalam kemeriahan acara. Tidak terasa sudah hampir dipenghujung acara. Sebahagian mahasiswa ada yang masih memilih tinggal hingga acara berakhir, ada pula yang memilih pulang untuk mengistirahatkan seluruh otot yang telah terkuras karena acara ini.
Biru dan Karin memilih untuk segera pulang, karena bunda sudah menyuruh pulang, dan kebetulan Karin hanya meminta izin terlambat dari pekerjaannya. Sebelum acara berakhir, Biru sudah menghubungi Ciountuk segera menjemputnya. Cio yang awalnya ingin ikut untuk menemaninya, berhalang hadir karena Dhafin yang berusaha mencegah Cio datang dengan beralasan sedang ingin memulai usaha baru dengan Cio.
"Ya, tenang aja. Aku udah di jalan, sebentar lagi nyampe kok," terdengar suara Cio yang sedang mengemudikan mobil.
"Aku tunggu di gerbang aja ya Kak! Biar lebih cepet, soalnya bunda udah cerewet banget nyuruh aku pulang. Padahalkan bunda tau, kalau acara ini cuma berlangsung 1 kali dalam setahun. Huft!" jawab Biru sambil memberi kode pada Karin agar mengikutinya ke gerbang.
"Gak usah tunggu aja di gedungnya, 15 menit lagi sampe kok!" cegah Cio.
"Udah deh Kak, aku jalan ya! Aku matiin telfonnya. Bye!" bantah Biru yang langung memilih menunggu di gerbang dari pada di dalam kampus.
Udara dingin malam tak menyurutkan langkah Biru dan Karin. Sepi, karena sebagian mahasiswa sudah banyak yang pulang. Dalam hati Biru merutukki dirinya, kenapa memilih untuk berjalan kaki. Sedang Karin, ia tau bahwa temannya yang keras kepala pasti menyesal dengan pilihannya.
"Itu makanya, disuruh tunggu itu ya tunggu. Bukan ngeyel, nyeselkan!" oceh Karin yang sibuk mengomeli Biru sepanjang jalan, sementara Biru hanya menunduk dan sesekali mengatakan maaf.
Jalanan sepi yang mereka lewati, mulai menampakkan bias cahaya mobil. Tanpa pikir panjang Biru yakin itu mobil Cio.
"Akhirnya, Kak Cio!" teriak Biru kegirangan dan melambai ke arah mobil.
Sret ...
Mobil berhenti, tapi bukan Cio yang menghampiri Biru dan Karin, melainkan tiga orang pria berbadan besar dan langsung mendekap mereka berdua. Mencoba berteriak, tapi tak ada yang mendengar.
"Percuma saja kalian berteriak, apa kalian fikir ada orang disini?" ucap pria tersebut sambil menutup mulut Biru dan Karin dengan lakban.
Biru dan Karin mencoba memberontak, tapi percuma. Mereka kalah dari segi fisik dan jumlah. Di detik kemudian mereka sudah tak sadar karena pengaruh obat bius yang sudah diberikan para preman tersebut.
Byurr ...
Kepala yang masih terasa berat mengharuskan Biru dan Karin untuk terjaga. Bau apek memenuhi ruangan, gelap gulita, mereka berteriakpun tiada guna. Hanya menunggu keajaiban dari yang kuasa agar mereka terbebas dari penculikan ini.
"Tollllong!" teriak mereka berdua, tapi hanya suara tertawa yang menjadi jawabnya.
"Kalau lu mau nih dua cewek selamat. Lu berdua harus kemari bawa uang sesuai yang gue minta atau gak gua bakalan enak-enak nih malam dan hanya mayat yang elu temuin!" terdengar suara penculik itu dengan seseorang melalui gawainya.
Di tempat lain, Cio dan Dhafin berusaha untuk mencari lokasi Biru dan Karin. Sekarang yang mereka usahakan, adlah menyelamatkan Biru dan Karin tanpa ada yang terluka. Pihak kepolisianpun telah bekerjasama dalam pencarian.
Tak butuh waktu lama, lokasi telah terlacak. Hanya Cio dan Dhafin yang tampak sedangkan para polisi mengintai di tempat yang tersembunyi.
"Nih, uang yang lo minta, sekarang serahin Biru dan Karin!" teriak Cio sambil menyerahkan tas berisi uang.
"Ha ... ha ... waw, ternyata mudah banget dapet uang nih malam. Sepertinya terlalu gampang. Kalian berdua hajar mereka, setelah itu kita ena-ena sama tuh dua cewek!" teriak pria tersebut sambil memberi perintah pada dua temannya.
Bugh! Cio yang belum siap musuh dari belakang harua menerima pukulan dari kayu besar di kepalanya.
Door! Bersamaan dengan tembakan dari polisi, Cio jatuh tersungkur dengan darah segar yang mengalir dari kepalanya. Sedangkan Cio langsung berusaha membebaskan Biru dan Karin.
Pihak kepolisian berusaha menangkap para penculik, akan tetapi mereka melawan dan berusaha kabur. Pertempuran sengit terjadi di malam kelam ini. Dua dari penjahat tersebut terpaksa dilumpuhkan dengan timah panas, sedangkan pemimpin penculik itu melarikan diri membawa Biru.
Cio yang masih setengah sadarpun berusaha mengejar preman itu, walaupun sudah dicegah Karin dan pihak kepolisian yang tersisa di ruangan itu.
Breeeett!!! Duaarrrr! Ketika ingin menyeberang Cio tak memperhatikan ada truk yang sedang melaju kencang. Tubuhnya terpental hingga 2 meter, ia kembali tak sadarkan diri.
Di seberang jalan, tampak senyum tersungging dari bibir Dhafin, kemudian selanjutnya tentu saja ia akan berpura-pura menyelamatkan Biru.
"Kak Cio!" teriak Karin dengan histerisnya, ia takut kehilangan Cio. Tak ingin bermaksud buruk, entah kenapa hatinya yakin ada Dhafin sebagai dalang kejadian malam ini. Ia mengepalkan tangannya dengan keras merutukki dirinya karena tak menyadari ancaman dati Dhafin.
Sesuai dengan perencanaan Dhafin, tempat untuknya bertemu dengan preman tersebut, seolah berpura-pura bertengkar, ia berhasil menolong Biru disaat polisi datang menuju ke lokasi kejadian.
"Kak Dhafin, aku takut!" ucap Biru sambil menangis di pelukan Dhafin.
"Sudah, jangan takut. Ada aku disini!" ucap Dhafin berusaha menenangkan Biru sambil memeluk dan mengelus puncak kepala Biru.
Preman itu berhasil kabur kembali entah kemana rimbanya. Dhafin mengantar kembali Biru ke rumah, walau Biru menolak karena ingin tau keadaan Cio.
"Kamu gak kenapa-kenapa kan sayang. Bunda cemas dapat kabar dari kantor polisi. Mana ayah kamu lagi di luar kota. Bunda belum ngabarin ayah, karena takut ayah jadi cemas di sana!" ucap bunda Alya dengan nada cemas serta lega, karena anakny telah ditemukan.
"Kak Ciio, bun! Biru gak pa-pa kok. Tapi, Kak Cio Bun, Biru takut Kak Cio kenapa-kenapa!" jawab Biru sambil menangis di pelukan bunda Alya.
"Biar saya aja aja yang ngecek keadaan Cio di rumah sakit, Tan, Biru. Karena hari udah malem juga kan. Nanti malah kenapa-kenapa. Kebetulan orang tua Cio juga sudah di rumah sakit. Kita do'akan saja semoga Cio gak kenapa-kenapa," Dhafin berusaha menenangkan Biru dan bunda Alya
Tak lama kemudian Dhafin pada bunda Alya dan Biru dan langsung bergegas ke rumah sakit.
Di parkiran rumah sakit tampak Karin duduk sambil menangis dengan meremas ujung bajunya.
"Ngapain lo nangis? Ini semua salah lo, tau gak!" ejek Dhafin yang menghampiri Karin.
"Salah gue? Salah gue dari mana? Elu jahat, elu sengaja kan ngeculik gue dan Biru, buat ngelakuin ini semua. Dan sekarang, sekarang kak Cio kritis. Apa itu yang lo mau!" jawab Karin dengan emosi.
"Sssstt! Ini rumah sakit, jangn coba-coba teriak. Gak ada bukti juga gue yang ngelakuin semua ini kan? Noh dua preman itu mati, yang satu lagi malah kabur!" bisik Dhafi dengan senyum iblisnya.
"Lu sengaja nyuruh orang nabrak Kak Cio kan, gila lu ya! Temen apaan lu. Gue akan ungkapin semua sama polisi dan Biru. Biar, semua orang tau gimana kebusukan lu!" ancam Karin.
"Hahh ... hahahah ... lu gue ngancem gua! Gak ada bukti, dan Cio ketabrak itu bukan salah gua, itu takdir yang berpihak pada gua. Paham lo!" ucap Dhafin sambil mencengkram keras bahu Karin.
"Sakit, tau gak!" tepis Karin.
"Gak kan ada yang percaya sama lo. Paling gue sebarin video lu sebagai pemandu karauke itu, yang bajunya kurang bahan banget sambil ngegoda om-om hidung belang. Kita bisa lihat, beasiswa lo bisa dicabut dan entahlah apa yang akan terjadi?" ancam Dhafin.
"Mau lu apa anjing!" bentak Karis dengan histeris.
"Disaat Cio sedang kritis inilah, elu harus buat Biru dan Cio putus. Atau lo bisa lihat gue yang lu sebut anjing, bisa ngelakuin apa aja!" kembali Dhafin mengancam Karin menunjuk sambil menghentakkan telunjuknya di d**a Karin dengan keras.
"Kalau gua gak mau!"
"Kita bisa lihat esok apa yang akan terjadi!" ancam Dhafin dan berlalu meninggalkan Karin.
"Aaaaaa!" teriak Karin yang tertahan sambil menendang pot bunga yang ada di depannya.
Esok harinya, Biru memutuskan untuk pergi ke rumah sakit sambil terus berusaha menghubungi Karin yang dari tadi malam tak menjawab panggilannya.
Dengan langkah yang terburu-buru, ia berusaha untuk cepat sampai ke ruang kamar inap Cio, baru membuka pintu ruangan tampak Karin sedang menggenggam tangan Cio dengan mesra.
Perih, tapi Biru menganggap Karin hanya cemas pada Cio.
"Hai Karin! Kamu dari tadi di sini?" Sapa Biru memulai percakapan.
"Ah- eh-, i- ia. Tadi Mama Kak Cio pulang bentar terus aku diminta jagain Kak Cio!" Bohong Karin. Karena yang sebenarnya Karin masuk ke ruangan setelah mama Cio pulang untuk ganti baju.
"Kamu kenal mama Kak Cio?" tanya Biru dengan curiga.
"Aku sebebarnya udah kenal lama sama keluarga Kak Cio. Tapi, sama Kak Cio nya yang gak pernah ketemu! By the way, kamu mau lihat Kak Cio kan. Alhamdulillah, Kak Cio udah melewati masa kritisnya kok!" ucap Karin dengan senyum yang tanpa rasa bersalah.
"I-."
Hoek! Hoek! Belum sempat Biru menjawab terlihat Karin sedang berusaha menahan rasa mual.
"Kamu gak kenapa-kenapa?" tanya Biru.
Bukan jawaban yang diberikan Karin, tapi hanya tangisan sebagai jawabannya.
"Karin kenapa? Jangan bikin aku cemas!" tanya Biru lagi.
"Ru, maaf! Kejadian kemaren malam, benar-benar buat aku berfikir keras. Aku udah coba untuk menutupi semua ini. A-, a-, aku hamil!" jawab Karin.
"Ha- hamil? Sa- sama siapa?" tanya Biru dengan terbata-bata.
"Aku minta maaf, jika aku egois! Otakku gak bisa bersahabat dengan hatiku, aku berusaha menolak rasa cinta ini, tapi aku gak bisa. Aku menjalin hubungan sama Kak Cio di belakangmu. Dan, sudah terlanjur jauh hubungan ini. Aku ingin mengakhiri hubungan ini, tapi kejadian tadi malam membuat aku takut kehilangan Kak Cip. Aku harap kamu ngalah demi calon anak aku."
"Kamu bohongkan? Kak Cio itu, gak mungkin seperti itu!" jawab Biru dengan senyumnya, yang masih tak mempercayai ucapan Karin.
"Aku mohon sama kamu Ru!" ucap Karin dengan bersimpuh memohon pengertian Biru.
"Kamu bohong! Kita kan teman!" kali ini air mata Biru sudah tak terbendung. Hatinya sakit mendapatkan kenyataan pengkhianatan teman dan pacarnya.
Masih dalam keadaan bersimpuh, karin menggelangkan kepalanya dengan tangis yang semakin kencang.
Tanpa menjawab, Biru segera keluar dari ruangan dan berlari hingga tak sengaja menabrak Dhafin.
"Kamu kenapa?" tanya Dhafin dengan menggenggam lengan Biru.
Merasa tak ada jawaban, Dhafin segera menarik Biru ke dalam pelukan hangatnya dan berusaha menenangkan Biru.
Sudah 1 minggu sejak kejadian baik Biru maupun Karin tak menampakkan batang hidungnya di kampus. Hingga pagi ini mereka tak sengaja berpapasan di koridor kampus, tak ada sapaan dan senyuman hangat. Tatapan benci dari Biru membuat nyali Karin ciut untuk menyapa.
"Hoi, ayam kampusnya udah dateng nih!" teriak mahasiswa lain di belakang Biru.
Sontak dua mantan sahabat tersebut menatap ke sumber suara. Tatapan menncemooh mereka lemparkan ke arah Karin, sedang Biru terlihat kebingungan dengan keadaan yang terjadi.
"Si- siapa maksud kalian?" terdengar suara Karin yang terbata-bata, menduga apakah benar ia yang dimakasu teman-temannya.
"Siapa lagi kalau bukan elu?" teriak mahasiswa tersebut dengan disambut gelak tawa mahasiswa yang lain.
Biru mendekap mulutnya seakan tak percaya dengan kenyataan yang baru ia temukan. Di depannya Karin yang terlihat berusaha menahan tangis, dan segera berlari. Ia ingin mencegah, tapi Karin berlari dengan sangat cepat hingga tak tampak batang hidungnya.
Itulah pertemuan terakhir mereka, baik Cio maupun Karin tak terdengar lagi kabar dari mereka berdua. Entah mereka menikah atau tidak, itu sudah bukan urusan Biru lagi. Tapi, yang jelas Karin diberhentikan dan di cabut beasiswanya. Semenjak itu pula hubungan Biru dan Dhafi semakin dekat. Hingga mereka berdua mantap untuk ke langkah selanjutnya yaitu jenjang pernikahan, walaupun ditentang orang tua Biru.