PART 1 - MIMPI DAN KENYATAAN

1351 Kata
Ada hal yang seharusnya menjadi rahasia ingatan dan hati, membiarkannya tersembunyi, hingga waktu menghapus kenangan dan setiap hal yang pernah menyentuh, menghirup, merasa dan mendambanya. Kisah ini seharusnya kusimpan hingga sang pencipta memanggilku, hingga dunia tak mengingatku, hingga bumi memeluk ragaku. Namun keindahannya terlalu megah untuk disimpan, kisahnya terlalu dalam untuk ditanam dan ingatan ini terlalu sayang untuk dilupakan.  Jauh didalam sanubariku, kuingin anak dan cucuku tahu, bahwa aku pernah berada dititik ini, aku pernah mencintai sedalam ini dan aku pernah berjuang untuk hidup ini. – Nirmala, 2003. *** Apa arti kehidupan untuk kalian?  Arti kehidupan untuk ku saat ini sangat sederhana...  Sesederhana bisa menikmati makan tiga kali sehari bersama keluarga lengkap ku tanpa perlu mengkhawatirkan apakah besok kami bisa makan atau tidak, tanpa perlu takut apakah besok kami akan ada uang atau tidak. Aku tak ingin  bermimpi tinggi, karena mungkin  akan sulit digapai gadis biasa sepertiku. Melihat keluargaku bahagia dengan kehidupan yang tak perlu mengkhawatirkan masalah perut dan melihat adik-adik ku bisa bersekolah tanpa perlu khawatir akan hari esok, itu sudah lebih dari cukup untukku. Benar-benar sudah lebih dari cukupku untukku.  Kehilangan sosok ayah dua tahun yang lalu benar-benar merubah segalanya. Merubahku dan keluargaku. Merubah cara pandang kami akan dunia yang fana ini, merubah keadaan ekonomi kami, hingga merubah setiap mimpiku. Tak bisa kupingkiri, rasa kehilangan masih sangat tertanan dalam setiap hari-hari kami. Langkah-langkah ini masih terasa berat untuk menjalani hari, beruntung kumasih memiliki ibu dan adik. Mengingatku bahwa ada hal yang harus kuperjuangkan, ada mereka yang harus kubahagiakan. “Mala, ingat pesan ibu ya nak.” Tangan hangat ibu mengenggam jemariku erat. Ada kesedihan yang jelas terpancar diwajah wanita yang sangat kucintai ini, sosok yang menjadi alasanku untuk tetap kuat hingga detik ini. Kupeluk tubuh ibuku erat. Inginku tak melepaskannya. Aku terlalu takut untuk berpisah dengannya. Terlalu takut untuk menjalani hidup tanpanya, terlalu takut untuk meninggalkannya. “Mala akan jaga diri baik-baik bu.” itulah janjiku padanya. Janji yang harus aku tepati sebagai seorang anak pada sosok yang sudah melahirkan dan membesarkanku. Kuusap air mataku yang tanpa kusadari telah membasahi pipiku. Ibu melakukan hal yang sama bahkan sejak semalam, saat kumengemas pakaianku. Walau ibulah yang menyarankanku, ia benar-benar sedih saat kuputuskan untuk tinggal dan bekerja pada bibiku, adik dari almarhum ayahku yang memiliki usaha home stay di Bali. Merantau dan meninggalkan keluarga bukanlah impianku, bukan untuk saat ini ataupun nanti. Namun keadaan memaksaku untuk melakukannya, hidup bagai tak memberiku pilihan, seakan takdir sudah menuntunku jelas pada hal yang tak bisa kudamba. “Mala janji akan hubungi ibu sesering mungkin. Ibu harus makan teratur ya. Jaga kesehatan ibu.” Kucium kening ibu yang mulai tanpak keriput menunjukan usianya. Adikku, Anggun terlihat tak dapat menyembunyikan kesedihannya juga. Ia menangis cukup keras saat memelukku hingga menarik perhatian beberapa orang yang berjala didekat kami. “Sudah Gun, kan nanti mba balik. Kamu jaga ibu ya.” Kugosok punggung adikku yang lebih muda 3 tahun dariku ini. Sejak ayahku meninggal, aku dan adikku menjadi sangat dekat dan akrab. Sebelumnya, hubungan kami seperti  tiada hari tanpa keributan dan selalu ada saja hal yang menjadi pencetus pertengkaran kami. Surya, adikku yang masih terlihat begitu menggemaskan dengan pipi chubbynya hanya menatap heran padaku dan Anggun. Usianya baru 4 tahun, namun ucapannya begitu jelas dan pemahamannya akan kalimat begitu baik. “Mba Mala mau kemana?” tanyanya dengan wajah mendongak menatapku yang jauh lebih tinggi dirinya. “Kok ibu sama mba Gun nangis?” tanyannya lagi. Kutundukan kepalaku diikuti tubuhku agar bisa menyamai tinggi badan adik laki-lakiku itu. “Mba mau kerja, nanti mba pulang. Surya jadi anak yang baik ya. Nanti kalau mba pulang, mba bawain Surya mobil-mobilan.” kucoba menyampaikan kalimatku dengan senyuman, namun terasa sangat tak mudah. “Benelan? Wuaahh.” kaki kecil Surya meloncat-loncat gembira. Ia memelukku dan mencium kedua pipiku. Aroma bedak bayi yang kuusapkannya tadi pagi ditubuhnya masih tercium jelas saat kumemeluknya. AKu akan sangat merindukan adik kecilku yang sangat ingin tahu akan segala sesuatu ini. Suara mesin kapal terdengar mendengung keras terbawa jauh oleh angin laut yang entah kemana akhirnya berpadu deburan ombak yang tak henti menari sejak pagi kudisini. Inilah saatnya, menuju tempat tujuan yang kuharap dapat membantu perekonomian keluarga dan mungkin bisa membantuku membangun cita. Kumantapkan langkahku menuju Kapal yang akan membawaku menuju pulau tenpatku berjuang nanti. Kueratkan genggamanku pada satu-satunya tas ransel hitam yang kumiliki.  Cukup berat untuk badanku yang kurus ini. Percayalah, detik-detik ini terasa sama beratnya. Kupalingkan wajahku dan memandang pada sosok wanita paruh baya dan gadis belia yang sedang melambaikan tangannya tak jauh dibelakangku. Kulambaikan tanganku lagi, entah untuk keberapa kalinya. Orang-orang mulai berjalan penuh desak. Mendorongku untuk terus melangkah hingga kaki ini dapat merasakan lantai kapal yang bergoyang. Aroma laut semakin tercium jelas, begitu pula dengan aroma dari orang-orang yang ada diatas kapal bersamaku. Untuk sesaat aku tertegun melihat keadaan yang baru untukku ini. Langit dipandanganku tiba-tiba berubah menjadi jingga begitupun dengan sekelilingku tanpa kupinta. Kulihat kapal yang dipenuhi orang-orang dengan segala macam barang bawaan. Seoran pria tua berjalan didepanku dengan tas kain goninya, ia tersadung kardus dilantai saat tengah berjalan. Tubuhnya tak bisa menjaga keseimbangan hingga ia terjatuh dan kepalanya terbentur pinggiran kursi plastik bercat biru yang memenuhi ruangan kapal ini. Segera kumenarik nafasku dalam. Pandangan beberapa detik ini mengejutkanku. Kuarahkan pandanganku ketempat kulihat peristiwa itu dan tak ada apapun yang terjadi disana. “Jalan yang cepat, mba. Dendek momot1.” Seorang pria tua tiba-tiba mengejutkanku. Ia berusaha melewati jalan yang terhalang olehku. “Maaf pak.” segera kumenyingkir, membiarkan bapak tadi untuk lewat. Ia terlihat cukup kewalahan dengan sebuah tas besar kain goni dan 2 kotak dus yang dibawa kedua tangannya. Tas Kain goni itu… Pikiranku tersadar dengan keadaan yang mungkin terjadi beberapa detik atau menit kedepan dihadapanku. Perkataan orang, takdir tidak bisa diubah dan tak boleh diubah. Namun, aku sungguh tidak bisa membiarkan pria itu mengalami musibah. “Pak.” Reflek kupanggil pria yang tak kukenal itu. Ia manatapku heran dan ingin segera memalingkan wajahnya, mengabaikan panggilanku. “Pak, tunggu. Disana ada kursi kosong.” tunjukku pada sebuah kursi yang berada di bagian kanan kapal. Kucoba mengalihkan tujuan bapak itu yang hendak berjalan menuju tempat dimana aku melihatnya terjatuh. “Oh, gih. Terima kasih mba.” dengan susah payah pria yang terlihat hampir berusia 70 tahun itu mengangkat kardus dan tas kain goninya dan berjalan menuju kursi yang kutunjuk untuknya. Kuikuti tepat dibelakangnya. Kerumunan orang yang berdesakan membuatku tak mampu membantu untuk mengangkat barang bawaanya. Namun setidaknya, aku memastikan bahwa ia dapat duduk dibangkunya dengan aman.   Dari kecil, ibu selalu berkata bahwa aku terlahir istimewa. Entah apa maksudnya, tak bisa kupahami hingga usiaku menginjak 7 tahun. Saatku menyadari ada rahasia masa depan yang dapat kulihat kisahnya, seperti yang terjadi saat ini. Tanpa kupinta, kulihat hal tersembunyi yang akan terjadi pada pria tua dangan tas kain goni itu. Pilihan ada ditanganku, untuk mengubahnya atau membiarkannya. Dosa juga ada ditanganku, untuk menutupinya atau menguaknya. Entah ini kutukan atau anugerah. Namun kalau boleh kupinta, kuingin hidup sebagai seorang gadis biasa , bukan dengan hal istimewa ini. Suara mesin kapal berbunyi kembali, menandakan akan berlayar. Badan mungilku mencoba melawan desakan orang-orang. Inginku lihat sosok ibu dan adikku yang kuyakin masih menatap kapal ini dari dermaga.  Setidaknya inilah satu-satunya hal yang bisa kulakukan untuk mengingatkanku betapa aku akan merindukan keluargaku ini. Ternyata benar, mereka masih disana berdiri diantara orang yang tidak kukenal. Kuangkat tanganku setinggi mungkin, dengan kedua kaki berjinjit. Kuberharap mereka dapat melihatku diantara kerumunan orang-orang yang sedang memperjuangkan hal serupa denganku. Kuyakini bahwa ibu dan adikku melihatku saat Anggun menunjukku lalu melambai tangannyanya cukup kencang kearahku begitupun dengan ibukku.   Inginku berteriak , namun pasti akan sia-sia. Suatraku akan tenggelam dengan suara kerumunan disekelilingku. Dari hanya melihat mata ibu, aku paham yang ibu rasa. Aku harap, ibu juga memahami perasaanku. Aku akan kembali bu, membawa kebanggan untuk keluarga, tunggulah.  Saat kapal mulai berlayar, ditemani hempasan angin laut yang menerpa wajahku, saat itu juga aku menyadari anganku telah terhempas jauh. Mimpiku menjadi penulis harus terhenti sampai disini. Apa lagi yang bisa diharapkan anak yatim sepertiku? Bermimpi menjadi penulis hebat? Cukup sudah bermimpi. Jangan berandai. Jangan berharap akan sesuatu yang tak mungkin, hiduplah dalam realita. DI usiaku yang kini menginjak 19 tahun, usia yang cukup untuk menentukan arah hidup. Kuputuskan bahwa tujuan hidupku saat ini adalah membahagiankan keluargaku. Tak peduli bahagiaku, aku hanya perlu bertahan hingga bisa membawa keluargaku dikehidupan yang lebih baik.       *** 1 Bahasa Sasak (Bahasa asli penduduk Lombok) : “Jangan melamun”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN