Part 2

2251 Kata
September 1996 Udara sejuk membuat kedua mata Raka ingin menutup sempurna lalu ia pergi ke alam mimpi. Tapi, suara cepreng khas Dira membuatnya tidak bisa memejamkan kedua matanya. Nadira terus memanggil-manggil nama Raka yang sedang tertidur di bawah pohon. "Kak Laka ayo bangun!" rengek Dira. Raka tidak menyahut sama sekali. "Kak Laka ayo bangun!" tangan mungil Dira yang baru berumur lima tahun sukses mengelitik pinggang Raka. "Iya... iya aku nggak tidur, Nad!" jawab Raka setenga berteriak. Senyum manis bak malaikat terukir dari bibir tipis Dira. Dan lagi-lagi Raka yang baru saja berulang tahun yang kedelapan tahun ini tak berkutik sama sekali. Seolah-olah syaraf tubuhnya tak bisa menolak suntikan racun mematikan dari senyuman Nadira. "Kak Laka, aku kemarin ulang tahun loh!" seru Dira gembira, "Sekalang aku udah gede kak. Aku udah lima tahun hihi." "Oh iya?" Raka seolah tak percaya dengan ucapan Dira. "Ulang tahun kita sama dong." "Kak Laka juga ulang tahun kemalin ya?" tanya Dira. Kebiasaan Nadira yang masih belum fasih mengucapkan 'R' atau 'L' terkadang terdengar lucu bagi Raka, tapi entah karena ini lah ia semakin gampang merindukan Dira. Raka memang baru beberapa bulan mengenal Nadira, bahkan ia belum tahun kapan gadis kecil ini berulang tahun. dan... ia berharap jika ia sedang bermimpi ia tak ingin terbangun lagi karena ocehan Dira membuatnya semakin... tak bisa memalingkan pandangannya sedetik pun dari Dira. "Selamat ulang tahun, Cotton Candy," kata Raka ragu, "Semoga Cotton Candy cepat dewasa ya! Semoga cotton candy bisa ngomong pakai huruf 'R' sama 'L' dengan lancar." "Selamat ulang tahun juga, Yoyipop," ujar Dira riang, "Yoyipop, mana kado untukku?" "Cotton Candy mau kado apa si dariku?" tantang Raka. "Aku mau pelmen kapas yang banyak!" pinta Dira, "Lalu aku mau pelmen yoyipop yang banyak juga sama ecilm." "Jangan kebanyakan makan permen nanti giginya bolong terus sakit gigi!" perintah Raka. Nadira mengeleng kuat. "Aku nggak pelah sakit gigi tuh mau makan pelmen kapas sebanyak apa pun." ##### Daru memilih mengabiskan makan siangnya di kantin rumah sakit tempat ia praktik. Setelah selesai makan siang, Daru mengeluarkan ponsel berukuran lima inci yang berada di saku celananya. Dengan cekatan ia menyentuh layar ponselnya dan mengetik sebuah pesan. Untuk: Sugar Km dimana? Dah makan? Jgn lupa makan ya. Tak berselang lama, ponsel Daru pun berdering. Dari: Sugar Aku lg di tebet ni mas. hbs ngelamar kerjaan he-eh. Ini aku mau cari warteg buat makan siang. km jg ya mas. Untuk: Sugar Ini aku lg makan siang di kantin. Ugh nggak enak makan sendirian! Rasanya aku mau makan siang sm km deh, tp kayanya gak mungkin habis ini aku hrs kembali ke poli. Bisa-bisa ibu-ibu pada ngambuk kalau aku tutup lbh awal Km ngapain ke tebet? Rana km titipin kesiapa?Jgn blng km tinggalin Rana sendirian di kontrakan. Dari: Sugar Ya cari kerjaan lah mas. km gmana si! pikun sekali -_- Aku kan dah ngomong semlm sm km kalau aku mau cari kerjaan br hbs kamu paksa aku berhenti kerja dari restoran. nggak betah ah diem di rumah nggak ngapa-ngapain. Rana? Aku titipin sm tante Isty, mbak Via dan Kay. Tenang aja, lagian dr aku dah bisa nitipin Rana sm mereka kok. Ayarin bakal seneng kkamu Rana ke rumah tante Isty, mas. Daru hanya mampu menghela napas. Rasanya sudah berulang kali ia melarang Dira untuk tidak berkerja tetapi ia tetap saja ngotot dengan kemauannya itu. Sejak kelahiran Rana hampir empat tahun yang lalu Dira masih saja ngotot untuk berkerja demi memenuhi kebuTuhan Rana. Daru memangl bukan pacar Dira, tunangan Dira apalagi suami Dira, bahkan Daru tak pernah mengucapkan ia mencintai Dira walau sejak empat tahun yang lalu ia terus memuja Dira. Lagi-lagi masalah keberanian membuat Daru berpikir untuk terus menerus memendam perasaanya dengan Dira dan menjalin hubungan sebagai 'teman baik'. walau, di lubuk hati terdalam Daru, ia ingin lebih dari seorang teman bagi Dira. Kedekatan Daru dengan Dira tak lepas dari peran kakak sepupu Dira, Joe yang tak lain teman saat SMA hingga kuliah Daru dan sama-sama praktik di rumah sakit yang sama. "Kenapa lo?" tanya seseorang membuyarkan lamuna Daru. "Ah, lo ngagetin aja si Joe!" dumal Daru. Seorang pria dengan menggunakan Snelli itu langsung duduk di kursi yang kosong. "Mukanya di tekuk aja, cepet tuir kamu Dar!" "Yeh, emang gue udah kepala tiga. Berarti, gue udah tua dong?" sindir Daru. "Gue nggak ngomong elo itu udah tua si," elak pria yang dipanggil Joe itu, "Gue cuman ingetin jangan kebanyakan di tekuk itu mukanya. nanti ganteng lo ilang aja." "Gue mah tetep ganteng dari dulu si," ujar Daru bangga, "Terus, Dira cantik. Makin cocokan kita sebagai pasangan sempurna?" "Ya. Ya. Ya terserah Lo deh, Dar." Joe menghela napas panjang. Suasana hening menghampiri mereka berdua. "Emang di rumah lagi ada Kay? Terus... Rana ada di rumah juga nggak?" tanya Daru memecahkan keheningan. "Kay lagi libur kuliah kali," sahut Joe, "Rana? Wah, gue nggak tau tuh. Emangnya, kenapa? Kok tiba-tiba nanyain Rana? Biasanya nanyain Ibunya." "Dira tadi ke rumah ya? Emang dia ada acara ini?" cecar Daru. Joe menyegitkan keningnya. "Ha? Kok dia nggak ngomong sama gue si kalau dia ada acara?" Bahkan, kakak sepupunya ini tak tahu Nadira pergi? Dasar kepala batu! semaunya saja jadi orang. Nadira, berhentilah menjadi kepala batu, batin Daru. "Gue... tadi SMS dia, dia bilang dia lagi di Tebet... buat nyari kerjaan." Daru menatap kembali ponsel yang berada di genggamnya, "Cape gue sama adik lo, Joe." "Nadira memang keras kepala si dari dulu," timpal Joe. "Mulut gue sampai berbusah ngomong gak pernah didenger deh sama dia," gerutu Daru. "Selalu aja kepengennya kerja, kerja dan kerja! Padahal, Rana itu masih kecil butuh perhatian dan kasih sayang dia. Gue suruh tinggal sama Tante Isty dia nggak mau, di suruh tinggal di Semarang sama Eyang Hartini apalagi. Gue nggak ngerti apa si maunya Dira sebenernya? Batu banget ya jadi orang! Apa yang kurang buat kehidupan Nadira dan Rana?" "Makanya lo cepet iket Dira. Sah-in hubungan lo sama dia di depan penghulu dan agama, mungkin Nadira akan berubah." "Gue aja di tolak terus dari dulu sama Nadira," ujar Daru lirih. "Deketin Rana kalau mau dapeti hati ibunya," kata Joe asal. "Rana udah deket kali sama gue dari hari pertama di lahir ke dunia ini," protes Daru, "Tapi, Ibunya itu yang nggak peka-peka di deketin sama gue." "Mungkin lo harus berubah seperti Lee Jong-hyun dulu, baru Nadira mau melirik lo." ledek Joe. "Idih, ogah lah, mana ngerti gue sama Korea-Korea-an!" Daru mengerucutkan bibirnya. "Gue ini bukan seumuran Kay ya! Inget gue udah kepala tiga, Joe." ##### Taksi yang membawa Dira berhenti di kawansan perumahan elite di Menteng, sebuah rumah mewah bergaya minimalis terlihat di hadapanya saat ini ya, ini adalah rumah dari adik kembar Papa Dira, Reno. Dan Om Reno –sapaan akrab Dira dengan Reno– adalah seorang dokter spesialis syaraf yang cukup terkenal, dia memilih untuk pergi ke Jerman karena kehebatan sudah di akui di sana. Sebenarnya, semua bisa dilakukan oleh Dira agar bisa menjadi dokter, tapi... kejadian di malam itu membuat Dira mengubur dalam-dalam keinginannya menjadi dokter dan meneruskan kuliahnya. Dira tidak akan pernah melupakan kejadian na-as itu sampai kapan pun. Malam yang mengerikan, malam yang menyedihkan, malam yang membuat Dira bersumpah ia tak akan percaya dengan embel-embel cinta. Di halaman rumah yang sangat besar ini terlihat dua orang gadis kecil nampak bermain dengan riangnya. Salah satu dari kedua gadis kecil itu memilik rambut hitam panjang yang sedikit ikal di bagian bawahnya yang tergerai berantakan dengan pipinya yang chubby dengan rona merah muda itu semakin membuatnya terlihat manis dan mengemaskan. Dan gadis kecil yang lain itu bertubuh sedikit lebih tinggi dari si pipi chubby ini, rambutnya yang berwarna cokelat tua terlihat berkilau di pancaran sinar mentari sore. "Nda!" seru gadis kecil berpipi chubby itu. Tanpa aba-aba gadis kecil itu langsung berhambur kearah Dira, gadis kecil itu memeluk Dira sangat erat seolah-olah ia tak ingin kehilangan Dira. "Halo, anak Bunda." Dira mengecup puncak kepala gadis cilik ini, "Udah mandi belum ni? Nanti bau ni kalau belum mandi." "Lana udah mandi kok, Nda!" seru gadis cilik ini riang, "Tadi, Lana mandi sama Eyang Uti." Rana, gadis kecil yang belum genap berusia empat tahun ini terus mendekap Dira. Suaranya yang cempreng, dan pelafalan huruf 'R'-nya yang belum bisa sempuran ini lah yang membuat Dira mati-matian untuk berkerja keras. Rana adalah satu-satunya alasanya untuk hidup saat ini. "Pintar!" puji Dira, "Ini baru anak Bunda." Pasangan ibu dan anak yang sangat bahagia, mungkin itu kesan pertama orang-orang melihat kedekatan Dira dengan Rana putri satu-satunya ini. tapi jika orang-orang tahu, dulu awalnya Dira begitu membenci Rana bahkan ia tak segan-segan untuk menghabis Rana? Tidak akan ada yang pecaya. "Mbak Nadira udah pulang?" tanya seseorang membuat Dira tersadar saat ini ia tak hanya berdua dengan Rana. Sosok Kayla, adik sepupunya itu sudah berdiri di depanya saat ini sembari mengedong Aya keponakan mereka berdua. "Eh, ada Kayla toh," sahut Dira, "Iya ni, maaf ya aku kan janjinya cuman sampai jam tiga nitipin Rana di sini eh malah kelewatan sampe sore banget." Kayla hanya tersenyum sembari menahan rasa gemasnya mendengar penuturan Dira. "Ah, Mbak Nadira udah kaya orang lain aja! Nggak apa-apa lagi. Lagian kan, Aya ada teman main kalau Rana kesini terus aku juga ada hiburan main sama si embem ini." "Tante Isty mana?" Dira mengalihkan topik pembicaraan. "Mami sama Mbak Via lagi di dapur. Biasalah, nyiapin makan malam," jawab Kayla, "Mbak Nadira udah makan?" "Tadi siang si, udah makan." "Ayo, kita makan malem bareng Mbak!" ajak Kayla, "Belum makan malem kan?" "Tapi—" "Nda, Lana nggak mau pulang!" rengek Rana. "Lana masih mau main sama Kak Aya." Mendegar permintaan dari Rana, rasanya Dira tak mampu mengelak. Tapi, rasa segan karena selalu merepotkan Reno dan Isty masih menganjal di hati Dira. Sejak kematian kedua orang tua Dira sembilan tahun yang lalu, Reno juga Eyang Dira lah yang bahu membahu mengurus segala kebutuhan Dira dari A-Z. Tapi sayang, justru Dira mengecewakan mereka berdua dengan sebuah aib yang memalukan. "Boyeh ya, Bun?" tanya Rana, kedua mata hitam milik Rana menatap Dira penuh harap. Entahlah, setiap Rana menatap Dira seolah-olah ia sedang membuka luka lamanya dulu. Kedua mata hitam itu benar-benar mirip dengan Raka. "Yaudah, kita nginep di sini deh!" tegas Dira. Mendengar ucapan Dira wajah Rana begitu terlihat senang. "Acik Rana bakal nemenin aku!" seru Aya riang. Mendengar ucapan Dira, Aya yang berada di gendongan Kayla langsung turun dari gendongan Kayla. Kedua gadis kecil itu langsung pergi meninggalkan Dira dan Kayla berdua. "Gimana hasil ngelamarnya kerjaanya, Mbak?" tanya Kayla antusius. "Aku dapet kerjaan si," jawab Dira. "Sesuailah sama kemampuan aku." "Jadi desainer?" tanya Kayla antusius. "Iya!" tuas Dira riang, "Di butik yang cukup terkenal juga. Ya, rasanya aku beruntung aja, aku yang hanya mengenyam sekolah tata busana dan bermodalkan sebagai lulusan SMA ini kerja di butik mewah." "Walau Mbak Dira lulusan SMA tapi teteh dulu kan pernah jadi mahasiswa kedokteran," sindir Kayla, "Aku aja mau masuk kedokeran falied, akhirnya nyasar di manjemen... rumah sakitnya... beda tipis." Dira mengacak-ngacak rambut cokelat milik Kayla. "Tapi, aku gagal dulu mau masuk kedokteran di kampus kamu." ##### Raka memacuh mobil Audi A4 miliknya di jalanan kota jakarta yang di penuhi gemerlap lampu hias. Rasanya kalau boleh memilih, Raka enggan pulang kerumah dan menemui Eliana istrinya sendiri. Bukan karena mereka sering bertengkar, pernikahan mereka selalu terlihat harmonis tanpa pertengkaran atau cekcok tapi...ada sebuah kebohongan sempurna yang selalu ia tutupi dari Eliana. Raka selalu mengatakan ia mencintai Eliana tapi semua itu hanya sandirwara, sandiwara untuk menyenangkan hati orang tuanya dan orang tua Eliana juga Eliana sendiri. Tak ada cinta hampir empat tahun mereka hidup bersama, tapi tak ada sedikitpun rasa cinta ada di dalam hati Raka. Bagi Raka, cintanya hanya untuk Nadira seorang bukan orang lain. Terlihat mobil Mini Choper milik Eliana sudah terpakir rapi di bagasi rumah mereka. Buru-buru Raka memarkir mobil Audinya di samping mobil milik istrinya tersebut. Saat ia turun dari mobil di lirik lah jam Swiss Army yang melingkar di tangan kirinya. Jam setengah sembilan sepertinya ia terlambat untuk makan malam bersama Eliana. Raka berjalan menuju rumah megah berlantai dua yang ada di hadapanya itu. rumah yang berbeda jauh dari rumah yang dulu ia lahir dan tumbuh besar. Seperti biasa Raka membuka pintu rumah ini dan seorang wanita paru baya yang menyambutnya. "Ah, Den Raka udah pulang?" tanya wanita paru baya itu. "Malam, Mbok Sayeti," sapa Raka ramah. "El mana ya?" "Non Eliana ada—." "Hai, Mas!" seru suara seorang wanita membuat Raka cukup terkejut. Sosok wanita berambut pirang, tubuhnya yang terlihat bak top model ini berjalan kearahnya. "El?" ucapnya lagi. El adalah nama panggil untuk Eliana, karena namanya begitu terdengar panjang maka Raka selalu memanggilnya dengan sebuatan El. "Hai, Mas. kok tumben pulang selarut ini? Aku pikir mas nggak pulang karena Mas bakal sibuk menata ruangan pratik baru-nya Mas," sindir Eliana. "Ruangan aku kan, udah di dekor dari kapan tahu El," balas Raka ketus. "Gimana tempat praktik barunya?" tanya Eliana antusius. "Menyenangkan," jawab Raka dingin. "Makan dulu ya, Mas?" Eliana langsung bergelayut manja dengan Raka. "Aku udah siapin makanan bua—" "Aku nggak lapar, El." Raka buru-buru menjauhkan tubuh Eliana, "Aku cape mau istirahat." Raka memilih untuk naik ke lantai dua rumah ini dan meninggalkan Eliana. Ini mungkin bukan suatu hal yang aneh untuk Eliana, setiap kali Raka sedang kesal atau kelelahan pasti sikap Raka akan menjadi dingin bahkan tak segan Raka memarahi Eliana. Tapi, karena ia begitu mencintai Raka maka ia hanya diam saja tak membalas sama sekali. Cinta itu memang rumit, bahkan terkadang cinta membuat seseorang bisa menjadi lemah atau i***t. Eliana hanya memandangi kepergian Raka dalam hening. Apa ini yang namanya... sulitnya untuk mendapatkan hati seseorang? Apa benar dia dapat melupakan masa lalunya? ******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN