KAMPUS, 2000
Kampus UNPAD Dago Pojok termasuk salah satu yang paling sempit. Kelasnya tidak banyak dan halaman parkirnya senggol sana, senggol sini. Jalan Dago Pojok itu sendiri hampir mirip gang. Sering terpikir; kenapa jalan ini tidak dibuat satu arah saja. Kalau mobil-mobil saling bertemu dari arah yang berlawanan, macetnya bukan main. Belum lagi banyaknya mahasiswa dan warga yang lalu lalang.
Siang itu pak Dedi sibuk merapikan motor-motor yang berdesakan di parkiran. Lelaki asli Dago itu selalu terlihat ramah dan akrab. Sering pula ia terlihat duduk santai di ruang kerjanya yang lebih luas dari kantor dosen, bahkan ketua jurusan sekalipun. Tanpa meja kerja dan lemari arsip. Cukup sebuah bangku panjang dari papan, yang berada di bawah pohon rindang, ia nampak seperti pemilik kampus.
Heru segera menyelipkan motornya selagi masih ada tempat. Udara kampus membuatnya segar. Ia memang hobi kuliah, tapi tidak dengan belajar. Apalagi ujian. Ia sangat menikmati suasana kelas, suasana kantin, perpustakaan, seminar dan diskusi. Di sana ia merasa benar-benar dapat menjaga idealismenya. Masa kuliah di Fakultas Komunikasi ia jalani dengan penuh optimisme. Setelah dua tahun yang lalu ia tinggalkan Akademi Perhotelan yang hanya sempat dijalaninya selama satu tahun. Ia butuh suasana baru. ”I need something different. Pikirnya.
Kelas dimulai setengah jam lagi, anak-anak sudah banyak yang datang. Mereka berkumpul, duduk-duduk dan berdiri di depan kelas masing-masing. Kelas A, B dan C berjejer dan diakhiri oleh toilet kampus. Wajah-wajah mereka cerah memerah tanpa beban. Mereka datang ke tempat ini untuk sebuah pencarian. Tidak sekedar menuntut ilmu untuk bekal di masa depan. Tapi juga untuk suatu komunitas, relasi dan juga jodoh tentunya. Atau mungkin juga hanya sekedar mengisi masa muda dengan suatu rutinitas yang intelek, demi gengsi tanpa planning khusus.
Berbagai alasan yang membuat masa muda begitu manis untuk dibahas dalam acara reuni kelak. Semanis tiga gadis yang duduk pada anak tangga, Anggi, Yesi dan Astrid memang selalu terlihat bertiga kemana-mana. Anak-anak kampus memanggil mereka ’trio kwek-kwek’. Ketiganya berasal dari Jakarta dan tinggal satu rumah, di rumah Astrid. Astrid seorang gadis keturunan Belanda-Sunda. Ia menempati rumah besar kuno, bergaya Belanda, warisan kakeknya di kawasan Hegarmanah. Sebagian kamarnya dikoskan. Orang tua Astrid sendiri tidak tinggal di Bandung, mereka tinggal di Jakarta. Itu yang menjadikan Astrid sebagai induk semang di rumah besar tersebut.
Entah daya tarik apa yang membuat gadis-gadis metropolis ini berebut bangku ijazah di kota si Kabayan. Kalau hanya sekedar ingin menimba ilmu komunikasi, rasanya Jakarta lebih banyak menawarkan pilihan. Dinamisme jurnalistik, broadcasting dan advertising juga lebih semarak di Jakarta, dan mereka akan lebih menguasai kondisi kota mereka sendiri. Kalau mau cari murah, harga beda-beda tipis, dan mereka juga bukan dari tipe keluarga yang price-concerned. Tapi kalau mau cari santai, rasanya itu jawaban yang paling jujur. Bukan berarti mahasiswa di daerah malas-malas, tapi kondisi sosial budaya, demografis dan geografis di daerah dan di kota kecil, kadang meninabobokan sebagian orang, membelai dan membisikan kata alon-alon asal klakon. Segalanya nampak kurang memicu adrenalin untuk lebih melesat. Tapi ini hanya pendapat sebagian orang yang memiliki dendam pribadi, belum ada riset yang serius, jadi please, tak usah ambil pusing.
Sekarang, lupakan kota dengan sejuta alon-alon ora kelakon-kelakon (pelan-pelan nggak selesai-selesai), melompat di tengah riuhnya kota besar seperti Jakarta. Di kota itu mahasiswa harus berpeluh dalam kereta Jabotabek yang penuh sesak, membludak sampai ke atapnya. Yang tingal di pinggiran harus bangun lebih dulu dari mentari walau tidak selalu untuk sholat Subuh. Semuanya berlari bak dikejar Kamtib untuk menggapai bis kota. Lalu menikmati orkestra klakson dan nyanyian sopran para sopir angkot. Belum lagi panas terik, macet dan banjir. Sedangkan jauh di luar kota Jakarta, di daerah yang lebih lenggang, walau tanpa pertumpahan darah yang berarti, mahasiswa masih sering telat hadir termasuk dosennya.
Di luar apa pun niat mereka, kadang Heru berpikir kalau-kalau ketiga teman cantiknya ini tak lain adalah spionase yang dikirim Jakarta untuk menjajaki kemungikinan ekspansi dan investasi kaum tajir metropolis pada daerah-daerah, demi penggembungan pundi-pundi mereka. Namun Heru tak peduli, bahkan Alien sekali pun yang datang, ia akan tetap menerima dan menjadi tuan rumah yang baik. Seperti dalam film detektif Charlies Angel, Heru merasa menjadi The Mysterious Charlie, lelaki dalam kotak pengeras suara yang mengayomi ketiga agen cantik Charlies Angels. Rasanya gagah menjadi si om-om kharismatik, the man behind the scene dalam setiap aksi mereka sebagai wanita-wanita player penakluk penjahat kelamin, sekaligus membuat memble para mojang priangan.
Dan di era milenium ini di kota Batman Kasarung, Heru menonton film itu lagi, live dan nyata. Heru berdiri di depan mereka setelah Agen Yesi melambaikan tangan memanggilnya. Cepat dan sigap Heru menghampiri. Baginya ketiga bidadari ini selalu enak dipandang dari sudut manapun, apalagi bila berhadap-hadapan.
Lo bisa kan, absenin kita untuk pelajarannya Pak Erwin nanti? pinta Yesi. Maaf dipotong dulu, sekedar info tentang kata elu dan gua. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman, correct me if im wrong. Kalau benar-benar disimak, ternyata ada bedanya cara pengucapan dua kata itu antara anak muda Jakarta dan Bandung. Anak-anak muda Jakarta mengucapnya; elo, lo atau eloh dan gue. Sedangkan di Bandung; elu, lu dan gua, plus dikombinasi basa Sunda; gua mah, elu teh. Kalau tidak percaya, silahkan kumpul dengan anak muda Jakarta di Jakarta atau anak Jakarta yang gres dari Jakarta. Lalu bandingkan sama anak muda Bandung yang sok metropolis, jangan yang di pinggiran, biasanya hewan piaraan dan teman-temannya ikut di bawa-bawa; anjing, siah, maneh, kehed.
Kembali ke Yesi, di antara ketiganya ia memang yang paling songong. Entah apa istilah lainnya songong, mungkin sengak, sombong, angkuh, judes. Yang jelas, ia yang paling ketus dalam bicara, tak peduli orang lain tersinggung atau tidak. Sorot matanya liar, penampilannya terlalu matang untuk mahasiswi seemurnya. Namun tak bisa dipungkiri, ia memang cantik, dengan kulit mulus dan bentuk tubuh yang sempurna dihiasi fashion up to date mulai dari pakaian, asesoris sampai model rambut. Bagi umumnya cowok kampus, itu saja sudah cukup. Kalau wanita sudah seperti itu, sifat dan kemampuan otak sudah tak penting lagi. Namun bagi cewek kampus, lebih membingungkan, kadang mereka ingin dekat degan ketiganya, biar numpang beken, apalagi bisa jadi sohib, soul mate terus manggilnya Sist”, kependekan dari sister. Tapi kadang justru benci, iri dan waswas kalau sampai cowok mereka kepincut, atau hanya jadi pelarian cowok yang nggak kesampaian sama ketiganya. Capek hati, capek fisik sudah jelas, namanya jadi pelarian, pacarannya sambil lari-lari.Tapi tidak perlu munafik juga, ketiga wanita seperti itu bisa jadi inspirasi, paling tidak menjadi transetter mode dan life style. Seolah dengan tanpa harus membeli majalah gaya hidup wanita yang mahal itu, semua artikel dan informasi yang perlu nampak sudah diaplikasikan oleh Yesi dan dua temannya. Ibarat katalog fashion berjalan. Ke kampus seperti mau casting sinetron. Dihujat bagaimana pun juga faktanya sadar atau tidak, mereka menjiplak habis penampilan ketiganya. Antisipasi bila cowok-cowok mereka membanding-bandingkan. Kalau muka jelas tidak mungkin nyamain, rambut masih bisa, walau maksa dan belum tentu cocok degan bentuk muka. Bisa jadi justru kelihatan sekali nyamainnya. Paling mudah dan tidak terlalu kentara, beli asesoris yang sekelas; sepatu dan tas branded. Pada akhirnya, money talks. Bukan hal yang terlalu sulit juga bagi cewek kampus yang tidak kismin-kismin amat. Apalagi seusia mereka yang cenderung labil, hidup dikelilingi mall dan factory outlet, dihujani media hiburan. Walau bukan untuk pamer dan persaingan, mempunyai asesoris branded seperti sudah menjadi syarat wajib cewek gaul. Dana tidak cukup, masih ada yang KW. Terlepas dari itu semua, tidak cewek tidak cowok, tetap saja mereka selalu menanti gebrakan selanjutnya dari ketiga gadis itu. Akan ada fashion apa lagi. Akan ada gosip apa lagi tentang ketiganya. Kelakuan apa lagi, kebiasaan apa lagi, cowok mana lagi yang sedang dekat, mungkin kali ini dosen, dekan, eksmud, ekspat, pengusaha, selebriti, pejabat, tokoh parpol, guru spiritual, atau ustadz kondang. Hampir di semua kampus, mahasiswi seperti trio kwek-kwek ada dan selalu dinanti. Dunia kampus terasa tak lengkap, tak berwarna tanpa kehadiran mereka. Paling tidak mereka membuat kita bersemangat untuk ke kampus. Sekarang lebih baik kembali ke obrolan Heru dan ketiga agennya.
Nitip absen? Emang kalian pikir absen itu sejenis oleh-oleh, bisa nitip.
Resek lo”. Yesi melotot. Ia juga memang yang paling sulit diajak becanda.
Memang kalian mau kemana? Heru penasaran, siapa tau diajak.
”Biasa... billiard,” jawab Anggi. Yang satu ini yang paling unyu, kocak, telmi.
”Apa enaknya billiard siang bolong begini? Apa nggak entar malem aja? Biar gua bisa ikut.”
”Siang bolong atau malem-malem buta, buat kita sih sama aja. Kalau lagi kepengin, kapan aja jadi.” timpal Yesi.
”Absenin kalian sih gampang. Cuma masalahnya, pelajaran Pak Erwin ada quiz hari ini.”
”Serius lo?! Bukannya minggu depan? Astrid sungguh kaget tak dibuat-buat.
”Minggu depan dari Hongkong! Hari ini, tanya aja yang lain. Apa elu nggak nyadar, baru jam segini udah pada ngumpul. Pada pingin ngetekin tempat duduk.
”Aduh! Gimana dong? Gue belum belajar. Quiz-nya tentang apaan, Her? Astrid sungguh gelagapan.
”Quiz-nya sudah pasti tentang pelajaran dia, Manajemen Kehumasan. Mana mungkin pelajaran olah raga! Tapi kalau soalnya apa, menegetehe (mana gua tau).”
”Her, kita duduk dekat elo ya. Lo kan udah belajar.” Astrid merajuk menatapnya. Dari ketiganya, Astrid memang yang paling membumi walau pun sesungguhnya ia juga yang paling natural cantiknya sekaligus paling tajir.
”Kita lihat aja nanti, jawab Heru pede.
****
Pak Erwin bisa dibilang dosen yang cukup senior, ia juga bekerja pada sebuah surat khabar di Bandung. Penampakan serta kelakuannya memang cunihin alias ganjen atau sok muda sekaligus sok ganteng. Ia pandai mengkaitkan hal-hal ngeres nggak penting dalam setiap bahasan mata kuliahnya, karena memang di otaknya kalau dibedah, kita hanya akan menemukan stok cuci gudang under wear bercap Triump dan Victoria Secret. Mahasiswa cowok saja sebetulnya risih, apalagi yang cewek, mereka berebut duduk di belakang agar tidak menjadi santapan mata si bandot tua. Apes tujuh turunan, bila sampai duduk di deretan paling depan. .
Namun kali ini urusannya lain lagi, anak-anak berebut duduk di belakang karena akan ada quiz. Mereka mulai mengatur posisi, mengingat posisi memang seringkali menentukan prestasi. Mulut mereka pun komat-kamit berharap tidak ada quiz hari ini.
”Lho, kalian kenapa? Kelihatannya tegang sekali.” Pak Erwin mencoba menenangkan. ”Soal quiz-nya bukan dari catatan atau buku yang sudah saya berikan, jadi kalian tidak perlu kuatir. Coba tolong bangku-bangku di depan ini di isi! Walau harus memakan waktu, Pak Erwin mencoba menggiring mahasiswanya bergerak ke depan. Ini jelas tidak mudah, mereka nampak ragu, enggan untuk bergerak. Mereka keberatan untuk digusur, sesungguhnya mereka sudah menemukan posisi duduk yang tepat. Dekat dengan sumber daya yang telah dipersiapkan alias kertas contekan sampai buku diktat di pangkuan. Atau paling tidak berharap ada malaikat penolong baik hati, yang akan mengangkat kertas jawabannya sedikit lebih tinggi, untuk sekedar menyamakan jawaban atau menyalin sepenuhnya.
”Saya akan bagikan satu lembar kertas fotocopy ini pada masing-masing kalian. Kertas ini berisi catatan tentang kasus yang menimpa sebuah perusahaan, sehingga perusahaan tersebut mendapatkan citra yang buruk di masyarakat. Di sini kalian berperan sebagai Public Relation perusahaan tersebut dan tugas kalian adalah menulis press release di media massa yang isinya menjelaskan dan mengklarifikasi kasus tersebut. Juga memaparkan langkah-langkah apa yang akan diambil perusahan, sehingga diharapkan citra perusahaan dapat terangkat kembali.
Seketika terdengar suara berbisik dan saling pandang kebingungan. Arahan Pak Erwin yang terus berbunyi sudah tak didengar. ”Eh, kita disuruh ngapain sih? Lu ngerti nggak?” Jiwa kolektif mahasiswa muncul spontan.
”Her, nanti gue lihat punya lo ya? pinta Anggi berbisik.
”Kalau mau lihat punya gua jangan di sini, nanti aja di toilet.”
”Dasar! Gue serius. Gue bener-bener lagi nggak mood buat nulis-nulis.”
”Lembaran punya lu, isinya tentang kasus apa?
Lho, memangnya beda-beda?
”Jelas beda-beda. Lu nggak denger, barusan si Bandot itu bilang, ada empat soal studi kasus yang ia bagiin. Punya gua tentang perusahaan minyak dan gas bumi yang pipanya bocor. Punya Rena tentang pabrik s**u kaleng yang bahannya diisyukan mengandung lemak babi. Kalau lu tentang apa?”
”Kayaknya pabrik s**u kaleng,” jawab Anggi sambil membaca ulang lembarannya.
”Ya udah, mending lu tanya sama Rena aja. Orang yang katanya mau ngelanjutin ke sekolah periklanan di Amrik, nulis begini aja nggak bisa. Bagaimana mereka mau bersaing sama bule-bule di sana? Pikir Heru geleng-geleng.
”Tugas-tugas semacam ini akan menjadi makanan sehari-hari buat para PR Profesional di real industry. Tulis-menulis dan dealing dengan media. Pak Erwin mencoba memberi semangat. ”Kalian ini kan calon Sarjana Komunikasi, jangan jadi PR yang amatiran. Menulis seperti ini seharusnya tidak lebih dari lima belas menit. Baris pertama memang selalu menjadi yang tersulit, tapi setelah itu akan mengalir seperti air.” Pidato Pak Erwin cukup merusak konsentrasi. ”Kalian tahu tidak, bedanya PR Profesional dengan PR Amatiran? Anak-anak diam tidak menggubris. ”Kalau PR Profesional itu, bila bertemu atasannya akan berkata: selamat pagi pak! Sedangkan PR Amatiran akan berkata: pak... pak... sudah pagi pak, ujar pak Erwin mencoba berkelakar. Lucu juga sih... Tapi mestinya ngebanyolnya nanti saja, kalau mahasiswanya sudah di rumah masing-masing.
Tak terasa, quis mari mengarang selesai sudah. Heru merapikan buku-buku dan bergerak ke luar melewati Pak Erwin yang masih berdiri menunggu beberapa mahasiwa yang lelet berkutat dengan jawaban omong kosong.
”Her, tugas menulis yang kamu serahkan minggu kemarin cukup bagus. Pak Erwin berkata di pintu ke luar.
”Tugas menulis yang mana, pak?” Heru nampak bingung mendengar pujian itu.
”Tulisan kamu tentang turis-turis backpacker minggu lalu. Kalau kamu mau, kamu bisa mengirimkannya ke surat kabar. Tulisan kamu cukup layak sebagai materi cetak.”
”Maaf, pak. Tapi tulisan itu hanya sekedar untuk tugas pelajaran bapak, lagipula data-datanya tidak akurat dan up-to-date. Itu data-data tahun 97.”
”Tidak masalah, kamu bisa menggantinya dengan data-data yang sekarang.”
”Masalahnya saya males mencari datanya, pak. Saya lebih suka mengomentari sesuatu yang data-datanya sudah ada. Apalagi kalau harus mengadakan riset segala. Saya nggak minat Pak.
”Lho, untuk menulis suatu komentar jelas dibutuhkan data-data yang bisa dipertanggungjawabkan. Bagaimana kamu mau mempertanggungjawabkan tulisan kamu nantinya. Wartawan memang harus seperti itu, Her.” Pak Erwin tampak serius.
”Kuliah di Fakultas Komunikasi kan nggak harus jadi wartawan, pak. Bagaimana nanti saja, pak. Saya nulis masih sekedar hobi.” Heru memang sedang tidak ingin mengobrol lebih lama dengan Pak Erwin.
”Itu sih terserah kamu. Ya, sudahlah. Sekarang, tolong kamu foto copy catatan ini lalu bagikan pada teman-teman kamu!