BAB 13 — RETAK YANG MAKIN TERLIHAT

669 Kata
Pagi itu udara lembap. Aira mengantar Aksa ke sekolah seperti biasa. Anak itu berlari kecil menuju kelas, menoleh sebentar sambil tersenyum, membuat Aira merasa hari ini bisa ia jalani sedikit lebih ringan. Setelah Aksa menghilang ke dalam kelas, Aira menarik napas dan bersiap pulang. Tapi suara itu datang dari belakang. Suara yang membuat langkahnya berhenti. “Ra.” Aira menegang. Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa itu. Perlahan, ia menatap sosok yang berdiri tidak jauh darinya. Arman. Suaminya. Pria yang tidur di ranjang yang sama, tapi entah sejak kapan terasa begitu asing. “Man?” Aira berusaha terdengar biasa. “Kamu kok di sini? Bukannya harusnya kamu udah sampai kantor?” Arman memasukkan tangannya ke saku celana, sikapnya tenang… terlalu tenang. “Aku lewat sini. Mau lihat Aksa masuk sekolah.” Aira mengerutkan kening pelan. Arman bukan tipe yang peduli detail kecil. Arman bahkan sering tidak tahu jadwal sekolah anaknya sendiri. “Tumben,” Aira menahan nada curiga dalam suaranya. Arman tidak menjawab. Ia hanya mengamati wajah Airaa dengan tatapan yang sulit dibaca. Tatapan yang terasa seperti… memeriksa. “Aira,” katanya akhirnya, “akhir-akhir ini kamu sering keluar rumah. Sering pulang telat. Sering bawa tas lebih besar.” Aira mengembuskan napas. “Aku kerja, Man. Kan kamu tahu kondisi keuangan kita. Aku cuma bantu.” Arman miringkan kepala. “Aku lihat kamu sekarang sering dandan, lebih rapi saat keluar.” Aira terdiam sejenak. Dadanya terasa diremas sesuatu. “Man… aku berdandan karena aku ketemu orang. Aku jualan. Aku harus keliatan sopan. Itu aja.” Arman menatap lebih dalam. “Aku cuma tanya. Soalnya kamu beda. Sekarang kamu sering senyum waktu lihat HP. Kamu sibuk. Kamu… nggak kayak dulu.” Aira mengepalkan tangannya. “Man, kamu ini ngomong apa sih? Jangan bikin masalah dari hal yang nggak ada.” Senyum tipis Arman muncul—senyum yang tidak pernah membuat Aira merasa aman. “Aku cuma perhatiin istri aku sendiri, ra.” Nada suaranya pelan, tapi menyimpan tekanan halus. Aira menatap ke tanah, menahan getaran di dadanya. “Kalau kamu udah selesai nyindir, aku mau pulang. Aku harus—” “Tunggu.” Arman memotong langkah Aira. Ia mendekat satu langkah, cukup untuk membuat Aira mundur sedikit. “Kamu harus jaga sikap,” ucap Arman. “Aku nggak suka kalau kamu terlalu bebas.” Aira mengangkat wajah, menahan amarah yang mendidih. “Aku bukan keluar buat senang-senang, Man. Aku kerja. Aku berjuang.” Arman mengangkat alis. “Dan aku suami kamu. Aku punya hak tahu kamu pergi ke mana.” Ra tertawa kecil—tawa yang terdengar getir. “Lucu ya. Kamu yang jarang pulang, jarang nanya kabar, jarang ingat ulang tahun anakmu sendiri… tapi sekarang kamu peduli aku pergi ke mana?” Arman terdiam sejenak, wajahnya mengeras. Jika ini dulu, Aira mungkin akan takut. Tapi sekarang… ia hanya lelah. “Ra,” suara Arman merendah, “aku cuma nggak mau kamu kelewat nyaman di luar.” Aira menatapnya, mata berkaca namun kuat. “Man… justru rumah ini yang nggak pernah kasih aku nyaman.” Kata itu membuat Arman terdiam. Rahangnya mengeras. Aira melanjutkan, pelan namun mantap: “Aku capek terus-terusan disalahin. Aku capek harus jelasin hal yang nggak pernah kamu mau dengar.” Angin pagi berhembus, seolah menegaskan ketegangan di antara mereka. Arman berbisik, “Aku cuma nggak mau kehilangan keluarga aku.” Aira menelan perih di dadanya. “Kalau kamu beneran takut kehilangan, harusnya dari dulu kamu jaga, Man. Bukan sekarang.” Beberapa detik mereka terdiam. Lalu Arman berkata pelan, namun tajam: “Aku bakal perhatiin kamu, ra. Jangan sampai kamu bikin aku berpikir yang macam-macam.” Aira langsung merinding. Bukan karena takut… tetapi karena ia tahu Arman bukan orang yang bicara tanpa maksud. “Aku pulang dulu,” Aira akhirnya berkata, memutar badan. Arman tidak menahan. Tidak memanggil. Tidak minta maaf. Ia hanya menatap punggung Aira sampai hilang di ujung jalan. Dan entah kenapa… saat melangkah, Aira merasa sesuatu yang buruk sedang menunggu di depan. Sesuatu yang perlahan mendekat. Dimulai dari retakan kecil di pagi itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN