BAB 1 — Pagi yang Tak Pernah Benar-benar Cerah

496 Kata
Alarm berdering pukul 04.30, dan seperti biasa, Aira bangun dengan tubuh yang terasa bukan miliknya sendiri. Punggungnya pegal, kepalanya berat, tetapi ia tahu… tidak ada yang akan mengurus rumah kalau bukan dirinya. Ia duduk pelan di tepi ranjang. Suaminya, Arman, terbaring membelakanginya. Nafasnya teratur, dalam, seolah tidak pernah terbebani apa pun. Aira menatap punggung itu lama. Punggung yang dulu bisa jadi tempatnya bersandar, kini terasa seperti tembok dingin yang tak bisa ia sentuh lagi. “Mas…” panggilnya pelan, suara masih serak. Tidak ada jawaban. Tidak pernah ada. Ia menarik napas, bangkit, dan berjalan keluar kamar. Di dapur, lampu temaram menyambutnya—tempat ia memulai hari yang sama, setiap hari, tanpa jeda. Aira menanak nasi, menyiapkan bekal, dan sesekali harus berhenti untuk menahan pusing yang tiba-tiba datang. Capek banget… tapi siapa yang mau tahu? Pukul 06.00, Arman akhirnya keluar kamar. Rambutnya rapi, kemeja birunya harum parfum, bukan aroma sarapan yang Aira masak sejak subuh. “Mas, sarapannya udah siap.” Dia hanya mengangguk tanpa menatap. Tidak ada “terima kasih”, tidak ada “pagi”. Aira menelan ludah. Di meja makan, Arman makan sambil fokus di ponselnya. Sesekali senyum. Aira memperhatikan—senyum itu bukan untuknya. “Mas nanti pulang jam berapa?” tanya Aira pelan. “Enggak tahu. Tergantung kerjaan,” jawabnya singkat. “Kamu jangan nanya-nanya terus,” tambahnya tanpa menoleh. Seperti ditampar, Aira mematung. Ia menggenggam ujung blouse-nya di bawah meja, menahan luka yang menetes lagi. Padahal ia cuma ingin memastikan jam tidur anak-anak. Padahal ia cuma ingin bicara sedikit saja. Padahal ia hanya ingin dianggap ada. Ketika Arman berdiri, ia mengambil tas kerja tanpa menatap istrinya. Aira mengikuti ke depan pintu, refleks ingin mengantar, seperti dulu. “Mas hati-hati ya…” Arman hanya mengatakan, “Ya,” tanpa melihat sekalipun. Pintu tertutup. Keheningan rumah langsung menyergap seperti kabut dingin. Aira memejamkan mata. Satu air mata jatuh. Bukan karena ditinggal pergi—tapi karena kepergiannya bahkan tidak meninggalkan rasa apa-apa pada lelaki itu. --- Anak-anak bangun. Rutinitas dimulai lagi: memandikan, memberi makan, menyiapkan baju, menyisir rambut kecil mereka yang lembut. Aira tersenyum pada mereka. Senyum yang sama yang ia gunakan untuk menutupi betapa lelahnya ia hari ini. Saat mengantar sekolah, langkahnya berat. Pandangannya buram—pusingnya makin menjadi. Namun Aira tetap tersenyum di depan pintu kelas anaknya. "Mommy pulang dulu ya, Nak." Anaknya melambai riang. Dan seketika itu, senyuman Aira runtuh saat berbalik. Ia menahan diri agar tidak jatuh. Tangannya meraba dinding koridor sekolah, mencari pegangan. Kenapa tubuhku sering begini…? Aira menunduk, menarik napas berkali-kali. Tapi napasnya pendek, cepat, tidak stabil. Seseorang yang lewat menatapnya sebentar, tapi tidak bertanya apa-apa. Tidak ada yang benar-benar tahu ada apa dengannya. Aira akhirnya duduk di kursi taman kecil dekat parkiran. Ia memejamkan mata, menahan pusing sambil mengusap kening. Dan untuk pertama kalinya hari itu, ia membiarkan dirinya jujur. Aku capek… capek banget. Tapi aku harus kuat… kan? Siapa lagi kalau bukan aku? Air matanya jatuh lagi. Pelan. Diam. Tanpa suara. Persis seperti hidupnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN