Tak terasa sebulan sudah Azka tinggal di dusun terpencil tersebut. Nyaman dan tenang. Dua kata yang saat ini menggambarkan perasaan hati dokter muda tersebut. Dengan keterbatasan fasilitas tidak membuat Azka mengeluh. Justru waktunya bisa ia manfaatkan dengan baik, entah membantu warga ke sawah, berkebun, atau membantu memberi pakan pada hewan ternak mereka. Kegiatan yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Kulit putihnya pun kini terlihat lebih eksotis.
Seperti pagi ini. Setelah membantu Bu Narti memetik daun bayam untuk dimasak Azka ikut Pak Wanto dan Joko putra beliau untuk menanam singkong di kebun. Pak Wanto adalah kepala dusun di sini, beliau hanya tinggal bertiga bersama istri dan putra tunggalnya, Joko. Siangnya barulah Azka berkumpul dengan para warga untuk sekadar berbincang santai di teras rumah Pak Wanto untuk membicarakan banyak hal, terutama tentang kesehatan. Desa ini tidak hanya terpencil tetapi juga terisolasi. Tak ada fasilitas umum seperti bangunan sekolahan, puskesmas, atau pun pasar tradisional. Bahkan desa ini belum mendapatkan aliran listrik dari PLN karena lokasinya yang sulit dijangkau. Jadi setiap atap rumah menggunakan solar panel untuk mendapatkan listrik dari tenaga surya yang hanya bisa warga nikmati selama 12 jam perhari. Dan itu dimanfaatkan warga saat waktu menjelang sore sebagai pencahayaan mereka selama ini. Pemasangan solar panel pada setiap rumah di Dusun Gir Pasang sendiri warga peroleh dari bantuan pemerintah pusat.
Hanya mengenakan celana pendek selutut dengan t-shirt tanpa lengan Azka membantu Pak Wanto mencangkul tanah sebagai media menanam singkong. Batang singkong yang telah dipotong-potong sepanjang 30 cm itu Pak Wanto dan Joko tancapkan pada tanah yang telah Azka cangkul. Peluh mulai berjatuhan melewati wajah tampan Azka tatkala para ibu dan anak gadis mereka hendak pergi ke sawah. Pandangan para gadis tak luput dari sorot kekaguman pada pria tampan dan seksi tersebut. Selama ini mereka hanya bisa melihat pria-pria tampan seperti Azka melalui layar televisi. Sejak kedatangan Azka di dusun tersebut baik para remaja putri maupun putra sering menjadikan Azka sebagai bahan perbincangan.
Azka selalu membantu para warga tanpa pamrih. Bahkan saat beberapa kali warga dan anak-anak mereka sakit Azka lah yang mengobati mereka. Dan untung saja ia membawa persediaan obat cukup banyak. Jadi ia tidak perlu ke luar dusun dan pergi ke kota untuk membeli obat-obatan. Tapi bukan berarti Azka tidak berkunjung ke dusun-dusun sebelah yang lebih dulu maju dan memiliki fasilitas umum. Azka membutuhkan jaringan seluler untuk menghubungi keluarganya. Memberi kabar pada kedua orang tuanya seperti janjinya sebelum ia berangkat mengabdi. Ia juga tidak ingin membuat kedua orang tuanya khawatir.
"Ayo Nak kita pulang!" ajak Pak Wanto setelah mereka menyelesaikan menanam singkong.
"Iya Pak, perut saya sudah keroncongan," balas Joko dengan mengelus perutnya.
"Mari," sahut Azka sembari mengelap keringat di wajahnya dengan lengan.
"Mas Dokter tahu nggak klo semua perempuan di sini pada mengidolakan Mas Dokter?" ucap Joko dalam perjalanan pulang.
"Mas Joko bisa aja!" balas Azka singkat.
"Bener Mas Dokter. Tapi aku sudah mengumumkan pada mereka jika Mas Dokter sudah memiliki calon istri," sambung Joko lagi. Pak Wanto hanya tersenyum mendengarkan obrolan kedua pria muda di sampingnya sembari menyapa para warga yang kebetulan berpapasan di jalan dengan mereka.
"Udah Joko jangan nanya yang macam-macam lagi sama Mas Dokter. Kehadiran beliau sudah sangat membantu para warga di sini. Nanti klo sampai Mas Dokter nggak betah di sini gimana?" Akhirnya Pak Wanto ikut masuk ke dalam obrolan dua pria tersebut.
"Nggak papa Pak, saya senang setiap kali mengobrol bersama Joko," sahut Azka ramah. Azka justru senang dengan sikap ramah dan mudah akrab Joko. Selama tinggal di dusun terpencil ini Joko lah yang selalu menjadi pemandu dirinya. Pria berusia 22 tahun itu pula yang banyak memberikan informasi tentang dusun tersebut.
"Maaf loh Mas Dokter klo putra saya ini sering merepotkan," jawab Pak Wanto lagi.
"Tentu saja tidak Pak. Oya Insyallah kapan-kapan saya akan mengajak semua warga dusun Gir Pasang berkunjung ke rumah orang tua saya. Mereka pasti sangat bahagia. Sekalian kita jalan-jalan mengelilingi kota, bagaimana?" tawar Azka dengan tulus yang sontak membuat Joko antusias.
"Beneran Mas Dokter? Wah di kota pasti ceweknya cantik-cantik!" sahut Joko yang langsung mendapatkan cubitan di lengannya dari Pak Wanto.
"Idih Bapak!" kesal Joko seraya menatap Bapak dengan kesal.
"Insyallah saya juga akan mengundang seluruh warga di hari pernikahan saya!" sambung Azka lagi. Mengingat gadis itu membuat segaris senyuman terbit di sudut bibirnya. Tiba-tiba Azka merasa sangat merindukan gadis kecilnya. Ia merindukan Arletta.
Sesampainya di dusun, terlihat rumah-rumah sederhana penduduk. Hanya ada 9 rumah di dusun itu, dihuni oleh 12 Kepala Keluarga dan 37 jiwa. Rumah yang didominasi kayu itu begitu eksotis karena berada di ketinggian dengan udara dingin.
Setelah mencuci kaki dan tangan yang berada di pancuran sebelah rumah mereka secara bersamaan mengucapkan salam. Bu Narti berjalan tergopoh-gopoh menghampiri ketiga pria tersebut lalu mengajak sarapan bersama. Seperti biasa, tidak ada obrolan sedikitpun ketika mereka sedang makan. Setelah sarapan Azka membantu Bu Narti mencuci piring di belakang rumah. Air di dusun terpencil itu sangat bersih dan jernih sehingga membuat Azka betah berlama-lama bermain air. Air yang mengalir langsung dari pegunungan.
Memastikan semuanya beres Azka berpamitan untuk pergi ke sungai. Sudah lama ia tidak bermain dengan kamera miliknya. Ia ingin mengabadikan momen-momen indah di dusun terpencil tersebut. Pemandangan menakjubkan yang tidak pernah ia dapati selama tinggal di Jakarta. Tanpa sampah, polusi udara, dan tentu saja kemacetan. Di kota metropolitan hampir seluruh warga memiliki kendaraan bermotor. Di sini, di Dusun Gir Pasang, hanya ada pejalan kaki yang selalu tersenyum ramah setiap kali bertemu orang lain.
Dengan tali kamera menggantung di lehernya Azka merentangkan kedua tangan. Sembari memejamkan mata ia menghirup aroma petrikor sisa hujan semalam. Suara riak dan liuk air yang menghantam bebatuan menawarkan rasa damai di hatinya. Suatu hari nanti ia bertekad ingin mengajak Letta mengunjungi dusun indah ini. Azka yakin gadisnya itu pasti menyukai hal yang berbau alam. Gadisnya adalah salah satu aktivis pecinta alam di kampusnya. Tak pernah bertemu bukan berarti Azka tidak tahu menahu tentang informasi gadisnya tersebut. Kia, adiknya rutin memberikan informasi tentang Letta selama dirinya menempuh pendidikan di Jakarta. Azka hanya meminta pada Kia untuk tidak pernah mengirimkan foto-foto Letta. Bukannya Azka tidak ingin bertemu. Ia hanya ingin berusaha memantaskan diri saat meminang gadis tersebut. Meskipun keluarganya adalah salah satu keluarga terkaya dan terpandang di Yogyakarta tapi Azka tidak ingin mengandalkan harta milik orang tuanya. Ia ingin berdiri di atas kedua kakinya sendiri untuk membangun usahanya sendiri. Dan ia sudah memiliki tabungan yang cukup. Gaji dirinya selama menjalani koas di rumah sakit selama satu setengah tahun sudah cukup untuk biaya meminang Letta. Jatah kiriman dari kedua orang tuanya setiap bulan juga jarang ia pergunakan. Azka lebih suka hidup sederhana ketimbang mengikuti kehidupan hedonis di Jakarta.
Beberapa bulan lagi ia akan melanjutkan pendidikan S2_nya pada spesialis kandungan di Jakarta. Beasiswa dari kampus. Setelah melanjutkan pendidikan spesialisnya Azka juga sudah diminta untuk menjadi dosen di kampus dan diangkat menjadi dokter di rumah sakit tempat dirinya koas. Tawaran yang sebenarnya hingga saat ini belum ia putuskan. Azka ragu karena ayahnya, Ardan meminta dirinya setelah lulus pendidikan S2 untuk mengurus yayasan milik keluarganya. Kampus, yayasan sosial, bisnis perhotelan milik keluarga besar Alfarizi pun sudah menanti di depan mata. Bersama Nathan, sepupunya ia sudah dinobatkan sebagai penerus perusahaan milik keluarga Alfarizi.
Azka menghela napas panjang, menahan sebentar di d**a. Mencoba mengeluarkan beban berat yang menghimpit dadanya. Bisnis, kampus, yayasan bukanlah keinginannya. Ia menyukai rumah sakit, pasien, dan obat-obatan. Dunianya di sana. Ia hanya ingin memberikan bantuan pada orang-orang yang membutuhkan tenaganya karena selama ini ia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana buruknya pelayanan rumah sakit daerah pada warga kurang mampu. Beberapa kali ia mendapati kasus ibu dan bayi meninggal lantaran tidak segera mendapatkan pelayanan layak karena faktor keuangan. Ada pula yang bayi mereka di tahan di rumah sakit karena orang tuanya tidak mampu melunasi administrasi rumah sakit yang cukup mahal.
Perlahan netra hazel itu terbuka. Mulai memindai ke seluruh penjuru, tak ada kata lain kecuali indah yang berada di benak Azka. Ia mulai memotret sekeliling. Ia terkekeh saat melihat para kelompok monyet yang tengah asyik bermain dan bergelantungan di atas pohon. Teriakan dan nyanyian mereka menjadi penyempurna keindahan yang hakiki.
Azka mulai turun ke tepi sungai. Ia duduk di sebuah batu besar guna mencari titik terbaik dirinya untuk mengambil gambar. Azka mulai mengambil gambar. Tak tertinggal pula Azka memotret para ibu yang tengah mencuci pakaian di sungai. Namun, lensa kamera miliknya tiba-tiba menangkap sesuatu yang besar menyangkut di batu besar. Azka menajamkan fokus kameranya. Deg... Jantung Azka seketika berdegup kencang saat menyadari sosok itu adalah seorang manusia. Azka segera melangkahkan kaki dengan cara meloncat di antara bebatuan besar di hadapannya hingga sampai pada objek yang ditangkap oleh kamera miliknya. Azka segera meraih tubuh yang Azka duga sebagai perempuan. Dalam posisi tengkurap, kepala perempuan itu berada di atas batu dengan wajah tertutup rambut panjangnya.
"Innalilahi wa innailaihi raji'un," ucap Azka setelah menyingkirkan rambut yang menutupi wajah gadis itu. Wajah ayu gadis itu tampak membiru dengan luka lebam. Azka segera mengecek nadi gadis tersebut.
"Alhamdulillah." Azka segera mengangkat lalu membaringkan gadis itu di tepi sungai. Azka segera melakukan pertolongan pertama dengan memberikan napas buatan lalu menekan d**a si gadis untuk mengeluarkan air dalam tubuhnya.
Tak lama usahanya berhasil. Gadis itu terbatuk-batuk. Dengan cepat Azka memiringkan kepala gadis itu agar seluruh air di tubuh gadis itu ke luar dengan mudah. Gadis itu membuka matanya sejenak sebelum pingsan di atas pangkuan Azka.
"Aku harus segera menolongnya," lirih Azka dengan panik lalu mengangkat tubuh gadis tak berdaya itu seraya meminta bantuan pada para ibu yang tadi sedang mencuci pakaian di sungai.
Selama perjalanan menuju rumah kepala dusun dengan diikuti warga yang juga terlihat panik Azka berdoa dalam hati. "Ya Allah selamatkan nyawa gadis ini!" Azka menatap kembali wajah gadis dalam gendongannya dengan hatinya yang mendadak kacau.
Dejavu.
__________________&&&_________________
Judul Buku : My Sexy Doctor
Author : Farasha