Sejak jam empat pagi tadi Rusma sudah terbangun dari tidurnya, bukan keinginan Rusma ia bangun sangat pagi. Namun, keinginan siapa lagi kalau bukan mamanya, Mama Nana meminta Asri agar membangunkan Rusma pagi-pagi sekali karena hari ini Rusma, Asri dan Bu Yanie akan pulang ke kampung halaman sang istri. Rusma sudah berkali-kali membujuk mamanya agar mamanya tidak membiarkannya pergi, tetapi Mama Nana bersikeras agar Rusma ikut bersama Asri. Bahkan, di malam hari Rusma tidak bisa tidur karena terus saja berusaha membujuk mamanya yang keras kepala itu. Kini Rusma mengerti, dari mana datangnya sifat keras kepalanya. Siapa lagi kalau bukan turunan keluarganya yang memang sangat keras kepala dan yang paling mengesalkan adalah Risma sama sekali tidak bisa melawan titah sang ratu rumah.
Terkadang Rusma merasa kalau pernikahannya dan Asri ini penuh keterbalikan, mengapa begitu? Lihat saja sekarang ini. Ia yang suami, tetapi ia yang dipaksa ikut istri. Bukankah itu terbalik? Seharusnya Asri yang ikut tinggal bersamanya di sini dan bukannya dirinya yang harus dipaksa pergi ke kampung halaman gadis itu dan bahkan kata Mama Nana, waktu ia di sana tidak dapat ditentukan. Rusma tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya jika ia berada di desa seperti itu, ia yang biasanya berada di kota dengan segala macam kemudahan yang ada. Tiba-tiba saja harus tinggal di desa, kalau tahu akan jadi seperti ini lebih baik ia kabur saja di hari pernikahannya bersama Asri beberapa hari yang lalu.
"Pakde ...." panggil Asri pada Rusma yang sibuk dengan ponselnya.
Rusma marah pada Asri karena gadis itu yang telah membuatnya harus pergi ke desa, ia tidak mau berbicara pada Asri. Pria itu lebih memilih mengabaikan Asri yang berkali-kali berusaha memanggilnya, biar saja. Ia juga yakin kalau Asri memangilnya itu tidak ada urusan penting, gadis kampung itu benar-benar membuatnya kesal sampai di ubun-ubun. Kalau saja ia adalah seorang penjahat, sudah ia lempar tubuh Asri dari lantai dua ini.
"P-pakde marah sama Asri? Pakde ndak mau ikut Asri ke kampung sama ibu? Nanti Asri coba bilang sama Mama kalau Pakde ndak mau ikut. Pakde di sini aja ndak apa-apa, biar Asri sama ibu yang pulang ke kampung." Rupanya gadis itu cukup peka dengan hal yang membuat Rusma kesal.
"Bisa enggak kalo ngomong itu enggak usah panggil aku pakde? Telingaku sakit dengernya!" ujar Rusma ketus. Bukannya tersinggung, Asri malah tersenyum karena pakde suaminya mau berbicara dengannya. Ya, meskipun nada suara pria itu masih saja ketus padanya, setidaknya ia tidak diabaikan lagi.
"M-maaf, Asri janji ndak akan panggil pakde lagi," ucap Asri.
"Janji mulu, dilakuin aja enggak!" hardik Rusma ketus.
"K-kali ini beneran kok, Pakde. Eh, Mas! Ndak janji-janji doang, serius ...." Asri mengangkat jari telunjuk dan kelingkingnya pertanda kalau ia serius mengatakan itu.
"Ngapain tadi kamu manggil aku? Enggak tahu apa kalo aku lagi sibuk," ucap Rusma dengan wajah yang tetap tak bersahabat.
"I-itu Mas butuh bantuan Asri ndak? Misalnya masukin baju ke dalam tas?" tawar Asri.
"Enggak perlu! Aku bisa sendiri!" balas Rusma jutek. Malas juga ia berkata manis pada gadis yang menyebabkan semua kekesalannya hadir.
"K-kalau gitu Asri turun ke bawah dulu, ya, Mas. Mau bantuin Mama, nanti jangan lupa shalat subuh berjamaah sama Asri, ya, kalo udah adzan subuh," ucap Asri yang tentunya diabaikan oleh Rusma.
Asri menghela napas, gadis itu menatap sekilas ke arah Rusma yang kembali sibuk dengan ponselnya. Kemudian ia pergi ke luar dari kamar, tepatnya ia akan pergi ke dapur. Di dapur sudah ada Mama Nana dan juga Bu Yanie yang tengah berbincang-bincang sambil memasak. Berhubung hari ini Asri, Rusma dan Bu Yanie akan melakukan perjalanan yang cukup jauh, yaitu pergi ke kampung halaman Asri. Maka, Mama Nana menyiapkan sarapan lebih awal dari hari-hari biasanya.
"Ada yang bisa Asri bantu, Bu? Ma?" tanya Asri seraya berjalan mendekat.
"Eh, Nak Asri ...." Mama Nana langsung menyapa menantunya itu dengan ramah.
"Boleh sini, Sayang. Kamu bantu iris wortel, ya? Mama sama ibu kamu mau buat sayur sop buat sarapan kita. Kamu cukup duduk aja ngirisnya, ya? Jangan capek-capek biar progres cucu buat Mama enggak terhambat," ucap Mama Nana memaksa Asri agar duduk.
"T-tapi ...."
"Oh iya, Rusma udah bangun 'kan, Nak?" Mama Nana memotong cepat perkataan Asri dengan pertanyaan.
"Udah, Ma. Tadi P ... maksud Asri Mas lagi mainin hape," ucap Asri.
"Itu anak kebiasaan, suka banget mainin hape pagi-pagi gini. Untung aja sebentar lagi dia ke kampung kamu, Asri. Nanti suruh dia bantuin kamu sama ibu kamu ke ladang, ya? Biar dia ngerasain perjuangan kalian di sana," cerocos Mama Nana.
Asri hanya mengangguk sepanjang Mama Nana bercerita dengan ibunya, ia akan menanggapi jika ia yang ditanya. Sejujurnya hati Asri merasa tak enak karena dirinya yang membuat Rusma mau tak mau ikut ke kampung halamannya, pasti pria itu tidak akan betah nantinya. Rusma sudah terbiasa tinggal di sini dan tiba-tiba saja ia disuruh ke kampung. Asri tak akan bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Rusma, apalagi ketika tadi ia melihat raut wajah suaminya yang masam. Pertanda kalau pria itu tak terima diminta ikut bersamanya, tetapi apa yang harus Asri lakukan?
Semuanya sudah siap, mereka langsung sarapan bersama seusai melaksanakan shalat subuh. Itu karena, kereta yang akan membawa mereka ke kampung halaman Asri itu berangkatnya pagi. Mereka yang tidak ingin ketinggalan kereta jelas saja lebih memilih bersiap-siap sejak subuh, ya tentunya mereka naik kereta. Pesawat? Asri itu takut ketinggian, kalau dipaksakan naik pesawat entah bagaimana ia akan selamat dari kematian karena terlalu shock.
"Mama, bisa ndak kalau Mas di sini aja? Biar Asri sama ibu aja yang pulang kampung, Asri ndak tega lihat Mas. Pastinya dia nanti di sana ndak betah, Ma," ucap Asri ketika mereka sudah bersiap-siap akan pergi.
"Rusma, ini ulah kamu, ya?" Mata Mama Nana memandang putranya tajam.
"Kok jadi Rusma sih, Ma? Rusma enggak tahu apa-apa!" balas Rusma ketus.
Rusma masih kesal karena mamanya memaksa dirinya ikut dengan Asri dan ibunya, ia juga marah karena mamanya dengan seenaknya memecatnya. Dan kali ini tanpa alasan, mamanya menuduh dirinya sebagai tersangka alias dalang dibalik perkataan Asri. Padahal Rusma sama sekali tak bicara hal aneh pada Asri, memang dasar gadis itu saja yang sepertinya ingin Rusma dimarahi padahal mereka sudah akan pergi.
"Kamu juga! Ngapain bicara gitu sama Mama? Kamu senang, ya, kalo aku dimarahi!?" tanya Rusma menatap Asri kesal.
"Rusma, kamu kok gitu sih sama istri kamu sendiri?" tegur Mama Nana pada putranya yang menurutnya terlalu kasar ketika berbicara pada Asri.
"Terserah, mau Rusma bicara lembut sama dia juga Mama tetap akan buang Rusma ke kampung itu 'kan? Dah lah! Mending Rusma tunggu di mobil biar enggak terus-menerus disalahin!" Tanpa menoleh ke arah keluarganya, Rusma langsung memasuki mobil yang akan mengantarkan mereka menuju stasiun kereta api.
"I-ini bukan salah Mas kok, Ma. Asri sendiri yang mau bicara itu, Mama jangan nyalahin Mas," ucap Asri.
"Asri ... dengerin omongan Mama, ya? Mana mungkin 'kan Mama biarin kamu pulang cuma berdua sama ibu kamu sedangkan Rusma udah jadi suami kamu? Rusma wajib ikut ke manapun kamu pergi, atau sebaliknya, kamu juga wajib ikut suami kamu ke manapun dia pergi. Mama yakin, lama kelamaan Rusma akan terbiasa tinggal di sana. Kamu enggak perlu khawatir, suatu saat juga Mama pasti akan minta kalian tinggal di sini. Atau kalau kalian mau main ke sini karena kangen, Mama perbolehkan. Jangan pernah berpikir kalau Rusma dan kamu pisah rumah, ya? Mama enggak suka dengarnya," ucap Mama Nana yang dibalas anggukan oleh Asri.
"I-iya, Ma. Asri ngerti ...."
"Ya udah kalo gitu kami pamit dulu, ya, Bu Nana. Terima kasih karena udah menerima kami dengan sepenuh hati," ucap Bu Yanie memeluk Mama Nana singkat.
"Sama-sama, Bu besan. Kalian hati-hati, ya, di jalannya. Kalau misal ada apa-apa hubungi kami," balas Mama Nana. Wanita paruh baya itu melepaskan pelukannya dari tubuh Bu Yanie kemudian beralih memeluk tubuh menantunya erat.
"Mama tunggu kabar baik dari kamu, ya, Asri," bisik Mama Nana di telinga Asri.
Asri hanya mengangguk walau tak paham kabar baik apa yang dimaksudkan oleh mertuanya. Setelah menyalami semua keluarga mertuanya, Asri dan Bu Yanie memasuki mobil pribadi milik keluarga Rusma yang akan mengantarkan mereka ke stasiun kereta. Bu Yanie memilih duduk di depan bersama seorang sopir keluarga Rusma, sedangkan Asri duduk di belakang tepatnya di samping Rusma. Hal itu sengaja Bu Yanie lakukan karena ia ingin mendekatkan putrinya pada menantunya itu yang sepertinya agak menjaga jarak, itu pesan dari Mama Nana sebelum mereka berangkat tadi.
Butuh waktu tiga puluh menit akhirnya mereka sampai juga di stasiun, Rusma berinisiatif membawakan tas mertuanya dan juga tas Asri. Sebagai seorang pria gentle tentu saja ia harus melakukan itu, tidak mungkin ia membiarkan dua perempuan berbeda usia itu membawa tas mereka sendiri-sendiri.
"Makasih, Mas ...." Asri berucap terima kasih sambil tersenyum.
"Makasih, Nak Menantu," ucap Bu Yanie tersenyum atas sikap menantunya.
Rusma hanya mengangguk sekilas sambil menampilkan senyum tipisnya, ia masih agak canggung dengan keluarga barunya itu. Mereka telah memasuki kereta, entah ini kebetulan atau memang sengaja atau bahkan memang rencana Tuhan, lagi dan lagi Asri dan Rusma hanya duduk berdua saja. Bu Yanie ada di bangku penumpang depan duduk bersama dengan salah satu penumpang, kebetulan sekali bangku di sini disusun untuk dua pasangan saja. Asri duduk di dekat kaca jendela karena ia memang sangat suka sekali duduk di sana, ia suka memperhatikan pemandangan dari luar jendela.
"Mas, mau cemilan?" tawar Asri setelah membuka bungkusan keripik singkong kemudian menyodorkannya pada Rusma.
Rusma hanya menggeleng pelan.
"Mas Risma beneran ndak mau? Ini enak loh, Mas," ucap Asri lagi.
"Asri, setelah kemarin-kemarin kamu manggil aku dengan sebutan pakde. Sekarang kamu enggak ada kapok-kapoknya, ya?" tanya Rusma menatap Asri sebal. Pria itu bersedekap d**a, kesal sekali dengan istrinya.
"Loh? Emang Asri salah sebut apa lagi tho, Mas? Bukannya Asri udah panggil dengan sebutan mas? Uduk pakde lagi," ucap Asri bingung karena Rusma yang tiba-tiba saja berkata ketus lagi padanya.
(Uduk : Bukan)
"Namaku itu Rusma, ya, bukan Risma! RUSMA, U, ya, bukan, I, ngerti!?" Rusma bahkan menyebutkan setiap hurufnya pada Asri.
"Owalah jenenge Mas ki Ubukan I tho, Mas?" Rusma menepuk dahinya mendengar kelemotan Asri dalam memahami perkataannya.
"Asri! Kamu ini suka banget bikin aku darah tinggi, ya, kayaknya? Namaku Rusma, Asri. Bukan Risma! Risma itu nama cewek dan aku itu laki-laki, Rusma ... R U S M A!" Ada beberapa orang yang menoleh ke arah mereka, mungkin heran mendengar seorang pria dewasa yang sepertinya tengah mengajari seorang gadis mengeja huruf dengan benar.
"Tapi kayaknya bagusan nama Risma, Mas. Keren, nama Mas kayak cewek tapi aslinya badan Mas gede hihihi ...." Asri terkikik geli yang dianggap Rusma kalau gadis itu tengah mengejeknya.
"Asri, kamu mau aku lempar ke luar enggak?" tanya Rusma dengan wajah datar.
"N-ndak mau! Ih Mas nyeremin!" Asri bergidik, gadis itu memundurkan duduknya. Tak mau dekat-dekat dengan Rusma karena takut pria itu benar-benar melakukan ancamannya itu.
"Diam makanya, awas aja enggak nurut. Kalo kamu salah panggil nama lagi, lihat aja, ya, akibatnya. Bukan lagi aku lempar ke luar, mau aku lempar ke langit kamu biar ditangkap Elang."
"K-kok Mas jahat gitu sih sama Asri?"
Rusma menahan tawanya melihat wajah Asri yang sangat ketakutan.
"Katanya gadis desa, masa sama ancaman gitu doang takut? Cemen ih," ledek Rusma. Rasakan! Salah siapa tadi cari masalah dengannya.