"Bukankah itu kekasihnya, Tuan. Ya Tuhan, Habislah, sudah aku yakin wanita itu akan mendapatkan masalah, sudah dikatakan di awal, kalau wanita itu tidak baik namun Tuan masih saja mengejarnya dan memberikan apa yang diminta oleh wanita itu. Tuan Abraham saja serta istrinya juga tidak merestui hubungan keduanya. Tapi, tetap saja Tuan Rafli masih kekeh bersama dengannya," ucap Arvin yang tidak menyangka jika dirinya bertemu dengan kekasih dari tuannya bersama dengan pria lain sedang menari dan b******u.
Tentu saja tuannya emosi dan perkelahian tidak bisa terelakkan. Rafli memukul pria tersebut dengan cukup kuat hingga pria tersebut tersungkur.
Keduanya berkelahi satu sama lain tanpa peduli orang sekitar. Wanita yang menjadi kekasih Rafli terkejut melihat kedatangan Rafli. Dia berteriak kencang untuk meminta Rafli untuk tidak memukul pria tersebut.
"Sudah cukup, Rafli, hentikan. Apa yang kamu lakukan, nanti dia mati. Hentikan, Rafli!" teriak wanita tersebut yang meminta kepada Rafli untuk berhenti.
Namun, Rafli tidak mau berhenti, dia terus memukul hingga pria tersebut tidak sadarkan diri. Setelah puas, Rafli berdiri semua orang menatap ke arah Rafli.
Siapa yang tidak kenal dengan Rafli mereka mundur tidak berani untuk mendekati Rafli. Kekasih Rafli menatap ke arah Rafli dengan tatapan yang memohon, dia tahu dari sorot mata Rafli sudah terlihat jelas kalau pria tersebut tidak bisa dilembutkan lagi.
Tapi, wanita tersebut memberanikan diri untuk mendekati Rafli, dia berusaha untuk membuat Rafli tenang.
"Sayang, dengarkan aku. Dia temanku, kami ingin merayakan ulang tahunnya, jadi jangan seperti ini. Aku mohon, aku tidak selingkuh seperti apa yang kamu pikirkan, Sayang. Percayalah dengan apa yang aku katakan," jawab wanita itu yang bernama Nola.
"Jangan temui aku lagi, kita selesai," jawab Rafli tegas.
Rafli tidak mau membuang waktu dan berlama-lama di club tersebut, dia segera pergi. Arvin yang melihat Rafli pergi segera ikut mengejarnya.
Rafli sudah terlalu mabuk terlihat jalannya sempoyongan namun dia masih bisa berjalan meninggalkan klub malam dengan tubuh yang tegak sampai di luar Rafli berjalan menuju ke parkiran.
Arvin segera membuka pintu mobil tidak menunggu lama Rafli masuk dan dia berteriak cukup kencang dan memaki Nola.
Arvin yang berada di luar hanya menunggu sampai tuannya tenang, dia tidak ingin masuk biarkan tuannya mengeluarkan semua sakit hatinya, setelah reda dan tidak ada terdengar lagi suara teriakan dari Rafli, Arvin segera masuk dan meninggalkan club malam menuju ke rumah tuannya.
"Vin, kita ke jembatan yang ada di ujung jalan menuju daerah barat. Aku ingin di sana," jawab Rafli seketika.
Arvin terdiam, mulai pikiran negatifnya muncul dia takut jika tuanya masuk ke dalam sungai yang cukup deras itu, bahaya pikirnya.
Rafli yang tidak mendengar jawaban dari Arvin berdecih dan dia tertawa, dia tahu apa yang dipikirkan oleh asistennya tersebut.
"Aku tidak seperti dulu yang suka terjun. Jika ada yang mengecewakanku, Arvin. Sekarang, cepatlah pergi ke sana, tapi jemput dulu sekretarisku. Ayo cepat dan jangan lupa belikan aku makanan dan minuman, aku lapar," jawab Rafli yang membuat Arvin lagi-lagi tercengang.
Buat apa tuannya itu mengajak sekretaris Alena malam-malam ke jembatan tersebut, apa ingin membunuh sekretarisnya.
"Tuan, Kenapa Anda mengajak sekretaris Alena? Anda tidak berpikiran untuk membunuhnya di sana, 'kan Tuan? Tolong jangan siksa sekretaris Alena, dia tidak bersalah yang salah itu Nona Nola yang selingkuh, bukan dia jadi tolong jangan libatkan dia, kali ini saja," ucap Arvin yang membuat Rafli mendengus kesal.
Rafli menendang kursi depan, tepat di mana Arvin yang sedang menyupir.
Arvin yang ditendang dari belakang terkejut dan tubuhnya bergerak ke depan.
"Siapa yang mau membunuh dia, hah? Yang ingin saya bunuh itu kamu, Arvin. Lama-lama kamu ini menyebalkan sekali. Sudah ikuti saja jika tidak ikuti saya, maka di sini saya akan menembakmu. Mau kamu, saya tembak?" tanya Rafli yang membuat Arvin menggelengkan kepala dengan cepat.
Dia pun mengikuti apa yang dikatakan oleh tuannya, sampai di tempat kediaman Alena, segera Arvin turun dan dia masuk dengan melompat pagar karena pagar rumah Alena sudah tergembok, rumahnya juga sudah gelap, jam satu malam tentu saja Alena sudah tidur.
Arvin mengintip dari jendela, dia berjalan ke arah kamar. Alena yang awalnya mau tidur urung dia lakukan karena dirinya masih memikirkan CEO nya yang wajahnya seperti gunung es di kutub.
Dari dalam terdengar olehnya suara tv sekretaris Alena. "Syukurlah, belum tidur, sekretaris Alena. Beruntunglah kalau dia belum tidur," gumam Arvin.
"Sekretaris Alena ... Sekretaris Alena, ini saya Arvin, sekretaris Alena, buka pintunya saya ingin bicara. Ayolah, ayo buka pintunya, sekretaris Alena," panggil Arvin dengan suara pelan.
Alena yang sedang nonton film horor terkejut mendengar suara memanggil dirinya, kebetulan adegan yang dia tonton sosok arwah muncul dari jendela hingga dia ikut menjerit.
Arvin yang mendengar jeritan Alena ikut terkejut dan reflek mundur dan naasnya, Arvin terlentang ke belakang hingga pot bunga milik Alena pecah.
Alena yang terkejut langsung terduduk dan melihat ke arah jendela kamarnya.
"Apa hantunya muncul. Oh, ya Tuhan, hantu itu keluar dari ...." Alena menghentikan ucapannya, dia mencoba untuk mendekati jendela.
Alena ingin tahu apakah benar yang ada di pikirannya, hantu tersebut keluar dan ingin masuk dari jendela, perlahan Alena membuka jendela.
"Aku harap itu kucing bukan hantu yang keluar tadi. Eh, maksudku, ya kucing saja jangan hantu," ucap Alena dengan suara pelan dan saat jendela terbuka sedikit.
Arvin merangkak dengan perlahan karena punggungnya benar-benar sakit menghantam pot bunga yang terbuat dari tanah liat dan pot tersebut pecah hingga membuat tubuhnya sakit semua dan saat dia melihat jendela terbuka, Arvin segera memperlihatkan wajahnya hingga membuat Alena dan Alvin sama-sama menjerit.
"Hantu!" teriak Arvin dan Alena secara bergantian.
Alena menutup jendela dengan cepat.
Arvin yang kepalanya masih berada di jendela tersangkut dan menghantam jendela dengan cukup keras dan dia hanya mengumpat dan memaki sekretaris Alena yang sudah membuatnya benar-benar mendapatkan kesialan dua kali dan dia takutnya ada warga yang datang dan meneriaki dia maling, tapi nyatanya tidak.
Alena yang melihat asisten tuannya berada di jendela rumahnya langsung turun dari ranjang dan menarik rambut Arvin hingga membuat Arvin menjerit kesakitan. Alena sampai menjerit kencang karena ulah asisten Rafli dan dia naik ke ranjang karena ketakutan.
"Aduh, sekretaris Alena, apa yang kamu lakukan, hahh! Ini sakit sekali. Oh, ya Tuhan, mimpi apa aku semalam, tadi sudah jatuh, sekarang kepalaku dihantam oleh jendela olehmu, sekarang rambutku ditarik. Apa salahku, sekretaris Alena!" teriak Arvin yang kesakitan saat rambutnya ditarik.
"Siapa suruh Anda datang di saat malam-malam yang gelap gulita, hahh? Apa anyda tahu yang Anda lakukan ini sangat tidak baik, Anda ingin menitip saya sedang tidur, ya? Dengar baik-baik, ya, saya ini wanita baik-baik, saya tidak pernah melakukan sesuatu dan kenapa Anda ke sini, apa tidak ada waktu terang Anda datang ke sini, Asisten Arvin?" tanya Alena dengan kesal dan tatapannya juga sinis.
Alena benar-benar kecewa dengan Arvin, namun Arvin memukul tangan Alena agar lepas dari rambutnya. Alena melepaskan tangannya dari rambut Arvin.
"Makanya, dengar dulu saya mau mengatakan sesuatu. Tuan Rafli ada di dalam mobil, dia meminta Anda untuk ikut dan dia mabuk tolong ikutlah dengan saya jika tidak saya akan mendapatkan masalah. Ayolah dan dia juga meminta saya membelikan makanan, sekretaris Alena. Bisa Anda menemani saya untuk memilih makanan dan minuman?" tanya Arvin.
"Kalian ajak saya keluar malam-malam? Ke mana?" tanya Alena.
"Ke jembatan," sahut Arvin.
"Maksud, Anda jembatan? Mau apa?" tanya Alena lagi.
"Menurut Anda, kalau ke jembatan mau apa?" tanya Arvin balik yang kesal ke Alena karena bertanya terus.
"Ke jembatan ya, bunuh diri," jawab Alena kembali.
"Nah, itu tahu. Kenapa Anda bertanya lagi. Ayo cepat, Anda bersiap sana. Aduh, sakit sekali kepalaku, benar-benar ini sekretaris, barbar sekali," jawab Arvin yang segera keluar dari jendela dan berjalan tertatih sambil memegang pinggangnya.
Alena terpaku mendengar apa yang Arvin katakan, bunuh diri, jembatan. Apakah CEO muda itu putus asa memimpin perusahaan sehingga dia membunuh diri di jembatan? Itulah yang ada di pikiran Alena saat ini.
"Oh, apa jangan-jangan dia ...." Alena menghentikan ucapannya dan menutup mulutnya.
Dia segera bergegas keluar kamar sebelum itu dia mematikan TV dan mengambil tas selempang miliknya.
Barulah, setelah itu, dia keluar dari rumah mengikuti Arvin yang masih belum sampai di pintu pagar.
"Anda mau apa, Tuan Asisten?" tanya Alena kepada Arvin yang sudah sampai di pintu pagar dan dia melihat kaki kanan Arvin terangkat.